BAGIAN 1: PENDAHULUAN
I.
SEJARAH
DAN SASTRA
Sesungguhnya, sebagian besar isi dari kitab suci Al Qur'an,
dapat ditafsirkan sebagai Mahasejarah. Pengetahuan tentang riwayat kehidupan
manusia, hayat para Nabi dan Rasul, semua itu dapat diketahui berdasarkan
informasi dari kitab suci Al Qur'an.
Kadzalika nuaqushu
`alaika min ambaa‑i maa qod sabaqo. Waqod a'tainaka minladunna dzikron. (Surat Thahaa, Ayat 99).
Terjemahan:
Demikianlah Kami
kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu, dan
sesunguhnya telah Kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (Al‑Quran).
Pengertian tentang Sejarah menurut G.R.
Elton dan Henri Pirenne, kurang lebih sebagai berikut:
Sejarah adalah suatu
hasil studi tentang perbuatan dan hasil‑hasil kehidupan manusia dalam
masyarakatnya di masa silam.
Sejarah, diungkapkan melalui studi disiplin ilmu:
1. Filologi, ilmu
yang mempelajari tulisan dan bahasa pada naskah‑naskah kuno pada lontar,
daluwang, kertas;
2. Epigrafi,
ilmu yang mempelajari tulisan dan bahasa kuno pada batu, kayu, logam, yang
dikenal sebagai prasasti;
3. Arkeologi,
ilmu yang mempelajari benda‑benda peninggalan sejarah (artefak).
Ilmu pengusung lainnya, adalah geografi
sejarah (ilmu yang mempelajari peta sejarah), linguistik (ilmu yang
mempelajari kebahasaan) dan antropologi (ilmu yang mempelajari kebudayaan).
Sedangkan di pihak lain, pengertian tentang "sejarah",
umumnya berupa dongeng, cerita, tambo, legenda, mitos, dan lain sebagainya.
Seperti halnya yang dipahami oleh umumnya masyarakat Sunda, yang dianggap
"sejarah" tersebut, adalah: dongeng, sasakala, pantun, wawacan, babad
dan lain-lain. Padahal, ragam tersebut, berada di wilayah disiplin ilmu Sastra.
Tidak dapat dipungkir, di dalam
pemahaman kehidupan sehari‑hari, antara Sejarah dengan Sastra, memiliki pemisah
yang sangat tipis. Masyarakat sulit untuk bisa membedakan, yang mana Sejarah
dan yang mana Sastra. Oleh karena itu, sejarah yang akan diungkapkan dalam buku
ini, pembahasannya sedapat mungkin sudah dikaji terlebih dahulu berdasarkan
disiplin ilmu Sejarah. Sedangkan sumber‑sumber Sastra (sasakala, pantun,
wawacan dan babad), sampai taraf tertentu, hanya dijadikan sebagai sumber
pembanding.
Untuk memudahkan pembaca umum
(masyarakat luas), pembahasan dalam buku ini, beberapa ketentuan yang bertalian
dengan sistematika, metodologi dan penulisan ilmiah sejarah yang ketat, sedapat
mungkin disederhanakan. Hal tersebut sangat disadari, agar sejarah yang
dianggap wilayah kering, akan menjadi lahan yang subur, mudah dipahami dan
tersosialisasi dengan baik.
II.
SUMBER
PUSTAKA WANGSAKERTA
Kehadiran naskah‑naskah kuno (pustaka)
Pangeran Wangsakerta Cirebon abad ke‑17 Masehi, setelah diuji secara filologi
oleh para akhli, Tim Penggarap Naskah Pangeran Wangsakerta (dipimpin oleh Prof
Dr. H. Edi S. Ekadjati, Program Kerja Yayasan Pembangunan Jawa Barat, 1989‑1991),
telah menjadi sumber yang berharga bagi ilmu pengetahuan sejarah.
Nama Pangeran Wangsakerta mulal
menarik minat kalangan sejarah, setelah diterbitkan naskah Carita
Purwaka Caruban Nagari, yang ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon dalam
tahun 1720. Pangeran Arya Cirebon alias Pangeran Adiwijaya, adalah putera
bungsu Sultan Kasepuhan pertama. la kemenakan Pangeran Wangsakerta.
Dalam percaturan Sejarah Tatar Sunda,
Priangan khususnya, nama Pangeran Arya Cirebon cukup dikenal, karena sejak
tahun 1706 ia ditunjuk oleh Kompeni Belanda menjadi opzichter para
bupati di Priangan. la dinilail amat berhasil dan amat pandai, sehingga,
setelah wafat dalam tahun 1723, Kompeni Belanda tidak sanggup mencari
penggantinya, karena dianggap tidak ada tokoh yang mampu menyamainya.
Naskah Purwaka Caruban Nagari,
memiliki kadar kesejarahan yang jauh lebih tinggi (jika dibandingkan dengan
naskah babad atau sejenisnya), karena menyebutkan sumber penulisnya. Kalimat
terakhir naskah tersebut memberitakan, bahwa cerita itu disusun oleh Pangeran
Arya Cirebon, berdasarkan naskah Pustaka Nagara Kretabhumi karya Pangeran Wangsa
kerta.
Sebenarnya masih ada sebuah naskah lain, yang menyebutkan
Pustaka Nagara Kretabhumi sebagai sumber, yaitu Pustaka Pakungwati
Cirebon (1779 M) yang disusun oleh Wangsamanggala (Demang Cirebon)
bersama Tirtamanggala (Demang Cirebon Girang). Dalam naskah ini, hanya pada
halaman akhir disebutkan sebagai kutipan dari Pustaka Nagara Kretabhumi, yaitu
mengenai pernah adanya Kerajaan Tarumanagara, dengan raja-rajanya yang memakal
nama Warman sebagal pendahulu Kerajaan Pajajaran. Bagian selebihnya, tampil
dalam gaya sastra babad biasa, yang penuh dengan hal-hal sensasional dan
dibumbui supranatural.
Sejak naskah Purwaka Caruban Nagari diterbitkan
tahun 1972, mulallah nama Pangeran Wangsakerta dikenal umum, sebagai pujangga
penyusun naskah Pustaka Nagara Kretabhumi. Namun tak seorangpun
mengetahui, naskah tersebut benar‑benar pernah ada atau tidak, dan kalau ada,
tak seorangpun yang mengetahui tempatnya.
Setelah pelacakan yang intensif, namun dilakukan secara
diam-diam selama 5 tahun oleh Drs. Atja, akhirnya naskah Pustaka Nagara
Kretabhumi mulai ditemukan dan dibeli oleh Museum Negeri Sri Baduga (Jawa
Barat) dalam pertengahan tahun 1977. Setelah itu, secara berturut‑turut,
naskah-naskah lain karya Pangeran Wangsakerta, disampaikan kepada Museum Negeri
Sri Baduga Jawa Barat dari para pemiliknya, yang kebanyakan berdomisili di luar
Jawa.
Pakar sejarah Edi S. Ekadjati, dalam
buku Naskah Sunda (1988), meriwayatkan tentang penemuan 47 buah naskah Pustaka
Wangsakerta. Empat buah naskah di antaranya, ditemukan di Banten, antara lain:
1. Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara (Parwa II, Sarga 2), dikumpulkan antara
tahun 1967‑1969 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (69 lembar) dari seorang
pedagang, dan di Serang (Banten) sebanyak 33 lembar. Pada tahun 1977 naskah ini
dijilid dan sudah lengkap. (Pemberi keterangan Siradjudin, tanggal 5‑2‑1978);
2. Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara (Parwa II, Sarga 3). Sebagian naskah
ditemukan pada tahun 1949 di Palembang dan sebagian lainnya di Banten, dari
seorang dukun keliling penjual jamu. Beberapa naskah yang ditemukan di
Palembang pada tahun 1964, sebagian terendam lumpur, akibat banjir Sungai Musi.
Baru tahun 1979, naskah ini terkumpul lengkap, setelah digabungkan dengan
naskah yang ditemukan di Banten;
3. Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara (Parwa III, Sarga 5), dari Banten tanggal
4 September 1983;
4. Pustaka
Pararatwan i Bhumi Jawadwipa (Panyangkep), sebagian dari Palembang
(Atmo Darmodjo), sebagian dari Serang (Yusuf, dan sebagian lagi dari Jambi
(Hassan). Dikumpulkan tahun 1926‑1931 dan dijilid tahun 1978;
Dari 47 naskah Pangeran Wangsakerta,
dapat diketahui, bahwa tebal tiap jilid bervariasi antara 100 sampal 250
halaman, dengan isi antara 21 sampal 23 baris tiap halaman. Berdasarkan laporan
pengujian secara kimiawi di laboratorium Arsip Nasional (1988), kertas daluang
yang digunakan dalam naskah‑naskah Pangeran Wangsakerta, sudah berusia lebih
dari 100 tahun. Penelitian usia naskah‑naskah tersebut, kini sedang dilakukan
di sebuah laboratorium di Jepang. Walaupun demikian, naskah‑naskah Pangeran
Wangsakerta, sudah dapat dikategorikan ke dalam Naskah Kuno. Naskah‑naskah
tersebut ditulis dengan tinta japaron, menggunakan aksara dan
bahasa Kawi Jawa Kuno, gaya Cirebon.
Edi S. Ekadjati dalam Katalog Induk Naskah-naskah
Nusantara Jilid 5A, Jawa Barat Koleksi Lima Lernbaga (1999),
memperinci kondisi naskah‑naskah Pustaka Wangsakerta, di antaranya
sebagal berikut:
Judul Naskah, Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara.
Bahasa: Jawa Cirebon;
aksara: Cacarakan; bentuk: Prosa; bahan naskah: Dluwang; Sampul: kertas tebal
terbungkus kaln blacu; tebal: 214 halaman, halaman yang ditulis: 213 halaman, 1
halaman kosong; tinta hitam, tulisan umumnya masih terbaca.
Ukuran; sampul: 35,5 x
27,5 cm; halaman: 35,5 x 27,5 cm; tulisan: 32 x 22 cm.
Penomoran halaman ada dengan angka Cacarakan 1‑212 dan dua
halaman tanpa nomor, yaitu halaman awal dan akhir. Penulisan nomor halaman pada
margin atas tengah.
Keadaan fisik umumnya masih baik dan terpelihara. Kertas sangat
kusam kehitam‑hitaman. Setiap lembar halaman dibingkal garis ganda, dan
penjilidan ketat sehingga apabila dibuka salah satu permukaan halamannya
melenting (Ekadjati,1999:187).
Dari naskah‑naskah yang terkumpul di
Museum Negeri Sri Baduga (Jawa Barat), ternyata ada empat macam seri sejarah
yang telah disusun oleh Pangeran Wangsakerta dan kawan‑kawan, yaitu:
1. Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara;
2. Pustaka
Pararatwan i Bhumi Jawadwipa;
3. Pustaka
Nagara Kretabhumi;
4. Pustaka
Carita Parahiyangan.
Berkat ditemukannya Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa
V sarga 5, yang berupa katalog mengenal pustaka‑pustaka, dapat diketahui
judul-judul seluruh naskah yang pernah disusun Pangeran Wangsakerta. Baik dalam
jaman pemerintahan Panembahan Girilaya, maupun dalarn masa dirinya ketika
menjadi Panembahan Cirebon.
Selain itu, dapat diketahui pula judul-judul naskah yang pernah
ditulis oleh Panembahan Losari (jaman Susuhunan Jati) dan Pangeran Manis (jaman
Panembahan Ratu). Katalog tersebut menampilkan 1703 judul naskah yang pernah
ditulis di Keraton Cirebon, di antaranya 1218 judul berupa karya Pangeran
Wangsakerta dan kawan‑kawan.
Naskah‑naskah tersebut
mencakup berbagal bidang pengetahuan, seperti misalnya sejarah, hukum, dan
kesehatan. Bahasa naskah pun sekurang-kurangnya mencakup bahasa‑bahasa
Jawakuna, Melayukuna, Balikuna, dan Sundakuna. Khazanah perpustakaan itu
umumnya terdiri dan naskah lontar dan prasasti (Ayatrohaedi,1985: 537).
