BAGIAN 1: PENDAHULUAN
I.
SEJARAH
DAN SASTRA
Sesungguhnya, sebagian besar isi dari kitab suci Al Qur'an,
dapat ditafsirkan sebagai Mahasejarah. Pengetahuan tentang riwayat kehidupan
manusia, hayat para Nabi dan Rasul, semua itu dapat diketahui berdasarkan
informasi dari kitab suci Al Qur'an.
Kadzalika nuaqushu
`alaika min ambaa‑i maa qod sabaqo. Waqod a'tainaka minladunna dzikron. (Surat Thahaa, Ayat 99).
Terjemahan:
Demikianlah Kami
kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu, dan
sesunguhnya telah Kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (Al‑Quran).
Pengertian tentang Sejarah menurut G.R.
Elton dan Henri Pirenne, kurang lebih sebagai berikut:
Sejarah adalah suatu
hasil studi tentang perbuatan dan hasil‑hasil kehidupan manusia dalam
masyarakatnya di masa silam.
Sejarah, diungkapkan melalui studi disiplin ilmu:
1. Filologi, ilmu
yang mempelajari tulisan dan bahasa pada naskah‑naskah kuno pada lontar,
daluwang, kertas;
2. Epigrafi,
ilmu yang mempelajari tulisan dan bahasa kuno pada batu, kayu, logam, yang
dikenal sebagai prasasti;
3. Arkeologi,
ilmu yang mempelajari benda‑benda peninggalan sejarah (artefak).
Ilmu pengusung lainnya, adalah geografi
sejarah (ilmu yang mempelajari peta sejarah), linguistik (ilmu yang
mempelajari kebahasaan) dan antropologi (ilmu yang mempelajari kebudayaan).
Sedangkan di pihak lain, pengertian tentang "sejarah",
umumnya berupa dongeng, cerita, tambo, legenda, mitos, dan lain sebagainya.
Seperti halnya yang dipahami oleh umumnya masyarakat Sunda, yang dianggap
"sejarah" tersebut, adalah: dongeng, sasakala, pantun, wawacan, babad
dan lain-lain. Padahal, ragam tersebut, berada di wilayah disiplin ilmu Sastra.
Tidak dapat dipungkir, di dalam
pemahaman kehidupan sehari‑hari, antara Sejarah dengan Sastra, memiliki pemisah
yang sangat tipis. Masyarakat sulit untuk bisa membedakan, yang mana Sejarah
dan yang mana Sastra. Oleh karena itu, sejarah yang akan diungkapkan dalam buku
ini, pembahasannya sedapat mungkin sudah dikaji terlebih dahulu berdasarkan
disiplin ilmu Sejarah. Sedangkan sumber‑sumber Sastra (sasakala, pantun,
wawacan dan babad), sampai taraf tertentu, hanya dijadikan sebagai sumber
pembanding.
Untuk memudahkan pembaca umum
(masyarakat luas), pembahasan dalam buku ini, beberapa ketentuan yang bertalian
dengan sistematika, metodologi dan penulisan ilmiah sejarah yang ketat, sedapat
mungkin disederhanakan. Hal tersebut sangat disadari, agar sejarah yang
dianggap wilayah kering, akan menjadi lahan yang subur, mudah dipahami dan
tersosialisasi dengan baik.
II.
SUMBER
PUSTAKA WANGSAKERTA
Kehadiran naskah‑naskah kuno (pustaka)
Pangeran Wangsakerta Cirebon abad ke‑17 Masehi, setelah diuji secara filologi
oleh para akhli, Tim Penggarap Naskah Pangeran Wangsakerta (dipimpin oleh Prof
Dr. H. Edi S. Ekadjati, Program Kerja Yayasan Pembangunan Jawa Barat, 1989‑1991),
telah menjadi sumber yang berharga bagi ilmu pengetahuan sejarah.
Nama Pangeran Wangsakerta mulal
menarik minat kalangan sejarah, setelah diterbitkan naskah Carita
Purwaka Caruban Nagari, yang ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon dalam
tahun 1720. Pangeran Arya Cirebon alias Pangeran Adiwijaya, adalah putera
bungsu Sultan Kasepuhan pertama. la kemenakan Pangeran Wangsakerta.
Dalam percaturan Sejarah Tatar Sunda,
Priangan khususnya, nama Pangeran Arya Cirebon cukup dikenal, karena sejak
tahun 1706 ia ditunjuk oleh Kompeni Belanda menjadi opzichter para
bupati di Priangan. la dinilail amat berhasil dan amat pandai, sehingga,
setelah wafat dalam tahun 1723, Kompeni Belanda tidak sanggup mencari
penggantinya, karena dianggap tidak ada tokoh yang mampu menyamainya.
Naskah Purwaka Caruban Nagari,
memiliki kadar kesejarahan yang jauh lebih tinggi (jika dibandingkan dengan
naskah babad atau sejenisnya), karena menyebutkan sumber penulisnya. Kalimat
terakhir naskah tersebut memberitakan, bahwa cerita itu disusun oleh Pangeran
Arya Cirebon, berdasarkan naskah Pustaka Nagara Kretabhumi karya Pangeran Wangsa
kerta.
Sebenarnya masih ada sebuah naskah lain, yang menyebutkan
Pustaka Nagara Kretabhumi sebagai sumber, yaitu Pustaka Pakungwati
Cirebon (1779 M) yang disusun oleh Wangsamanggala (Demang Cirebon)
bersama Tirtamanggala (Demang Cirebon Girang). Dalam naskah ini, hanya pada
halaman akhir disebutkan sebagai kutipan dari Pustaka Nagara Kretabhumi, yaitu
mengenai pernah adanya Kerajaan Tarumanagara, dengan raja-rajanya yang memakal
nama Warman sebagal pendahulu Kerajaan Pajajaran. Bagian selebihnya, tampil
dalam gaya sastra babad biasa, yang penuh dengan hal-hal sensasional dan
dibumbui supranatural.
Sejak naskah Purwaka Caruban Nagari diterbitkan
tahun 1972, mulallah nama Pangeran Wangsakerta dikenal umum, sebagai pujangga
penyusun naskah Pustaka Nagara Kretabhumi. Namun tak seorangpun
mengetahui, naskah tersebut benar‑benar pernah ada atau tidak, dan kalau ada,
tak seorangpun yang mengetahui tempatnya.
Setelah pelacakan yang intensif, namun dilakukan secara
diam-diam selama 5 tahun oleh Drs. Atja, akhirnya naskah Pustaka Nagara
Kretabhumi mulai ditemukan dan dibeli oleh Museum Negeri Sri Baduga (Jawa
Barat) dalam pertengahan tahun 1977. Setelah itu, secara berturut‑turut,
naskah-naskah lain karya Pangeran Wangsakerta, disampaikan kepada Museum Negeri
Sri Baduga Jawa Barat dari para pemiliknya, yang kebanyakan berdomisili di luar
Jawa.
Pakar sejarah Edi S. Ekadjati, dalam
buku Naskah Sunda (1988), meriwayatkan tentang penemuan 47 buah naskah Pustaka
Wangsakerta. Empat buah naskah di antaranya, ditemukan di Banten, antara lain: