Laman

Kamis, 03 Mei 2012

SEJARAH KERAJAAN-KERAJAAN DI TATAR SUNDA Kumpulan Tulisan Pengeran Wangsakerta

BAGIAN 1: PENDAHULUAN

I.            SEJARAH DAN SASTRA
         
Sesungguhnya, sebagian besar isi dari kitab suci Al Qur'an, dapat ditafsirkan sebagai Mahasejarah. Pengetahuan tentang riwayat kehidupan manusia, hayat para Nabi dan Rasul, semua itu dapat diketahui berdasarkan informasi dari kitab suci Al Qur'an.

Kadzalika nuaqushu `alaika min ambaa‑i maa qod sabaqo. Waqod a'tainaka minladunna dzikron. (Surat Thahaa, Ayat 99).
Terjemahan:
Demikianlah Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu, dan sesunguhnya telah Kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (Al‑Quran).

          Pengertian tentang Sejarah menurut G.R. Elton dan Henri Pirenne, kurang lebih sebagai berikut:
Sejarah adalah suatu hasil studi tentang perbuatan dan hasil‑hasil kehidupan manusia dalam masyarakatnya di masa silam.
Sejarah, diungkapkan melalui studi disiplin ilmu:
1.    Filologi, ilmu yang mempelajari tulisan dan bahasa pada naskah‑naskah kuno pada lontar, daluwang, kertas;
2.    Epigrafi, ilmu yang mempelajari tulisan dan bahasa kuno pada batu, kayu, logam, yang dikenal sebagai prasasti;
3.    Arkeologi, ilmu yang mempelajari benda‑benda peninggalan sejarah (artefak).
          Ilmu pengusung lainnya, adalah geografi sejarah (ilmu yang mempelajari peta sejarah), linguistik (ilmu yang mempelajari kebahasaan) dan antropologi (ilmu yang mempelajari kebudayaan).
Sedangkan di pihak lain, pengertian tentang "sejarah", umumnya berupa dongeng, cerita, tambo, legenda, mitos, dan lain sebagainya. Seperti halnya yang dipahami oleh umumnya masyarakat Sunda, yang dianggap "sejarah" tersebut, adalah: dongeng, sasakala, pantun, wawacan, babad dan lain-lain. Padahal, ragam tersebut, berada di wilayah disiplin ilmu Sastra.
          Tidak dapat dipungkir, di dalam pemahaman kehidupan sehari‑hari, antara Sejarah dengan Sastra, memiliki pemisah yang sangat tipis. Masyarakat sulit untuk bisa membedakan, yang mana Sejarah dan yang mana Sastra. Oleh karena itu, sejarah yang akan diungkapkan dalam buku ini, pembahasannya sedapat mungkin sudah dikaji terlebih dahulu berdasarkan disiplin ilmu Sejarah. Sedangkan sumber‑sumber Sastra (sasakala, pantun, wawacan dan babad), sampai taraf tertentu, hanya dijadikan sebagai sumber pembanding.
          Untuk memudahkan pembaca umum (masyarakat luas), pembahasan dalam buku ini, beberapa ketentuan yang bertalian dengan sistematika, metodologi dan penulisan ilmiah sejarah yang ketat, sedapat mungkin disederhanakan. Hal tersebut sangat disadari, agar sejarah yang dianggap wilayah kering, akan menjadi lahan yang subur, mudah dipahami dan tersosialisasi dengan baik.

II.         SUMBER PUSTAKA WANGSAKERTA

          Kehadiran naskah‑naskah kuno (pustaka) Pangeran Wangsakerta Cirebon abad ke‑17 Masehi, setelah diuji secara filologi oleh para akhli, Tim Penggarap Naskah Pangeran Wangsakerta (dipimpin oleh Prof Dr. H. Edi S. Ekadjati, Program Kerja Yayasan Pembangunan Jawa Barat, 1989‑1991), telah menjadi sumber yang berharga bagi ilmu pengetahuan sejarah.
          Nama Pangeran Wangsakerta mulal menarik minat kalangan sejarah, setelah diterbitkan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, yang ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon dalam tahun 1720. Pangeran Arya Cirebon alias Pangeran Adiwijaya, adalah putera bungsu Sultan Kasepuhan pertama. la kemenakan Pangeran Wangsakerta.
          Dalam percaturan Sejarah Tatar Sunda, Priangan khususnya, nama Pangeran Arya Cirebon cukup dikenal, karena sejak tahun 1706 ia ditunjuk oleh Kompeni Belanda menjadi opzichter para bupati di Priangan. la dinilail amat berhasil dan amat pandai, sehingga, setelah wafat dalam tahun 1723, Kompeni Belanda tidak sanggup mencari penggantinya, karena dianggap tidak ada tokoh yang mampu menyamainya.
          Naskah Purwaka Caruban Nagari, memiliki kadar kesejarahan yang jauh lebih tinggi (jika dibandingkan dengan naskah babad atau sejenisnya), karena menyebutkan sumber penulisnya. Kalimat terakhir naskah tersebut memberitakan, bahwa cerita itu disusun oleh Pangeran Arya Cirebon, berdasarkan naskah Pustaka Nagara  Kretabhumi karya Pangeran Wangsa kerta.
Sebenarnya masih ada sebuah naskah lain, yang menyebutkan Pustaka Nagara Kretabhumi sebagai sumber, yaitu Pustaka Pakungwati Cirebon (1779 M) yang disusun oleh Wangsamanggala (Demang Cirebon) bersama Tirtamanggala (Demang Cirebon Girang). Dalam naskah ini, hanya pada halaman akhir disebutkan sebagai kutipan dari Pustaka Nagara Kretabhumi, yaitu mengenai pernah adanya Kerajaan Tarumanagara, dengan raja-rajanya yang memakal nama Warman sebagal pendahulu Kerajaan Pajajaran. Bagian selebihnya, tampil dalam gaya sastra babad biasa, yang penuh dengan hal-hal sensasional dan dibumbui supranatural.
Sejak naskah Purwaka Caruban Nagari diterbitkan tahun 1972, mulallah nama Pangeran Wangsakerta dikenal umum, sebagai pujangga penyusun naskah Pustaka Nagara Kretabhumi. Namun tak seorangpun mengetahui, naskah tersebut benar‑benar pernah ada atau tidak, dan kalau ada, tak seorangpun yang mengetahui tempatnya.
Setelah pelacakan yang intensif, namun dilakukan secara diam-diam selama 5 tahun oleh Drs. Atja, akhirnya naskah Pustaka Nagara Kretabhumi mulai ditemukan dan dibeli oleh Museum Negeri Sri Baduga (Jawa Barat) dalam pertengahan tahun 1977. Setelah itu, secara berturut‑turut, naskah-naskah lain karya Pangeran Wangsakerta, disampaikan kepada Museum Negeri Sri Baduga Jawa Barat dari para pemiliknya, yang kebanyakan berdomisili di luar Jawa.
          Pakar sejarah Edi S. Ekadjati, dalam buku Naskah Sunda (1988), meriwayatkan tentang penemuan 47 buah naskah Pustaka Wangsakerta. Empat buah naskah di antaranya, ditemukan di Banten, antara lain:

Prabu Brawijaya V dan Keturunannya (termasuk kepada para Bupati Sukapura)


Berdirinya kerajaan kecil di tatar Pasundan yg tlh menurunkan para Bupati di tiga tempat ini tidak terlepas dari runtuhnya kerajaan yg besar di Pulau Jawa (Majapahit).
Saat kerajaan Majapahit runtuh, Majapahit dipimpin oleh Prabu Brawijaya V. Pada masa pemerintahannya sering terjadi pemberontakan dan kekacauan yg ingin menjatuhkan kekuasaannya. Keadaan Majapahit pun rawan disintegrasi karena para pangeran dan elit politik saling siku, saling curiga dan saling menjatuhkan… hehe… jadi ingat masa sekarang ?

Ditengah-tengah kancah politik yg tdk menentu itu membuat rakyat bingung untuk mencari panutan dan penuntun hidup. Pada saat situasi yg genting itulah Islam dtg membawa dan menawarkan konsep jelas lagi nyata untuk mencapai kehidupan yg hakiki dan universal dikalangan umat. Disaat itu pula Rakyatpun datang untuk memeluknya.
Prabu Brawijaya V naik takhta dari tahun 1468 – 1478.

Senin, 24 Oktober 2011

Cerita kawan kita

Ini cerita kawan yang sedang merantau di pulau Sulawesi. aktivis milik desa Taraju masih perduli dengan daerah sekalipun sudah tidak ada di kampung. Mantan ketua NST. ini merasa prihatin akan keadaan Taraju saat ini. Lur (baca dulur ) kumaha yeuh Taraju teh, ngebul  mun saminggu teu aya hujan teh, jeung loba leutak deui mun  hujan leutik oge. Dia menulis dalam blognya dua bagian tulisan tentang taraju, berita yang kontradiktif, pesona indah dan realita kondisi rusak. ini dia suara tulisannya; keindahanmu tinngal kenangan.
 Terima kasih, ......