Menurut Pangeran Wangsakerta, di antara
pustaka milik keraton Kasepuhan itu, ada juga milik para Duta atau Mahakawi
(Pujangga Besar; dari daerah lain, yang datang bermusyawarah (mapulung rahi)
di Cirebon dalam tahun 1599 Saka (1677 M). Di antara mereka itu, banyak yang
menghadiahkan naskah yang dibawanya, kepada Sultan Cirebon. Tapi ada juga yang
meminjamkannya untuk sementara, dan setelah usai disalin atau dipelajari
isinya, dibawa kembali ke negaranya. Hal yang menarik misalnya naskah‑naskah
karya Prapanca dibawa oleh Mahakawi utusan dari Bali bukan oleh utusan dari
Jawa Timur.
Ayatrohaedi menjelaskan dalam
tulisan Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, pada buku Pertemuan
Ilmiah Arkeologi ke III, bahwa setiap jilid Pustaka Wangsakerta,
terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1.
Purwaka
2. Uraian
kisah sejarah dalam jilid yang bersangkutan
3.
Kolofon
Bagian purwaka,
secara terperinci memberikan keterangan yang berkaitan dengan; nama naskah,
parwa dan sarga, penyusun, sumber, alasan penyusunan, tujuan penyusunan, dan
cara kerja yang lebih jauh menguraikan tentang hal‑hal yang berkaitan dengan;
pembentukan panitia, pencarian sumber dan bahan, pengundangan nara sumber,
penyelenggaraan sawala dan penugasan sangga, dan penyelesaian masalah yang
muncul dalam sawala. Bagian inilah yang bersangkut paut dengan
pertanggungjawaban ilmiah para penyusun.
Bagian kedua, merupakan uraian yang
lebih banyak menyita bagian terbesar dalam tiap jilid, karena berisi keterangan
kesejarahan yang sesuai dengan jilid yang bersangkutan. Sedangkan kolofon berisi
keterangan mengenai akhir penulisan jilid tersebut (Ayatrohaedi,1985: 530‑557).
III.
Gotrasawala
Dari semua naskah yang telah terkumpul, dapatlah diketahui bahwa
untuk tiap-tiap Jilid, Pangeran Wangsakerta selalu menyajikan kata pengantar
yang berisi keterangan, tentang asal usul penulisnya dan kadang‑kadang tentang
siapa‑siapa yang ikut serta menyusunnya. Kata pengantar itu kadang-kadang
lebar, kadang‑kadang amat ringkas.
Dari kata pengantarnya
itulah diketahui, bahwa dalam tahun 1677 M, di Keraton Kasepuhan pernah
diadakan mapulung rahi (silaturahmi kekeluargaan) dan gotrauawala
(musyawarah) Para Akhli Sejarah dari Seluruh Nusantara. Musyawarah tersebut
diadakan, atas permintaan Sultan Kasepuhan dan Sultan Kanoman, untuk
melaksanakan amanat Panembahan Girilaya kepada Pangeran Wangsakerta, agar ia
menyusun Sejarah Kerajaan‑kerajaan di Nusantara (Pustaka Rajyarajya i Bhumi
Nusantara). Pelaksanaannya, mendapat restu dari Susuhunan Banten (Sultan
Ageng Tirtayasa) dan Susuhunan Mataram (Amangkurat I).
Susunan lengkap kepanitiaan gotrasawala (musyawarah)
itu tertera dalam kata pengantarnya, adalah sebagai berikut:
a.
Penanggungjawab (tuan rumah): Sultan Sepuh dan Sultan Anom
b. Ketua
musyawarah (penulis): Pangeran Wangsakerta
c.
Penasehat:
1.
Dharmadyaksa Karasulan (Ulama Islam) dari Arab
2.
Dharmadyaksa Kasewan (Ulama Hindu Siwa) dari India
3.
Dharmadyaksa Kawesnawan (Ulama Hindu Wisnu) dari Jawa Timur
4.
Dharmadyaksa Kasogatan (Ulama Budha) dari Jawa Tengah
5.
Dharmadyaksa Kong Pu Ce (Ulama Konghutsu) dari Semarang.
d.
Panitia Pelaksana, Jaksa Pepitu Cirebon, yang terdiri dari:
1.
Raksanagara: penulis naskah dan pengatur pertemuan
2.
Anggadiraksa: wakil penulis naskah dan bendahara
3.
Purbanagara: pengumpul dan penyeleksi bahan naskah
4.
Singanagara: penanggungjawab keamanan
5.
Anggadipraja: duta keliling, undangan dan juru bahasa
6.
Anggaraksa penanggung jawab konsumsi
7.
Nayapati; penanggung jawab akomodasi dan angkutan
e. Para
Peserta, utusan dari berbagai daerah yang dibentuk menjadi 5 sangga (kelompok),
yaitu:
Sangga I: Surabaya, Pasuruan, Panarukan, Balambangan,
Bali, Madura, Makasar, Banggawi, Maluku, Galiyao, Seran, Lwah Gajah, Ambon,
Gurun, Taliwang, Bantayan, Banten dan Palembang.
Sangga II: Mataram, Lasem, Tuban, Wirasaba, Kediri,
Semarang, Mojoagung, Bagelan, Dermayu, Losari, Brebes, Tegal, Jepara, Mantingan
dan Bonang
Sangga III: Jayakarta,
Demak, Kudus, Cirebon, Pasai, Geresik, Tanjungpura Karawang, Cangkuang,
Kuningan, Lamongan, Tembayat, Sedayu, Malaka, Barus, Tumasik, dan Trengganu.
Sangga IV: Sumedang, Sukapura, Parakan Muncang,
Galunggung, Rancamaya, Ukur, Talaga, Sindangkasih, Galuh, Kertabumi, Rajagaluh,
Luragung, Imbanagara, Giri dan Sendang Duwur.
Sangga V: Jambi, Bangka, Perelak, Berunai, Lamuri,
Kuta Lingga, Tanjung Kutai, Tanjung Puri, Tanjung Nagara, Minangkabau,
Kamperharwa (Mandailing) dan Siak.
f.
Pendengar (pangreungeu), dari negara tetangga yaitu: Mesir, Arab, India,
Sri Langka, Benggala, Campa, Cina, dan Ujung Mendini (Semenanjung Malaka).
Para pendengar ini hanya menyaksikan musyawarah dan tidak
mempunyai hak suara. Namun di antaranya, ada yang memberikan naskah-naskah
berupa piagam perjanjian negara mereka dengan Kompeni Belanda. Tahap‑tahap
pembahasan dan penulisan diatur sebagai berikut:
a.
tiap anggota sangga harus menyusun (menyajikan) sejarah daerahnya masingy‑masing
yang isinya harus disepakati oleh sidang sangga;
b. hasil
musyawarah dalam sangga harus dikemukakan dalam sidang lengkap oleh
seseorang paujar (juru bicara);
c.
dinilai kebenarannya oleh para penasihat;
d.
dinilai kecocokannya dengan isi pustaka yang telah diakui keabsahannya;
e.
setelah disepakati bersama, dibuat risalah resmi;
f.
dimintakan persetujuan (restu dari keempat sultan sponsor);
g.
dibukukan (pinustaka) oleh penyurat dengan tanggungjawab Pangeran
Wangsakerta (pekerjaan inilah yang memakan waktu 22 tahun lamanya). Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Ayatrohaedi (1985), bahwa naskah-naskah Pustaka
Wangsakerta, digarap berdasarkan sistematika dan organisasi, yang secara taat
asas dipegang oleh para penyusunnya.
IV.
CARA
KERJA PANGERAN WANGSAKERTA
Gambaran umum tentang bagaimana cara Pangeran Wangsakerta
bekerja, dalam upaya menyusun naskah sejarah, dapat dilihat dengan baik dalam
kata pendahuluan yang disajikan dalam naskahnya Sebagai contoh, dapat
dikemukakan terjemahan kata pendahuluan dalam Pustaka Rajyarajya i
Bhumi Nusantara parwa IV sarga 1, yang terjemahannya antara lain
sebagai berikut:
Pada saat menyusun naskah ini, demikian
pula pada waktu menyusun pustaka‑pustaka lainnya, aku senantiasa menemui
kesulitan‑kesulitan yang menimbulkan beberapa kesukaran. Sebabnya ialah ada
beberapa mahakawi dan menteri‑menteri utusan yang berbeda pendapat dalam
mengutarakan sejarah negaranya masing‑masing mengenai: kejayaannya, tahun
pemerintahan raja‑rajanya, tahun berdirinya sesuatu kerajaan, keturunan
raja-rajanya, istri raja, meletusnya suatu pemberontakan, tahun wafat raja dan
banyak hal lagi.
Demikianlah misalnya mahakawi dari Jawa dan mahakawi dari Sunda,
lalu mahakawi dari Banten dan mahakawi dari Mataram dan Cirebon saling berbeda
dan saling bertentangan dalam pembicaraan mengenai negaranya masing-masing. Demikian
pula mahakawi dan Kudus dan Sumedang dengan mahakawi dari Cirebon dan Pasai.
Lalu mahakawi dari Sumatra dengan mahakawi dari Jawa Timur. Terjadilah
kericuhan yang nyaris mencetuskan pertentangan. Hampir‑hampir tak ditemukan
kisah sejarah yang sesungguhnya (kathekang tatwa).
Pertentangan timbul pula antara mahakawi dari Jayakarta, Cirebon
dan Banten dengan mahakawi dari Mataram. Demikian pula mahakawi dari Makasar
berselisih paham dengan mahakawi dari Mataram, Madura dan Banten. Timbul pula
pertentangan pendapat antara mahakawi dari Kutai dengan utusan Palembang dan
Ukur.
Namun lebih parah lagi keadaan dalam sidang kelima kelompok para
mahakawi dan menteri. Para peserta musyawarah saling memarahi sehingga akhirnya
timbul kericuhan. Hampir mereka itu berperang‑tanding (madwanda yudha)
dalam ruang sidang, terutama dalam saat-saat awal penulisan naskah.
Adapun para mahakawi utusan dari negeri
seberang dan negeri asing hanyalah hadir sebagai saksi. Tetapi mereka
memberikan catatan, termasuk beberapa surat dari Belanda yang ada di negaranya.
Juru bicara (paujar) hanya ada
lima orang yang harus mengutarakan kisah sejarah yang sesungguhnya. Tetapi di
antara mereka itu ada yang menyampaikan pandangannya secara berlebih‑lebihan (wakrokti).
Ada cerita yang sesungguhnya tak pernah terjadi (niskarana), melainkan
hanya hasil pikiran khayal (cittanung maya) dan keliru (wiparita).
Kisah bualan seperti itu tidak diambil dan tidak dijadikan catatan.
Ada yang melontarkan kata‑kata menghina
dan tidak layak sampai hampir menimbulkan kericuhan. Hanyalah karena aku telah
cukup banyak mempelajari bermacam‑macam pustaka tentang sejarah kerajaan‑kerajaan
di Nusantara dan memiliki aneka macam pustaka tentang kerajaan‑kerajaan
akhirnya aku berhasil mengatasi mereka, dan juga karena aku menjadi ketua
mereka dalam musyawarah ini.
Karena itu aku
menempuh jalan tengah. Walaupun begitu aku senantiasa bermusyawarah dan berunding lebih dahulu
dengan mereka terus menerus, lebih‑lebih dengan para sesepuh, mahakawi dan para
duta kerajaan yang tinggi pengetahuannya (widyanipuna).
Dengan cara ini akhirnya mereka bersedia mengutarakan
kisah sejarah yang sebenarnya, tidak lagi dibuat‑buat. Tugas yang aku hadapi
tidak sulit lagi. Lagi pula mereka telah sepakat akan mengikuti amanat Sultan
Sepuh Cirebon. Mereka bersepakat sama‑sama mengharapkan hasil sempurna dari
karya besar ini yaitu: menyusun pustaka yang akan menjadi tuntunan pengetahuan
sejarah (panghulu widya ning katha), terutama bagi semua penduduk dari
segala lapisan (kanistamadyau mottama) dan lebih‑lebih lagi untuk
pustaka pegangan raja yang memerintah negara atau daerah.
Dalam beberapa hari aku berupaya sekuat tenaga sampai
akhirnya semua kesulitan dapat diatasi dan naskah yang kami susun dapat
disetujui seutuhnya. Walaupun demikian, maafkanlah seandainya terdapat
kekeliruan dalam penyusunan pustaka ini.
Lebih,dahulu aku berdoa kepada Hyang Tunggal Yang Maha Kuasa:
semoga selamat sentosa. Hindarkanlah kami dari perbuatan dosa dan malapetaka.
Hilangkanlah segala perbuatan jahat dan bahaya perbuatan khianat yang akan
merusak negara kami semua, dan semoga berikanlah kesejahteraan kepada kami
peserta musyawarah yang menyusun pustaka ini sebagai bahan pengetahuan bagi
masa yang akan datang dan masa kini (natgata
wartanana), terutama sebagai pengetahuan tentang raja‑raja beserta
kerajaannya, agamanya, tanahnya dan masyarakatnya dalam kehidupan di bumi
Nusantara ini.
Pustaka ini hendaknya dijadikan tonggak segala kisah, dan kami
sama sekali tidak menyimpang dari kisah yang sebenarnya karena hal itu telah
merupakan hasil penelitian yang seksama mengenai kebenarannya serta senantiasa
akan berguna sebagai penuntun bagi masyarakat dan segala lapisan sejak saat ini
sampai masa yang akan datang.
Dalam jilid yang lain, kadang kadang ia mempertaruhkan
integritasnya sebagai keturunan Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati) yang tidak
boleh berbohong dalam membela keabsahan isi naskahnya. la pun biasa menunjuk
sumber‑sumber tertulis atau lisan, sebagai referensi dalam penyusunan
naskahnya, baik secara khusus maupun sambil lalu.
Patut disayangkan, bahwa Pangeran Wangsakerta tidak menyebutkan
tanggal dan bulan pelaksanaan silaturahmi dan musyawarah para akhli sejarah se‑Nusantara
di Cirebon itu. la hanya menyebutkan tahun 1599 Saka yang bertepatan dengan
tahun 1677 Masehi. Dalam naskah‑naskahnya Pangeran Wangsakerta, selalu
menggunakan sistem penanggalan Saka Hindu.
Dapat diketahui, bahwa Pustaka Rajyarajya i Bhumi
Nusantara parvva I sarga 1, selesai dibukukan pada tanggal 1 bagian
terang bulan Srawana tahun 1599 Saka (dengan sangkala: nawa gapura
marga raja). Tanggal tersebut,jatuh pada minggu pertama bulan Juli tahun
1677 Masehi. Karena itu, maka Gotrasawala (musyawarah) tersebut,
diduga terjadi sebelum bulan Juli pada tahun itu juga
Melihat hasil musyawarah sebanyak yang termuat dalam naskah‑naskah
Pangeran Wangsakerta, ditambah dengan permasalahan yang terjadi selama
penyusunan, mungkin sekali musyawarah itu sendiri dilangsungkan dalam kuartal
pertama tahun 1677 Masehi. Penulisan naskah menjadi pustaka, memang baru
dilakukan kemudian, oleh Jaksa Pepitu, mungkin oleh Raksanagara dan
Anggadiraksa, yang menjadi penulis dan wakil penulis dalam musyawarah. Dilihat
dari gaya tulisannya, naskah‑naskah itu harus dikerjakan oleh lebih dari satu
orang.
Bila demikian halnya, musyawarah itu telah berlangsung, sebelum
Pangeran Mertawijaya dan Pangeran Kertawijaya dikukuhkan menjadi pengganti
ayahandanya, sebagai para penguasa Cirebon. Kedudukan sebagai Panembahan Sepuh,
dan Panembahan Anom, sebenarnya telah diperoleh sejak Panembahan Girilaya wafat
tahun 1662. Namun mereka tetap tidak diijinkan pulang oleh Sunan Amangkurat I.
Kemudian, terjadi penyerbuan Trunojoyo, sehingga Karta ibukota Mataram, dapat
direbutnya pada tanggal 12 Juli 1677.
Mereka kemudian dibebaskan di Kediri alas desakan Sultan Ageng
Tirtayasa. Pelantikan ketiga Penguasa Cirebon (Sultan Kasepuhan, Sultan
Kanoman, dan Panembahan Kacirebonan), berlangsung di Keraton Surasowan Banten.
Setelah itu, barulah mereka diantarkan pulang ke Cirebon.
Permasalahannya, adalah keterangan Wangsakerta, yang
pienyebutkan bahwa Sultan Sepuh memberikan amanat dalam musyawarah tersebut,
walaupun tidak dijelaskan, apakah amanat itu diberikan secara lisan atau
tertulis. Dalam kenyataannya, Pangeran Wangsakerta telah 17 tahun menjadi
pemegang pemerintahan sehari‑hari, mewakili ayahnya 12 tahun (1650-1662),
ditambah 5 tahun masa vakum (kekosongan kekuasaan), karena kedua kakaknya tetap
berada di ibukota Mataram. Dengan demikian, ia tidak canggung melaksanakan
musyawarah tersebut, bahkan rumah tinggalnyapun berdekatan dengan Keraton
Kasepuhan. Sesungguhnya dialah yang menjadi tonggak musyawarah itu.
Di antara amanat Sultan Sepuh itu, adalah pesan: supaya para
peserta musyawarah berada dalam suasana persaudaraan dan melupakan pertikaian di
antara negara‑negara yang mewakilinya demi kesempurnaan karya besar (karyagheng)
yang mereka hadapi.
Dalam kaitannya dengan alasan
penyusunan, ada dua hal yang menarik. Alasan pertama, ialah karena melihat
kenyataan, bahwa pengetahuan yang dimiliki orang pada masa itu masih lepas‑lepas
(fragmen). Alasan kedua ialah, karena para penyusun memperoleh tugas, dari
orang yang sangat mereka hormati, yaitu:
1.
Pangeran Rasmi yang bergelar Panembahan Adiningratkusuma atau yang lebih
dikenal sebagal Panembahan Girilaya, yaitu ayah Pangeran Wangsakerta;
2.
Pangeran Abulfath Abdulfatah, yang lebih dikenal sebagai Sultan Ageng Tirtayasa
dari Banten; dan
3.
Pangeran Arya Prabhu Adi Mataram, yaitu Susuhunan Amangkurat I dari Mataram.
Bagi Pangeran Wangsakerta dan para jaksa Pepitu, musyawarah
tersebut merupakan kelanjutan dari kegiatan mereka, yang telah lama menekuni
masalah sejarah Nusantara. Tahun 1676, Pangeran Wangsakerta telah menyelesaikan
terjemahan naskah Dharmakirti, hasil salinan Pangeran Losari (1518
M) yang telah suram huruf‑hurufnya. Naskah inilah yang disajikan sebagai sumber
utama tentang riwayat pembentukan bumi serta isinya termasuk kemunculan mahluk
manusia setengah hewan sampai kepada kehadiran manusia sempurna (manusapurna).
Ambahan atau luas jelajah kisah sejarah yang ditampilkan oleh
Pangeran Wangsakerta, meliputi karun waktu yang disebutnya Purwayuga,
yaitu sejak Nusantara dihuni oleh mahluk manusia hewan (satwaprurusa).
Secara runtut berlangsung, kira-kira sejuta tahun sebelum tarikh Saka, sampai
peristiwa perjanjian antara Cirebon dengan VOC tahun 1681. Bahkan, waktu itu ia
menyebutkan tokot-tokoh yang dipusarakan di Giri Saptarengga, yaitu Gunung
Sembung yang oleh umum disebut makam Gunung Jati. Disana, pada salah sebuah
nisan, tertulis Sultan Sepuh I yang wafat tahun 1697.
Dari naskah‑naskah yang terkumpul, baru
dapat diketahui peristiwa-peristiwa dun urutan pemerintahan raja‑raja, lengkap
dengan tahun pemerintahamrya di beberapa daerah yaitu: Perelak, Samudera Pasai,
Sriwijaya, Tatar Sunda, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banjarmasin dun Nusa Bali.
Kita pun dapat menemukan kisah patriotik Sultan Ageng Tirtayasa dari Kerajaan
Islam Surasowan Banten, juga tokoh Laksamana wanita Malahayati dari Kerajaan
Aceh Darussalam, dun Patih Lambung Mangkurat dari Kerajaan Banjar.
Penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, dipaparkannya sejak masa
pemerintahan Darmawangsa. lengkap dengan mazhab yang dianut oleh para
penyiarnya. Juga ia menguraikan siapa sesungguhnya tokoh Fatimah binti Maimun,
yang kehadiran makamnya di Desa Leran, masih merupakan salah satu misteri
sejarah di Indonesia. Menurut pendapat Saleh Danasasmita (1984), dalam beberapa
hal, uraiannya tepat sejalan dengan isi prasasti yang telah dikenal. Sedangkan
beberapa hal lainnya, dapat dikatagorikan logis, dalam arti tidak bertentangan
dengan prasasti yang ada.
Ciri gaya penulisan umum dalam jamannya, hanya tampak bila ia
melukiskan kecantikan seorang wanita, atau melukiskan peran dengan ungkapan
yang hampir selalu sama. la menyisipkan kata "meriam" sebagal
peralatan perang pasukan Demak, saat mereka membantu Cirebon berperang dengan
Kerajaan Galuh di Palimanan, dekat Bukit Gempol tahun 1528.
Dalam ambahan sumber,
Pangeran Wangsakerta pun sering tertumbuk kepada perbedaan keterangan. Dalam
hal yang demikian, ia berusaha mengambil jalan tengah (kalap langkah tengah),
dengan cara mengkompromikannya. Bila hal itu tidak mungkin, maka ia menyajikan
semua keterangan menurut versinya musing-masing, dengan menyebutkan siapa yang
menjadi sumbernya.
V.
PANGERAN
WANGSAKERTA
Saleh Danasasmita, pada tahun 1986
telah berhasil mengidentifikasi Pangeran Wangsakerta, melalui tulisan ilmiah
Pangeran Wangsakerta. Sebagai Sejarawan Abad XVII. Tulisan tersebut berupa
makalah, pernah disampaikan dalam Seminar Kebudayaan Sunda Proyek Sundanologi
Depdikbud di Bandung, pada tanggal 9‑11 Maret 1986.
Menurut Saleh Danasasmita, tokoh
Pangeran Wangsakerta, nyaris tidak dikenal oleh umum. Bahkan di lingkungan
kerabat keraton Cirebon, ia hanya dikenal sebagai Panembahan Cirebon I, tanpa
nilai khusus, kecuali sebagai Asisten Sultan Sepuh.
Di gedung Arsip Nasional, tersimpan sebuah dokumen, berupa
naskah perjanjian antara Cirebon dengan Kompeni Belanda tanggal 7 Januari 1681.
Dokumen tersebut ditulis dalam dua bahasa. Pada bagian kiri berbahasa Melayu
Arab, pada bagian kanan berbahasa Belanda dengan huruf latin.
Di bagian bawah naskah sebelah kiri, terdapat 9 nama
penandatangan perjanjian dari pihak Cirebon. Pada urutan ketiga, tertulis nama
Wangsakerta dalam huruf cacarakan. Dalam naskah tersebut, dicantumkan dengan
tegas, bahwa pemegang kekuasaan di Cirebon ada tiga orang, termasuk Pangeran
Wangsakerta di antaranya. Berdasarkan dokumen tersebut dapat dipastikan, bahwa
tokoh Pangeran Wangsakerta, sebagal salah seorang penguasa Cirebon, dalam
pertengahan kedua abad ke‑17, ternyata benar-benar ada.
Dr. F. de Haan dalam buku Priangan II
(1912), membicarakan tokoh Pangeran Wangsakerta dengan sebutan Depati Topati.
Dalam sumber Kompeni lainnya, ia lebih dikenal sebagai de derde Prins
van Cheribon (Pangeran yang ketiga dari Cirebon).
Catatan Harian
Kompeni, Daggh Register geharden int Casteel Batavia: 19 November
1677 memuat laporan Caeff (wakil Kompeni di Banten), yang memberitakan:
bahwa de derde Prins baru saja kembali ke Cirebon dari
kunjungannya ke keraton Banten. Namun dalam Dagh Register 21
Desember 1677 Caeff melaporkan, bahwa berita tersebut "tidak benar".
Karena kesal, De Haan mengumpat Caeff; Di mana orang itu menaruh matanya? (War
zijne oogen gehad?).
Mengenai hubungan antara Pangeran Wangsakerta dengan kerabat
keraton Banten, De Haan (1912, 260 paragraf 425) mengutip laporan B. van der
Meer dan Jan Mulder, bahwa Sultan Anom masih terhitung kerabat keraton Banten.
Sedangkan Dipati Topati, sama sekali bukan.
Di lingkungan terbatas kerabat keraton, dikenal adanya sebuah
naskah wawacan, dikisahkan bahwa Pangeran Kertawijaya (Sultan Anom) berbeda ibu
dengan Pangeran Mertawijaya (Sultan Sepuh) dan Pangeran Wangsakerta. Ibunda
Pangeran Kertawijaya berasal dari Banten, sedangkan Ibunda kedua orang
saudaranya berasal dari Mataram. Kekisruhan tersebut menunjukkan bahwa riwayat
hidup Pangeran Wangsakerta, termasuk kedudukannya di Cirebon, masih sangat
kabur.
Untuk menjernihkan kekisruhan tersebut, kita perhatikan
keterangan dari Pangeran Wangsakerta sendiri, dalam naskah Pustaka Nagara
Kretabhumi parwa I sarga 4 (Halaman 86-88) yang terjemahannya sebagai berikut:
Telah dikisahkan
terdahulu bahwa Puteri Ratu Ayu Sakluh berjodoh dengan Mas Rangsang yang
kemudian bergelar Sultan Agung Mataram. Dari perkawinan tersebut, lahir Sunan
Tegalwangi yaitu Amangkurat yang pertama. Sunan Tegalwangi berputera Amangkurat
kedua yang kemudian menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Penguasa Mataram.
Puteri Sunan Tegalwangi berjodoh dengan Pangeran Putra yaitu Panembahan
Girilaya putra Pangeran Seda ing Gayam.
Dari puteri Mataram, Panembahan Girilaya berputra tiga, yaitu:
Pangeran Mertawijaya alias Pangeran Samsudin yang menjadi Sultan Kasepuhan
pertama, adiknya. Pangeran Kertawijaya alias Pangeran Badridin yang menjadi
Sultan Kanoman pertama, dan adiknya yang bungsu yaitu Pangeran Wangsakerta yang
menjadi Panembahan Cirebon pertama.
Karena Ratu Ayu Sakluh
itu kakak Panembahan Ratu, maka raja Cirebon dengan raja Mataram masih
berkerabat. Tapi raja Matararn, Sunan Tegalwangi, senantiasa ingin merebut
Cirebon. Sementara itu raja Cirebon juga berkerabat dengan raja Banten padahal
Banten dengan Mataram selalu bermusuhan.
Adapun awal pembentukan Kasepuhan dan Kanoman, pada tahun
1599 Saka (1677 M). Empat tahun kemudian, Cirebon mengadakan perjanjian
persahabatan (mitranan) dengan Kompeni Belanda. Yang menandatangani
surat perjanjian ink yaitu: Sultan Kasepuhan yang pertama Pangeran Samsudin
Mertawijaya, Sultan Kanoman pertama Pangeran Badridin Kertawijaya, kemudian
semua pejabat tinggi negeri Cirebon yang disebut jaksa Pepitu, yaitu:
Panembahan Ageng Gusti Cirebon yaitu Pangeran Wangsakerta dan para jaksa Pepitu
masing-masing: Raksanagara, Purbanagara, Anggadireksa, Anggadiprana,
Anggaraksa, Singanagara, dan Nayapati. Sang Panembahan (Pangeran Wangsakerta)
adalah ketua dari jaksa Pepitu itu.
Penandatangan dari pihak Kompeni
Belanda adalah: Yakub Bule (Jakob van Dijk) dan Kapitan Misel (Michielsz).
Peristiwa itu berlangsung di keraton Kasepuhan.
Setelah Panembahan
Ratu wafat, ia digantikan oleh cucunya yaitu Raden Putra alias Raden Rasmi yang
kemudian disebut Pangeran Panembahan Adining Kusuma. la bergelar Panembahan
Ratu II putera Pangeran Seda ing Gayam, yang wafat ketika ayahnya yaitu
Panembahan Ratu I masih hidup. Panembahan Adining Kusuma menjadi penguasa
Cirebon selama 12 tahun. Setelah wafat, Pangeran Raden Putra disebut Pangeran
Panembahan Girilaya.
Selama menjadi penguasa Cirebon ia selalu berada di Mataram
bersama kedua orang putranya yaitu: Pangeran Samsudin Mertawijaya dan Pangeran
Badridin Kertawijaya. Adapun putra Pangeran Panembahan Girilaya yang ketiga
tinggal di keraton Cirebon mewakili ayahnya.
Setelah Pangeran Panembahan Girilaya wafat, Pangeran Samsudin
Mertawijaya ditunjuk menjadi Panembahan Sepuh kemudian disebut Sultan Kasepuhan
pertama, adiknya, Pangeran Badridin Kertawijaya ditunjuk menjadi Panembahan
Anom kemudian disebut Sultan Kanoman pertama dan adiknya, Pangeran Wangsakerta
ditunjuk menjadi sultan ketiga dengan gelar Panembahan Cirebon.
Pada waktu itu tiga
negara ingin menguasai Cirebon yaitu: Banten, Mataram dan Belanda, padahal para
sultan menghendaki negaranya merdeka. Sementara itu raja Mataram, Susuhunan
Amangkurat pertama sedang bermusuhan dengan Trunojoyo yaitu putra Adipati
Madura Pangeran Cakraningrat.
Tentara Madura yang dipimpin oleh Trunojoyo bergabung
dengan tentara Makasar yang dikepalai Kraeng Galesung dan Monte Marano. Dalam
pertempuran di berbagai daerah, tentara Mataram selalu menderita kekalahan. Tak
lama kemudian tentara Madura dan tentara Makasar berhasil merebut Karta ibukota
Mataram. Susuhunan Amangkurat dan putranya, Pangeran Dipati Anom beserta para
pengiringnya melarikan diri ke arah barat. Kemudian Sunan Mataram wafat di
Tegalwangi. Karena itulah Susuhunan Amangkurat pertama digelari Susuhunan
Tegalwangi. Setelah itu putranya, Pangeran Dipati Anom, menggantikan ayahnya
menjadi Susuhunan Amangkurat kedua.
Ketika Ibukota Mataram direbut oleh tentara Madura dan Makasar,
Panembahan Sepuh Samsudin Mertawijaya dan Panembahan Anom Cirebon berada di
sana. Mereka ditawan oleh Trunojoyo lalu dibawa ke Kediri. Juga Ratu Blitar
serta beberapa kaulanya tertangkap oleh Trunojoyo dan dibawa ke Kediri. Di sana
para pangeran dari Cirebon bersama Ratu Blitar mendapat perlakuan hormat dari
Trunojoyo.
Pangeran Wangsakerta Panembahan Cirebon, yaitu aku sendiri,
ingin membebaskan kakakku dari bencana tersebut. Karena itu aku beserta
rombongan para pejabat tinggi pergi ke Banten. Dengan sungguh-sungguh aku
memohon bantuan kepada Sultan Ageng Tirtayasa Banten agar ia berusaha
membebaskan kakakku karena Sultan Banten masih kerabatku.
Kemudian anggota rombonganku bersama tentara Banten pergi naik
kapal perang Banten menuju Jawa Timur dan selanjutnya ke Kediri. Trunojoyo
dikirim surat oleh Sultan Banten yang berisi permintaan agar para pangeran dari
Cirebon beserta pengiringnya dibebaskan. Bersamaan dengan itu Sultan Banten
memberikan hadiah dan bantuan berupa senjata kepada Trunojoyo karena Sultan
Banten bersekutu dengan Trunojoyo dalam permusuhan mereka terhadap Mataram dan
Belanda. Penguasa Banten menyampaikan rasa suka citanya karena Trunojoyo
berhasil merebut ibukota Mataram.
Pangeran Madura itu bersikap hormat kepada anggota rombongan
utusanku dan menjamu dengan bermacam‑macam hidangan yang serba lezat. Akhirnya
Panembahan Sepuh, Panembahan Anom beserta pengiringnya demikian juga Ratu
Blitar dibebaskan oleh Trunojoyo.
Setelah itu anggota rombonganku membawa kakakku dan Ratu Blitar
ke Banten. Di sana Sultan Ageng Banten menerima kedatangan rombonganku bersama
Panembahan Sepuh dan Panembahan Anom Cirebon.
Lalu Sultan Banten mewisuda kami,
Pangeran Samsudin Mertawiijaya ditunjuk menjadi Sultan Sepuh yang kemudian
disebut Sultan Kasepuhan, Pangeran Badridin Kertawrijaya ditunjuk menjadi
Sultan Anom yang kemudian disebut Sultan Kanoman dan Pangeran Wangsakerta
ditunjuk menjadi Sultan ketiga dengan sebutan Panembahan Ageng Gusti Cirebon
alias Panembahan Tohpati atau Abdul Kamil Mohammad Nasarudin namanya yang lain.
Setelah itu kami pulang ke Cirebon dan Sultan Banten
meminta agar kami memusuhi Mataram dan Belanda. Sejak saat itulah berdiri
Kesultanan Kasepuhan, Kesultanan Kanoman dan Panembahan Cirebon.
Kutipan di atas, merupakan kisah
yang dialami sendiri oleh Pangeran Wangsakerta, sehingga dapat menghapus segala
kekisruhan, akibat bermacam‑macam dugaan yang ditulis pada masa kemudian.
***
BAGIAN : 2. SALAKANAGARA
I.
PURWAYUGA
Sedemikian jauh, di Tatar Sunda belum ditemukan fosil
manusia yang berasal dari lapisan Pleistosen‑Bawah, maupun dari lapisan
Pleistosen‑Tengah. Akan tetapi, dengan ditemukannya fosil manusia
Pithecanthropus Mojokertemis dan Meganthropus Palaeojavanicus dari lapisan
tanah PleistosenvbTengah di Jetis dekat Sangiran (Mojokerto), kemudian ditemukan
pula fosil manusia dari lapisan Pleistosen‑Tengah di Trinil tepi Bengawan Solo
dari jenis Pithecanthropus Erectus kemungkinan yang sama, bisa saja terjadi di
Tatar Sunda.
Sebelum kemungkinan itu terbukti, berdasarkan Naskah
Pangeran Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara Parwa I Sarga 1, dikemukakan kisah
tentang Purwayuga (Zaman Purba), antara lain sebagai berikut:
...//
witan sarga kala niking bhumitala / bhumitala pinakagni dumilah mwang
usna //prayuta warsa tumuli kukm peteng rat bhumandala canaih canaih
dumanarawata sirna / bhumi mahatis yadyastun mangkana/ tatan hang jang gama /
ateher bhumandala nikang dadi prawata lawan sagara//prayuta warsa tumuli dadi
to sthawarahalit ateher dadi to janggama prakara satwa / ateher satwekang hanengsagara/makadi
mina mwang sarwa mina // ri huwus ika prayuta warsa tumuli sthawarekang
nanawidha mwang ring samangkana dadi to jang gama satwa raksasanung nanawidha
prakaranya/atehersanuwa jang gama satwa binturun mwang sadwa lenya waneh/ kadi
waraha / turangga mwang lenya manih // ateher prayuta wana tumuluy dadi to
janggama prakara manusadhama lawan tatan pcmna// liana Pwa Purwwajanma purusa
satwa/ atelier lawasira mewu iwu warsa manih / akre ti saparwa satwa sapxarwa
manusa// lawas ri huwus ika dadi to purusakara/ ateher manusadhama mwang
wekasan dadi ta purusa pumna //a. (Wangsakerta,1677: 2422)
Terjemahan:
Pada awal masa penciptaan permulaan bumi
(bhumitala), permukaan bumi menyerupai api yang bercahaya dan menyala. Berjuta
juta tahun kemudian asap gelap di seluruh muka bumi secara berangsur‑angsur dan
terus menerus seluruhnya menghilang. Bumi menjadi dingin. Namun demikian, belum
ada mahluk hidup. Kemudian, permukaan bumi ini menjadi gunung-gunung dan
lautan.
Beberapa juta tahun kemudian muncullah
tumbuh‑tumbuhan kecil, lalu muncul mahluk hidup berupa hewan; kemudian hewan
yang hidup di lautan seperti ikan dan sejenisnya. Beberapa juta tahun kemudian,
muncul berjenis‑jenis tumbuhan dan hewan raksasa yang beraneka ragam jenisnya;
kemudian bermacam‑macam mahluk hewan unggas serta hewan lainnya seperti babi
hutan dan kuda.
Berjuta juta tahun kemudian, muncullah mahluk
hidup berwujud manusia tingkatan rendah dan belum sempurna. Mereka adalah
manusia purba, manusia hewan, yang seterusnya setelah beribu‑ribu tahun
kemudian berwujud separuh hewan separuh jenis manusia sempurna.
Kira‑kira 1.000.000 tahun sampai
600.000 tahun yang silam di Nusantara, terutama di Pulau Jawa, hidup manusia
yang masih rendah pekertinya dan bersifat seperti hewan. Ada juga yang
menyebutnya manusia hewan (satwa‑purusa) dari zaman purba, karena mereka
berlaku seperti setengah hewan. Di antaranya ada yang menyerupai kera, besar
dan tinggi sosok tubuhnya, tanpa busana. Ada pula yang seperti raksasa,
tubuhnya berbulu dan kejam perangamya.
Ada jenis lain lagi di daerah hutan dan pegunungan yang
lain. Mereka mirip kera. Ada yang tinggal di atas pohon, di lereng gunung dan
tepi sungai. Mereka berkelahi dan membunuh tanpa menggunakan senjata, hanya
menggunakan tangan. Mereka tidak berpakaian dan tidak memiliki budi pekerti
seperti manusia sekarang. Kesenangannya ialah berayun‑ayun pada cabang pohon.
Manusia hewan ini terdapat di hutan pulau Jawa, hutan Sumatera, hutan Makasar,
dan hutan Kalimantan (Bakulapura).
Di daerah lain di Pulau Jawa, antara
750.000 sampai 300.000 tahun yang silam, hidup manusia hewan yang berjalan
tegak seperti manusia. Kulitnya berwarna gelap, tingkah lakunya baik dan lebih
cerdas dibandingkan dengan manusia hewan yang berjalan seperti hewan. Tiap hari
mereka membuat senjata dari bahan tulang dan batu. Mereka selalu diserang oleh
sekelompok manusia hewan yang menyerupai kera. Pertempuran di antara kedua
kelompok itu selalu seru. Akan tetapi, manusia hewan yang berjalan tegak
seperti manusia itu lebih mahir dalam teknik berkelahi, sehingga akhirnya
mahluk manusia hewan yang berjalan seperti hewan itu habis terbunuh tanpa sisa
dan lenyap dari muka burni. Manusia hewan yang berjalan seperti manusia itu,
disebut juga manusia raksasa (bhutapurusa).
Mereka tinggal di dalam goa di lereng gunung.
Manusia jenis ini akhirnya punah karena sejak 600.000
tahun yang silam mereka banyak dibunuh oleh manusia pendatang dari benua utara.
Mereka berasal dari Yawana lalu menyebar ke Semenanjung Malaysia, Sumatera, dan
Pulau Jawa. Kira‑kira 250.000 tahun yang silam, manusia hewan yang berjalan
tegak seperti manusia itu habis binasa. Zaman ini oleh para mahakawi dinamai
masa purba yang pertama (prathama
purwwayuga).
Sementara itu, antara 500.000 sampai 300.000 tahun yang
silam, di Sumatera, Jawa Kulwan (Barat) dan Jawa Tengah, hidup manusia yaksa (yaksapurusa) karena rupa
mereka seperti yaksa atau danawa. Mereka bertubuh
tegap dan tinggi serta senang meminum darah manusia sesamanya, musuh, ataupun
binatang. Perangainya kejam dan bertabiat seperti binatang buas. Mahluk jenis
ini pun akhirnya punah karena banyak terbunuh dalam pertempuran dengan kaum
pendatang baru dari benua utara.
Seterusnya, antara 300.000 sampai
50.000 tahun yang silam, di Jawa Barat dan Jawa Tengah pernah hidup manusia
berwujud setengah yaksa (manusia yaksa mantare). Kelompok manusia ini belum
diketahui asal-usulnya sebab hampir sama rupanya dengan manusia yaksa yang
punah. Akan tetapi bertubuh lebih kecil, berwarna kuit agak gelap, tidak banyak
berbulu, serta susila dan cerdas jika dibandingkan dengan manusia yaksa yang
telah punah. Kelompok inipun akhirnya punah karena didesak, diburu, dan
akhirnya dibinasakan oleh kaum pendatang dari benua utara. Periode ini oleh
para mahakawi (pujangga besar) disebut masa purba yang kedua (dwitiya purwwayuga).
Selanjutnya, pernah pula hidup manusia kerdil (wamanapurusa) atau danawa
kecil. Mereka itu berwujud yaksa kecil sehingga oleh para mahakawi dinamakan
manusia kerdil. Mereka hidup antara 50.000 sampai 25.000 tahun yang silam.
Mereka tidak cerdas. Senjata dan perabotannya terbuat dari batu, tetapi
buatannya tidak bagus, mahluk jenis inipun akhimya punah. Zaman ini oleh para
mahakawi disebuf masa purba pertengahan (madya
ning purwwayuga) atau masa purba ketiga (tritiya purwwayuga).
Ke dalam zaman tersebut, termasuk pula masa hidup jenis
manusia kerdil yang bertubuh besar (wamana
purusagheng) atau manusia Jawa‑purba. Mereka menetap di Jawa Tengah
dan Jawa Timur antara 40.000 sampai 20.000 tahun yang silam. jumlahnya tidak
banyak. Mereka ini pun akhirnya punah karena bencana alam, saling bunuh di
antara sesamanya, dan akhirnya seperti juga nasib penghuni Pulau Jawa yang
lain, dihabisi oleh kaum pendatang dari benua utara.
II.
PENDATANG DARI UTARA
Dalam buku Geografi Kesejarahan II Indonesia (1984), yang
mengacu kepada hasil penelitian para akhli, Daldjoeni mengemukakan pendapatnya
tentang asal‑usul ras Melayu, antara lain:
Di Hindia belakang ada dua pusat persebaran bangsa. Dari
daerah Yunnan di Cina Selatan, berangkatlah suku‑suku yang tergolong Proto
Melayu tua dan dari dataran Dongson di Vietnam Utara (Daldjoeni,1984:1).
Yunnan,
yang disebut-sebut sebagal daerah asal kelompok Melayu tua di Cina Selatan,
dijelaskan pula oleh Ales Bebler, antara lain:
Merupakan dataran tinggi kering dengan ketinggian rata‑rata
1000 meter di atas permukaan laut. Alamnya tertutup oleh rerumputan, pepohonan
yang rendah dan semak belukar. Wilayahnya terbelah‑belah oleh jurang-jurang
yang cukup dalam sehingga membatasi gerak penduduknya dalam mengusahakan
pangan. Mata pencaharian mereka aslinya berburu dan mengumpulkan buah‑buahan.
Dalam perkembangan selanjutnya mereka beralih ke usaha peternakan dan
pengolahan tanah secara primitif.
Asal bangsa Indo‑mongolid, yang jelas adalah Cina
Selatan, akan tetapi sebagian dari mereka itu dahulunya datang dari Tibet
Timur. Mungkin keributan di Asia Tengah itu menjalar ke Cina Selatan. Dari sini
terjadi migrasi ke wilayah Asia Tenggara yang relatif masih kosong, melalui
jurang-jurang dan lembah‑lembah sungai di Cina, Birma dan Siam. Tekanan di Cina
Selatan agaknya bertalian erat dengan mulai berkembangnya kerajaan Cina yang
dengan tegas akan tetapi bertahap menghendaki sinifikasi bagi seluruh
wilayahnya sampal batas selatannya yakni garis pegununan Himalaya‑Nanling
(Daldjoeni,1984: 3, 9‑10).
Pada naskah Pustaka Rajayarajya i
Bhunri Nusantara parwa I sarga 1, dikemukakan peristiwa sebagal berikut:
Perpindahan (panigit) manusia pendatang dari benua utara:
Yawana, Campa, Syangka, dan dari daerah-daerah sebelah tirnur Gaudi (Benggala)
menyebar ke Ujung Mendini (Semenanjung Malaysia), Pulau Sumatera, Pulau Jawa,
Kutalingga, Gowa, Makasar, dan pulau‑pulau lain di sebelah belahan timur
Nusantara, termasuk Nusa Bali. Mereka tiba di Nusantara kira‑kira 20.000 tahun
sebelum tarikh Saka.
Manusia yaksa kerdil (wamana
purusa), sebagal pribumi berperangai buas dan kejam seperti hewan.
Oleh sebab itu mereka diperangi dan dikalahkan oleh para pendatang baru.
Sementara itu, manusia purba yang hidup antara 25.000
sampal 10.000 tahun yang silam tidak punah sebab mereka berbaur menjadi satu.
Banyak wanita manusia purba itu berjodoh dengan Aria dari kaum pendatang baru.
Kerukunan, kerjasama dan perjodohan di antara kedua belah pihak, telah
menyelamatkan kelompok manusia purba dari bahaya kepunahan.
Adapun, kaum pendatang baru dari benua utara tersebut
tergolong manusia cerdas. Mereka membuat perkakas dan senjata dari batu, kayu,
tulang, bambu, serta bahan‑bahan lain dengan hasil yang hampir bagus (meh wagus). Menurut para
mahakawi masa kedatangan orang‑orang dari benua utara tersebut, dinamakan
sebagai masa purba keempat (caturtha
purwwayuga).
Dari
10.000 tahun sebelum tarikh Saka, sampal tahun pertama Saka, terjadi
perpindahan secara bergelombang, kelompok pendatang dari benua utara, yaitu:
1.
antara 10.000 sampai 5.000 tahun sebelum tarikh Saka;
2.
antara 5.000 sampai 3.000 tahun sebelwn tarikh Saka;
3.
antara 3.000 sampai 1.500 tahun sebelum tarikh Saka;
4,
antara 1.500 sampai 1.000 tahun sebelum tarikh Saka;
5.
antara 1000 sampal 600 tahun sebelwn tarikh Saka;
6.
antara 600 sampai 300 tahun sebelum tarikh Saka;
7.
antara 300 sampai 200 tahun sebelum tarikh Saka;
8.
antara 200 sampal 100 tahun sebelwn tarikh Saka;
9.
antara 100 sampai awal tarikh Saka.
Pada
masa itu disebut sebagai masa purba kelima (pancama
purwwayuga).
III.
AKI TIREM SANG AKI LUHUR MULYA
Orang‑orang yang datang berturut‑tarut dari berbagai
daerah itu masing-masing ada pemimpinnya. Di antara keturunannya ada yang
saling berperang, lalu mereka yang telah lebih dahulu datang dan telah lama
menetap dikalahkan oleh kaum pendatang baru. Akan tetapi, ada juga yang saling
mengasihi dan saling membantu karena mereka mempunyai tujuan yang sama.
Semakin lama, penduduk ini semakin meresap dan menyebar
ke berbagai daerah di Nusantara. Adapun yang menyebabkan kaum pendatang itu
sangat senang dan tinggal di sini (Nusantara) adalah:
1.
pulau‑pulau di bumi Nusantara ini subur tanahnya;
2.
subur tumbuh‑tumbuhannya;
3.
kehidupan penduduknya bahagia;
4.
serbaneka rempah‑rempah ada di sini; dan
5.
menjadikan kehidupan penduduk makmur sejahtera.
Adapun pakaian yang dikenakan pribumi di sini berupa
cawat kayu, daun-daunan, atau rumput. Mereka selalu membawa tombak, gada,
busur, dan panah, serta berbagai jenis senjata lainnya. Mereka tinggal di
hutan, ada yang hidup berkelompok, ada juga yang selalu bersembunyi, ada yang
mernisahkan diri, ada pula yang bersama keluarganya di lereng bukit.
Tiap kelompok yang hidup di salah satu kampung, dipimpin
oleh seorang Panghulu sebagai penguasa kampung. Rumah Sang Panghulu, selalu
dijadikan sebagai tempat bermusyawarah. Rumah sang pemimpin ini, terhitung
besar dan berpanggung (berkolong), sedangkan beberapa keluarga penduduk tinggal
bersama dalam satu rumah di bawah pimpinan seorang kepala rumah tangga yang
sudah cukup berumur dan terpandang. Demikian pula halnya dengan Sang Panghulu,
ia adalah orang yang sangat berwibawa. Di Jawa Kulwan (Barat) ada beberapa
panghulu pribumi semacarn itu. Demikian pula di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan
pulau‑pulau lain di Nusantara. Keadaan itu terjadi sebelum awal tarikh Saka.
Mereka datang di Nusantara dengan menumpang perahu dari
kayu besar berbentuk rakit (getek), tetapi ada juga yang memakai perahu dari
betung besar atau kayu hutan. Di atas rakit itu didirikan rumah dengan atap
rumput. Mereka bertolak dari daerah asalnya, dan siang malam mereka berperahu
dari hilir sungai ke arah selatan, menuju lautan. Akan tetapi, ada juga yang
tempat tinggal asalnya di tepi laut. Mereka berlayar ke beberapa pulau, sampai
akhirnya mereka itu tiba di Pulau Jawa. Banyak di antara perahu‑perahu itu
hancur di tengah laut, karena dihantam ombak atau terseret angin besar,
sehingga perahunya terlunta‑lunta dan terpisah dari kelompok perahu lainnya.
Adapun
yang menyebabkan pengungsian besar (panigit
agheng) itu, adalah:
1.
tempat asalnya selalu kekeringan;
2.
terjadi bencana gempa bumi; dan
3.
musim kemarau yang berkepanjangan.
Akibatnya, mereka menderita kekurangan makanan, dan
terpaksa hidup di hutan memakan daun-daunan, tumbuhan, tunas, dan daging hasil
buruan. Karena itulah, mereka senantiasa ingin mencari tanah yang subur di
pulau-pulau Nusantara. Satu di antaranya adalah Nusa Jawa.
Setibanya di sini, mereka menetap dan hidup bersama ibarat
satu keluarga. Anak, cucu, dan keluarga, masing‑masing membuat rumah. Rumah
mereka itu berderet; ada yang kecil dan ada yang besar dan tinggi. Untuk
sementara, makanan sehari‑hari adalah daging hasil berburu di hutan. Lama
kelamaan, tempat tinggal mereka itu menjadi kampung (dukuh). Pakaian sehari‑hari
terbuat dari kulit kayu.
Adapun kehidupan penduduk lama dan baru itu, hampir sama
seperti di negeri asal mereka. Makanan sehari-harinya adalah daging, ikan, buah‑buahan,
tunas, daun-daunan, umbi‑umbian, dan rempah‑rempah. Sang Panghulu yang menjadi
pemimpinnya, menguasai berbagai ilmu mantera, selalu bertapa, melaksanakan
sembah‑hiyang, melepaskan rakyatnya dari ancaman bencana sihir, memberi berkah,
mernimpin upacara perkawinan dan berdoa, melindungi adat, serta bertindak adil
dan bersikap lemah lembut. Singkatnya, Sang Panghulu yaitu Sang Datu, siang
malam selalu mengharapkan agar rakyatnya hidup sejahtera, dan kampung tempat
tinggal mereka makmur sentosa di bumi ini.
Yang dipuja penduduk waktu itu bermacam‑macarn, tetapi
yang terutama ialah arwah leluhur (hiyang). Mereka memohon kepada arwah yang
dipujanya dengan doa pujaan lengkap, dengan tata upacara dan sembah‑hiyang
serta sajen. Tujuannya adalah agar terkabul cita‑citanya. Ada yang ingin
terlepas dari kenistaan, bertambah hasil usaha tani atau dagangnya, mengharap
unggul dalam perang atau perkelahian, mengharap terlepas dari penderitaan, lalu
orang yang susah mengharap kesejahteraan dan banyak harta, ada pula pria yang
ingin mendapat isteri atau wanita yang rnengharapkan suami. Ada lagi yang
mengharapkan kegagahan, mengalahkan musuhnya, mengharapkan berumur panjang,
serta terluput dari bahaya dan macam‑macam harapan lagi.
Serbaneka pemujaan mereka adalah api, gunung, arwah
leluhur, batu, pohon besar, kayu, darah, sungai, matahari, bulan dan bintang.
Ada pemuja roh yang bersemayam di puncak gunung, karena menganggap roh penguasa
isi gunung di seluruh dunia. Ada pula Yang memuja pohon rimbun.
Ada beberapa keluarga yang memasuki hutan dengan membawa
harta bendanya, lalu menetap di sana. Mereka berburu hewan, lalu kulitnya
dijadikan bahan pakaian, sedang dagingnya dijadikan bahan makanan. Pakaian
kulit itu ada yang diberi lukisan menurut kehendak masing-masing, sedangkan
batu‑batuan dan tulang, dijadikan perhiasan untuk anak isterinya dan berbagai
macam perkakas.
Akan tetapi, pendatang baru makin lama makin banyak,
sehingga orang pribumi terdesak dan hidup terlunta‑lunta memasuki hutan dan
pegunungan. Terjadilah pengungsian besar‑besaran, karena kaum pendatang itu
senantiasa memberikan kesusahan, kesengsaraan, dan kenistaan bagi orang
pribumi, seolah mereka itu hamba sahaya bagi kaum pendatang baru. Kaum pribumi,
merasa terhina dan sangat takut, karena siapapun di antara mereka yang berani
melawan, akan ditangkap dan dibunuh. Kaum pribumi itu selalu kalah, karena
mereka bodoh dan dalam segala hal terbelakang.
Sebaliknya,
kaum pendatang baru memiliki berbagai ilmu pengetahuan, yaitu membuat panah dan
perkakas dari besi, telah mengenal emas, perak, manik, permata, menguasai ilmu
pembuatan busur dan panah (wedastra),
dan ilmu memanah (dhanurweda),
serta membuat aneka obat‑obatan, dan perahu dengan baik. Mereka telah menanam
padi untuk kepeduan makan sehari‑hari, mengetahui ilmu perbintangan (panaksastra), membuat
pakalan dan perhiasan yang indah dan bagus karena dihiasi ukiran, serta membuat
wayang dari kulit diukir. Mereka pun telah mampu mendirikan rumah besar untuk
keluarga, membuat api dengan batu api dan besi, serta membuat tabuh‑tabuhan
untuk mengiringi tari.
Di samping itu, mereka telah menyusun peraturan tentang
kampung dan uang, serta memiliki pengetahuan tentang gerhana, gempa bumi,
ukuran, makanan, hari, tumbuhan, musim hujan, musim kemarau, ilmu tentang
hutan, tentang hewan, tentang tanah, tentang gunung, tentang ucapan, lalu ilmu
tentang rempah‑rempah, hutan dan gunung, ekonomi (swataning janapada) dan sebagainya.
Kaum pendatang dari negeri Yawana dan Syangka, yang
termasuk ke dalam kelompok manusia purba‑tengahan (janna puruwwamadya), tiba kira-kira tahun
1.600 sebelum tarikh Saka. Kaum pendatang baru yang tiba di Pulau Jawa antara
tahun 300 sampal 100 sebelum tarikh Saka, telah memiliki ilmu yang tinggi (widyanipuna). Mereka
telah mengetahui cara memperdagangkan beraneka barang. Kaum pendatang kelompok
ini, menyebar ke pulau‑pulau di Nusantara.
Zaman ini, oleh para mahakawi disebut zaman Besi (wesiyuga), karena mereka
telah mampu membuat berbagai macam barang dan senjata dari besi, serta telah
mengenal penggunaan emaa dan perak. Mereka merasuk ke desa‑desa yang
dikunjunginya, seolah‑olah Pulau Jawa dan pulau‑pulau di Nusantara ini
kepunyaan mereka semuanya. Pribumi yang tidak mau menurut atau menghalangi,
segera dikalahkan, sehingga bukan saja maksudnya tidak berkesampaian, mereka
pun harus menjadi bawahan yang tunduk kepada yang berkuasa.
…/ hana pwa sang panghulu athawa pangamasa
mandala pasisir Jawa kulwan / bang kulwan ika prarrucnaran aki tirem athawa
sang aki luhunnulya ngaranira waneh //
Terjemahannya:
Adapun, panghulu atau penguasa wilayah pesisir
barat Jawa Barat sebelah barat, namanya Aki Tirem atau Sang Aki Luhur Mulya
nama lainnya.
Selanjutnya,
dalam naskah tersebut dikemukakan, tentang silsilah (asalusul) leluhur Aki
Tirem Sang Aki Luhur Mulya:
Adapun Sang Aki Tirem, putera Ki Srengga namanya.
Ki Srengga putera Nyal Sariti Warawiri
namanya.
Nyai Sariti puteri Sang Aki Bajulpakel
namanya.
Sang Aki Bajulpakel, putera Aki Dungkul
namanya dari Swarnabhumi (Sumatera) sebelah selatan, kemudian berdiam di Jawa
Barat sebelah barat.
Selanjutnya Aki Dungkul, putera Ki Pawang
Sawer namanya, berdiam di Swarnabhumi (Sumatera) sebelah selatan.
Ki Pawang Sawer, putera Datuk Pawang Marga
namanya, berdiam di Swarnabhumi (Sumatera) sebelah selatan.
Datuk Pawang Marga, putera Ki Bagang namanya
berdiam di Swarnabhumi (Sumatera) sebelah utara.
Ki Bagang, putera Datuk Waling namanva, yang
berdiam di pulau Hujung Mendini.
Datuk Waling putera Datuk Banda namanya, ia
berdiam di dukuh di tepi sungai.
Datuk Banda putera Nesan namanya, berdiaiu di
wilayah Langkasuka.
Sedangkan nenek moyangnya dari negeri Yawana
sebelah barat.
Jika
mencermati The Hammond Atlas (terbitan Time, 1980, USA), di wilayah
Propinsi Yunnan, terdapat sebuah kota kecil Yu‑wan, yang terletak di tepi
sungal Yuan‑Mouw. Yu‑wan dalam bahasa Cina, ada kemiripan dengan Ya‑wa‑na, yang
terdapat dalam naskah Pustaka Wangsakerta. Oleh karena itu, kota Yu‑wan, diduga
kuat merupakan tanah leluhur Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya.
Sedarrgkan Yunnan sendiri, menurut para akhli, merupakan
lembah bagian hulu sungai Yang Tze Kiang, yang mata airnya berasal dari
pegunungan Himalaya bagian timur laut. Di wilayah ini sering terjadi gempa
bumi, yang disebabkan adanya pergeseran lempeng anak benua India, yang bergerak
ke arah utara dan membentur lempeng Asia. Sehingga membentuk pegunungan
Himalaya, yang membentang dari arah barat di wilayah Kashmir, ke timur hingga
ke wilayah perbatasan China, India dan Burma (Myanmar).
Adanya benturan dua lempeng tersebut, menimbulkan gempa
tektonik, di sekitar wilayah bagian utara dan bagian timur laut pegunungan
Himalaya. Bencana lain yang sering terjadi di wilayah ini, adalah banjir
bandang (mendadak) yang sangat besar. Penyebabnya, akibat pencairan es; di
puncak Himalaya pada saat musim semi.
IV.
SURGA DI MUKA BUMI
Bertambah lama, orang yang datang baru bertambah banyak.
Dengan demikian orang pribumi terkucilkan, berkeliaran tanpa tujuan. Mengembara
di hutan dan gunung‑gunung, bertambah banyaklah yang jadi pengungsi. Karena
orang pendatang baru, senantiasa menyebabkan penderitaan yang terus‑menerus.
Golongan pribumi senantiasa dihinakan.
Kenyataannya, ada di bawah perintah orang‑orang pendatang
baru, terutama karena orang pribumi bertabiat pemalu dan penakut. Biarpun
sering melawan, tetapi mereka dapat ditangkap dan dibunuh. Orang‑orang pribumi
senantiasa kalah, karena bodoh, segalanya terbelakang. Sedangkan orang
pendatang baru memiliki berbagai pengetahuan, ialah membuat senjata dari besi,
berbagai perkakas dari besi, juga emas, perak, manik, kristal, kendaraan.
Selanjutnya membuat berbagai senjata dari besi dengan gelang anak‑panahnya,
pengetahuan tentang memanah, juga membuat berbagai obat‑obatan, begitu pula
membuat perahu bagus. Mereka menanam padi, yang dijadikan makanan sehari‑hari.
Mereka juga telah mempunyal pengetahuan tentang
perbintangan, membuat perlengkapan perang dari besi, membuat pakaian dan
perhiasan yang indah‑indah. Bahkan diberi berbagai lukisan dan diukir pada besi
itu. Wayang, dibuat dari kulit yang diukir. Mereka telah mampu membuat rumah
besar, yang dihuni suami‑isteri dan kerabat laki‑laki dan wanita, membuat api
dengan pemantik (paneker)
dari batu dan besi. Selanjumya, mereka membuat tabuh-tabuhan pengiring orang
menari. Kemudian dibuat kebijakan tentang perilaku yang baik di dusun, perilaku
mengenai alat penukar. Mereka memiliki pengetahuan tentang gerhana, gempa bumi,
pengetahuan tentang ukuran panjang: (1 yojana =100.000 depa), tentang makanan
yang lezat, pengetahuan tentang hari, berbagai tumbuh‑tumbuhan, (musim)
penghujan dan kemarau, pengetahuan tentang laut, pengetahuan tentang berbagai
binatang, juga pengetahuan tentang tanah, gunung, dan pengetahuan tentang tutur
kata.
Selanjutnya, mereka memiliki pengetahuan tentang rempah‑rempah,
pengetalruan tentang hutan dan gunung, kesejahteraan warga masyarakat dan
sebagainya. Bahkan, pendatang baru yang belakangan dari negeri Yawana, negeri
Syangka, negeri Campa, Saimwang serta negeri Bharata (India) sebelah selatan,
sangatlah pandai berbagai pengetahuan, yaitu manusia yang mahir ilmu
pengetahuan, dikatakan oleh pribumi. Sedangkan pribumi di situ, ialah orang‑orang
pendatang yang telah lama membuat perkakas dari batu, kayu dan tulang. Pakalan
mereka dari serat kulit kayu, karena itu mereka disebut manusia purba‑pertengahan
oleh mahakawi (pujangga besar) dalam tulisan mereka.
Dikatakannya, bahwa orang‑orang pendatang baru dari
negeri Yawana dan negeri Syangka, termasuk manusia‑purba pertengahan, kira‑kira
seribu enam ratus tahun sebelum permulaan tahun Saka. Ada juga pendatang baru
yang tiba di Pulau Jawa, di antara tiga ratus tahun dan seratus tahun sebelum
permulaan tahun Saka yang pertama. Mereka telah mahir dalam pengetahuan, sudah
tahu mengenai hasil dari jasa dan perdagangan segala perlengkapan.
Pendatang ini menyebar ke pulau-pulau di bumi Nusantara.
Demikianlah uraianmahakawi (pujangga besar), pada waktu
itu disebut zaman besi. Itulah sebabnya mereka membuat berbagai perlengkapan
perang, anak panah dan sebagainya dari besi, emas, dan perak. Mereka lebih
pandai berbagai pengetahuannya. Oleh karena itu, mereka kemudian menyerang
desa-desa yang didatangi, akibatnya Pulau Jawa dan pulau‑pulau di Nusantara
menjadi milik mereka seluruhnya. Barang siapa yang tidak tunduk segera
dibinasakan. Apabila bermaksud menyerang dan memeranginya, secepatnya
dibinasakanlah mereka itu kemudian, maka maksud mereka tidak terlaksana, serta
menyebabkan mereka menjadi manusia yang hina, sebagai pelayan orang yang
berkuasa.
Begitu pula di antara seratus tahun pertama sebelum tahun
Saka, hingga pertama tahun Saka, orang pendatang dari beberapa negara yang
terletak di sebelah timur negeri Bharata (India). Oleh karena itu zaman besi
disebut juga manusia pada zaman purba.
Pada awal tarikh Saka, datang orang-orang dari barat,
yaitu dari negeri Syangka (Sri Langka), Sayiwahana, dan Benggala di bumi
Bharatawarsya (India). Mereka tiba di Pulau Jawa dengan perahu. Mula-mula,
mereka menuju ke Jawa Timur, lalu ke Jawa Barat, karena kegiatan perdagangan
dengan penduduknya. Pribumi di sini, asal-usulnya juga orang‑orang pendatang
dari kawasan benua utara, yang leluhurnya tiba di Pulau Jawa beberapa ratus
tahun lebih dahulu.
Barang barang yang dibawa oleh para pendatang baru ini,
di antaranya: bahan pakaian, perhiasan berupa ratna, emas, perak, permata,
mustika, obat‑obatan, bahan‑bahan makanan, serta perabot kebutuhan rumah
tangga. Adapun bahan‑bahan yang dibelinya di sini, yaitu rempah‑rempah serta
hasil bumi seperti beras dan sayuran.
Di antara mereka ada yang terus menetap
di sini, menjadi penduduk Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Bali. Demikian
pula di Sumatera, dan di pulau‑pulau lain di Bumi Nusantara, yang disebut juga Dwipantara.
Karena penduduk Pulau Jawa telah menguasai berbagai ilmu, mereka sangat
menghargainya, tidak bermusuhan, dan kaum pendatang diterima sebagai tamu
dengan penuh rasa kasih dan rasa persaudaraan.
Kehidupan penduduk di sini makmur. Mereka menamakan pulau‑pulau
di bumi Dwipantara ini, terutama Pulau Jawa, laksana surga di muka bumi (samyasanya swargaloka haneng
prethiwitala). Oleh karena itu, mereka selalu merasa bahagia
hidupnya. Demikianlah keadaan mereka itu selama tinggal di sini. Banyak di
antara mereka yang memperisteri gadis di sini, kemudian beranak pinak. Mereka
mengetahui bahwa Pulau Jawa subur tanahnya, subur tumbuh‑tumbuhannya. Oleh
karena itu, beberapa tahun kemudian, datanglah orang-orang dari Langkasuka,
Saimwang, dan Ujung Mendini ke Jawa Kulwan (Barat) dan bumi Sumatera dengan
perahu. Lalu mereka menetap di situ, karena berjodoh dengan putri penduduk.
Selanjutnya mereka tidak kembali ke negeri asalnya. Kemudian mereka masing‑masing
mendirikan rumah besar untuk tinggal keluarganya. Kolong rumah itu, digunakan
untuk kandang tempat hewan peliharaan mereka.
Mereka bergabung untuk bergotong royong (samakarya), membangun
rumah dan menebang pohon di hutan. Ikut pula bergabung akhli pembuat rumah (hundagi) dan pandai besi.
Para pendatang dari India itu, ada yang mengajarkan agama
yang dianutnya dan menyiarkan kepada penduduk di desa‑desa. Mereka mengajarkan
pujaan yang disebut Dewa Iswara, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa
yang disebut Trimurtiswara. Juga masih
banyak Dewa lain yang dipujanya selain itu. Walaupun demikian, mereka tidak
saling bertentangan dalam menyebarkan agamanya, karena mereka berhasil
menemukan cara yang tepat.
Penduduk di sini keturunan kaum pendatang juga. Sejak
dahulu, mereka memuja roh, bulan, matahari, dan sebagainya. Singkatnya, mereka
itu mernuja roh (pitarapuja).
Kaum pendatang baru dari India Selatan itu, telah rnenguasai berbagai ilmu,
karena mereka telah mempelajarinya di negeri asalnya. Mereka tidak menghalangi
pemujaan yang dianut penduduk di sini. Hanya nama pujaannya yang diganti,
disesuaikan dengan adat penduduk di sini.
Dengan cara demikian, mereka tidak menemukan kesulitan
untuk mempelajarinya. Demikianlah, pemujaan api disamakan dengan pemujaan Dewa
Agni, pemujaan matahari disamakan dengan Dewa Aditya atau Dewa Surya, dan
seterusnya. Adapun pemujaan roh besar, disamakan dengan pemujaan Hyang Wisnu,
Hyang Siwa, dan Hyang Brahma yang disebut pemujaan tiga dewa atau trimurti. Tak
lama kemudian, banyaklah penduduk di sini yang memeluk agama baru itu.
Sementara itu, banyak di antara para pendatang yang
menikahi puteri para Penghulu penduduk desa. Kelak, anaknya akan menggantikan
kedudukan kakeknya. Oleh karena itu, desa‑desa di Pulau Jawa makin lama makin
dikuasai oleh keturunan kaum pendatang. Demikian pula penduduk dan kekayaannya.
Segera pula penduduk menjadi tidak berdaya. Panghulu desa itu telah
dijunjungnya menjadi sang penguasa. Putera pendatang baru atau cucu Sang
Panghulu, menjadikan semua tanah sebagai miliknya atau berada di bawah
kekuasannya.
Sementara itu, keadaan desa-desa tetap makmur dan hasil
pertanian melimpah, karena Pulau Jawa subur tanahnya. Demikianlah pula pulau‑pulau
lain di Dwipantara. Oleh karena itu, antara tahun 80 sampai 320 Saka, sangat
banyak perahu yang datang dari berbagai negeri ke Pulau Jawa, di antaranya dari
negeri India, China, Benggala, dan Campa. Banyak di antara mereka itu, yang
membawa anak‑isteri berserta sanak keluarganya, lalu menetap di Pulau Jawa dan
pulau‑pulau lain di Nusantara dan menjadi penduduk di situ.
Ada yang datang membawa perahu besar, ada yang datang
beserta pendeta agarna Wisnu dan agama lainnya. Setiba di sini, mereka lalu
mengajarkan agama mereka kepada penduduk desa. Kemudian mereka pun tinggal di
situ. Adapun pendeta agama Siwa, datang dari Jawa Timur dan Jawa Tengah,
mengajarkan agama mereka kepada para panghulu dan pemuka masyarakat di sana.
V.
DEWAWARMAN
Berdasarkan naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa I sarga 1, oleh Pangeran
Wangsakerta, diriwayatkan sebagai berikut:
/jwah tambaya ping prathama sa kawarsa riking
wus akweh wwang bharata nagari tekan jaruadwipa mwang nusantara i bhumi
nusantara// denira pramanaran dwipantara nung wreddhi prethiwi// pantara ning
sinarung teka n jawadwipa/ hana n upakriya wikriya/ hansing mawarah marahaken
sanghyang agama/ hanasing luputaken sakeng bhaya kaparajaya/ ya thabhuten
nagarinira/ mwang moghangde nikang agong panigit ring nusa‑nusa i bhumi nusantara//a
Terjemahanannya:
Kelak, mulai awal pertama tahun Saka di sini
telah banyak orang‑orang negeri Bharata (India) tiba di Pulau Jawa dan pulau‑pulau
di bumi Nusantara. Karena Nusantara terkenal sebagai tanah yang gembur. Di
antara mereka, yang tiba di Pulau Jawa, ada yang berdagang dan mengusahakan
pelayanan, ada yang mengajarkan Sanghyang Agama (ajaran agama), ada yang
menghindarkan diri dari bahaya yang akan membinasakan dirinya, seperti yang
telah terjadi di negeri asalnya, yang menyebabkan mengungsi ke pulau-pulau di
bumi Nusantara.
Karena mereka semua mengharapkan kesejahteraan hidupnya
bersama anak isterinya. Terutama para pendatang, banyak yang berasal dari
wangsa Salankayana dan wangsa Pallawa di bumi negeri Bharata (India). Dua
wangsa inilah, yang sangat banyak berdatangan di sini, dengan menaiki beberapa
puluh buah perahu besar‑kecil. Yang dipimpin oleh Sang Dewawarman, tiba
mula-mula di Jawa Kulwan (Barat), maka mereka bertujuan yaitu untuk berdagang
dan mengusahakan pelayanan.
Mereka senantiasa datang di sini, dan mereka kembali
membawa rempah-rempah ke negerinya. Di sini, Sang Dewawarman telah bersahabat
dengan warga masyarakat di pesisir Jawa Kulwan (Barat), Pulau Api dan Pulau
Sumatera sebelah selatan, terutama Sang Dewawarman sebagai duta dari wangsa
Pallawa.
Permulaan pertama tahun Saka, di pulau‑pulau Nusantara,
telah banyak golongan warga masyarakat, yang menjadi pribumi tiap dusun. Di
antaranya ada yang bermusuhan, ada juga yang berkasih‑kasihan berbimbingan
tangan. Dukuh itu ada yang besar, ada yang kecil. Dukuh besar ada di tepi laut,
atau tidak jauh dari muara sungai. Bukankah selalu berdatangan orang lain atau
wilayah lain. Terutama pedagang dari negeri Bharata (India), negeri Singhala,
negeri Gaudi, negeri Cina dan sebagainya.
Ramailah kemudian dukuh‑dukuh di tepi laut. Dengan
demikian, ramailah perdagangan antara pulau-pulau di bumi Nusantara dengan
negara lain dari benua utara sebelah barat dan timur. Tetapi, yang banyak
datang dari negeri Bharata (India), golongan pendatang dari negeri Bharata
(India) itu dipimpin oleh Sang Dewawarman, tiba di dukuh pesisir Jawa Kulwan
(Barat).
Para pendatang itu bersahabat dengan penghulu dan warga
masyarakat di sini. Adapun penghulu atau penguasa wilayah pesisir Jawa Kulwan
(Barat) sebelah barat, namanya terkenal, Aki
Tirem atau Sang Aki Luhur Mulya
namanya yang lain. Selanjutnya, puteri Sang Aki Luhur Mulya, namanya terkenal
Pwahaci Larasati (Pohaci Larasati), diperisteri oleh Sang Dewawarman.
Dewawarman ini, disebut oleh mahakawi (pujangga besar) sebagai Dewawarman
pertama.
Akhirnya semua anggota pasukan Dewawarman menikah dengan
wanita pribumi. Oleh karena itu, Dewawarman dan pasukannya, tidak ingin kembali
ke negerinya. Mereka menetap dan menjadi penduduk di situ, lalu beranak pinak.
Beberapa tahun sebelumnya, Sang Dewawarman menjadi duta
keliling negaranya (Pallawa) untuk negeri‑negeri lain yang bersahabat, seperti
kerajaan‑kerajaan di Ujung Mendini, Bumi Sopala, Yawana, Syangka, China, dan
Abasid (Mesopotamia), dengan tujuan mempererat persahabatan dan berniaga hasil
bumi, serta barang barang lainnya.
Tatkala Aki Tirem sakit, sebelum meninggal, ia
menyerahkan kekuasaannya kepada sang menantu. Dewawarman tidak menolak diserahi
kekuasaan atas daerah itu, sedangkan semua penduduk menerimanya dengan senang
hati. Demikian pula para pengikut Dewawarman, karena mereka telah menjadi
penduduk di situ, lagi pula banyak di antara mereka yang telah mempunyai anak.
Setelah Aki Tirem wafat, Sang Dewawarman menggantikannya
sebagai penguasa di situ, dengan nama nobat
Prabu Darmalokapala Dewawarman Haji Raksa Gapura Sagara, sedangkan
isterinya, Pohaci Larasati menjadi
permaisuri, dengan nama nobat, Dewi Dwanu
Rahayu. Kerajaannya diberi nama Salakanagara
(salaka= perak).
Daerah kekuasaan Salakanagara, meliputi Jawa Kulwan
bagian barat dan semua pulau di sebelah barat Nusa Jawa. Laut di antara Pulau
Jawa dengan Sumatera, masuk pula dalam wilayahnya. Oleh karena itu, daerah-
daerah sepanjang pantainya, dijaga oleh pasukan Sang Dewawarman, sebab jalur
ini merupakan gerbang laut. Perahu‑perahu yang beralayar dari timur ke barat
dan sebaliknya, harus berhenti dan membayar upeti kepada Sang Dewawarman.
Pelabuhan‑pelabuhan di pesisir barat Jawa Kulwan, Nusa Mandala (mungkin Pulau
Panaitan), Nusa Api (Krakatau), dan pesisir Sumatera bagian selatan, dijaga
oleh pasukan Dewawarman.
Wangsa Dewawarman memerintah Kerajaan Salakanagara di
bumi Jawa Kulwan, dengan ibukota Rajatapura
(Kota Perak). Kota besar lainnya lagi, Agrabhintapura
ada di wilayah sebelah selatan. Agrabhintapura, dipimpin oleh raja daerah
bernama Sweta Limansakti, adik
Dewawarman. Sedangkan adiknya yang lain, yang bernama Senapati Bahadura Harigana Jayasakti, diangkat
menjadi raja daerah penguasa mandala Hujung Kulon.
VI.
PENERUS TAHTA SALAKANAGARA
Dari perkawinannya dengan Pohaci Larasati, Dewawarman I
mempunyai beberapa orang anak. Anak yang tertua, laki‑laki. Kelak, ia
menggantikan kedudukan ayahnva sebagai penguasa di Salakanagara, dengan nama
nobat Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. la menjadi Dewawarman lI yang
memerintah dari tahun 90 sampai 11'7 Saka atau tabun 168 sampai 198 Masehi. la
menikah dengan puteri keluarga Raja Singala (Sri Langka).
Dari perkawinan ini lahir seorang putera, yang kemudian
menjadi Dewawarman III dengan gelar Prabhu Singasagara Bimayasawirya. la
menjadi penguasa Salakanagara dari tahun 117 sampai 160 Saka (195 ‑ 238
Masehi). Pada masa pemerintahannya, terjadi serangan bajak laut dari negeri
China, yang dapat dihadapinya dan ditumpasnya. Dewawarman III kemudian
mengadakan hubungan (pamitran)
dengan maharaja China dan raja‑raja India. Permaisuri Dewawarman III berasal
dari Jawa Tengah.
Puteri tertua yang lahir dari perkawinan ini bernama
Tirta Lengkara. Puteri sulung ini berjodoh dengan Raja Ujung Kulon bernama
Darma Satyanagara. Kelak ia menggantikan mertuanya menjadi penguasa
Salakanagara sebagai Dewawarman IV, yang memerintah dari tahun 160 sampai 174
Saka (238 - 252 Masehi). Dari perkawinan ini lahir puteri sulung bernama
Mahisasuramardini Warmandewi. Bersama suaminya yang bernama Darmasatyajaya
sebagai Dewawarman V, ia memerintah selama 24 tahun (174‑198 Saka). Ketika
Dewawarman V yang merangkap sebagai Senapati Sarwajala (panglima angkatan laut)
gugur waktu perang menghadapi bajak laut, sang rani, Mahisasuramardini
melanjutkan pemerintahannya seorang diri sampai tahun 211 Saka (289 Masehi).
Penguasa Salakanagara berikutnya adalah Ganayanadewa
Linggabumi, putera sulung Dewawarman V atau Sang Mokteng Samudra (yang mendiang
di lautan). Prabu Ganayana menjadi penguasa Salakanagara sebagai Dewawarman VI
selama 19 tahun, dari tahun 211 sarnpai 230 Saka (289 - 308 Masehi). Dari
perkawinannya dengan puteri India, ia mempunyai tiga putera dan tiga puteri.
Putera sulungnya yang kemudian menjadi Dewawarman VII,
memerintah Salakanagara tahun 230 sampai 262 Saka (308‑340 Masehi), bergelar
Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati. Yang kedua, seorang puteri yang bernama
Salaka Kancana Warmandewi, yang menikah dengan menteri Kerajaan Gaudi
(Benggala) di India bagian timur. Puteri yang ketiga bernama Kartika Candra
Warmandewi. la menikah dengan seorang raja muda dari negeri Yawana. Yang
keempat, laki-laki bemama Gopala Jayengrana. la menjadi seorang menteri
Kerajaan Calankayana India. Yang kelima, seorang puteri bernama Sri Gandari
Lengkaradewi. Suami puteri ini adalah menteri panglima angkatan laut kerajaan
Pallawa di India. Putera bungsu Dewawarman VII adalah Skadamuka Dewawarman
Jayasastru yang menjadi senapati Salakanagara.
Putera sulung Dewawarman VII bernama Sphatikarnawa
Warmandewi. Kelak bersama suaminya akan menggantikan ayahnya sebagai penguasa
Salakanagara kedelapan. Dewawarman VII mempunyai hubungan erat dengan kerajaan
Bakulapura (Kutai) karena pertalian kerabat permaisurinya. Kakak sang permaisuri
ini menikah dengan penguasa Bakulapura (di Kalimantan) yang bernama Atwangga
putera Sang Mitrongga. Mereka keturunan wangsa Sungga dari Maganda, yang pergi
mengungsi tatkala negerinya dilanda serangan musuh. Dari puteri ini dengan
Atwangga, lahirlah Kudungga yang kelak menggantikan ayahnya menjadi penguasa
Bakulapura.
Ketika Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati atau Dewawarman
VII wafat, tibalah Senapati Krodamaruta dari Calankayana, di Rajatapura
(ibukota Salakanagara), bersama beberapa ratus orang anggota pasukannya,
bersenjata lengkap. Krodamaruta adalah putera Gopala Jayengrana, yaitu putera
Dewawarman VI yang keempat. Yang menjadi menteri di kerajaan Calankayana.
Krodamaruta langsung merebut kekuasaan dan tanpa menghiraukan adat pergantian
tahta, ia menobatkan diri menjadi penguasa Salakanagara.
Akhli waris tahta yang sah, adalah Sphafikarnawa
Warmandewi, puteri sulung Dewawarman VII. Ia belum bersuami karena kelakuan
Krodamaruta bertentangan dengan adat, sekalipun ia masih cucu Dewawarman VI,
keluarga keraton beserta sebagian penduduk Salakanagara tidak menyenanginya.
Akan tetapi, Krodamaruta tidak lama berkuasa, karena ia tewas tertimpa batu
besar, ketika sedang berburu di hutan. Batu itu berasal dari puncak sebuah
bukit. Akibat peristiwa itu, Krodamaruta hanya 3 bulan menjadi `penguasa'
Salakanagara.
Kemudian, Sphatikarnawa Warmandewi, puteri sulung
Dewawatman VII, dinobatkan menjadi penguasa Salakanagara menggantikan ayahnya,
pada tahun 262 Saka (340 Masehi). Pada tahun 270 Saka, Sang Rani menikah dengan
saudara sepupunya, putera Sri Gandari Lengkaradewi, yaitu puteri Dewawarman VI
yang kelima. la bersuamikan panglima angkatan laut Kerajaan Pallawa.
Lengkaradewi beserta suami dan puterinya, datang ke Rajatapura dalam tahun 268
Saka (346 Masehi) sebagai pengungsi, karena negaranya (Pallawa) telah dikuasai
oleh Maharaja Samudragupta dari keluarga Maurya.
Setelah
pernikaharmya, Rani Sphatikarnawa Warmandewi memerintah bersama‑sama suaminya,
sebagai Dewawarman VIII bergelar Prabhu Darmawirya Dewawarman. Ia memerintah
tahun 270 sampai 285 Saka (348‑363 Masehi).
Pada masa pemerintahan Dewawarman VIII, kehidupan
penduduk makmur sentosa. la sangat memajukan kehidupan keagamaan. Di antara
penduduk, ada yang memuja Wisnu, namun jumlahnya tidak seberapa. Ada yang memuja
Siwa, ada yang memuja Ganesha, dan ada pula yang memuja Siwa-Wisnu. Yang
terbanyak pemeluknya adalah agama Ganesha atau Ganapati.
Dewawarman VIII mempunyai putera‑puteri beberapa orang.
Yang sulung, seorang puteri bernama Iswari Tunggal Pertiwi Warmandewi atau Dewi
Minawati. Yang kedua, seorang putera bernama Aswawarman. la diangkat anak sejak
kecil oleh Sang Kudungga penguasa Bakulapura, kemudian, ia dijodohkan dengan
puteri Sang Kudungga. Yang ketiga, seorang puteri bernama Dewi Indari yang
kelak diperisteri oleh Maharesi Santanu, Raja Indraprahasta yang pertama.
Putera Sang Dewawarman VIII yang lainnya, tinggal di Sumatera dan menurunkan
para raja di sana. Di antara keluarganya kelak adalah sang Adityawarman.
Anggota keluarganya yang lain, tinggal di Yawana dan Semenanjung. Puteranya
yang bungsu menjadi putera mahkota. Kelak setelah ayahandanya wafat, ia
menggantikarmya menjadi penguasa Salakanagara.
Permaisuri Dewawarman VIII ada dua orang. Permaisuri yang
pertama ialah Rani Sphatikarnawa Warmandewi yang menurunkan raja-raja di Jawa
Kulwan dan Bakulapura. Permaisuri yang kedua, bernama Candralocana, puteri
seorang brahmana dari Calankayana di India. la menurunkan raja-raja di Pulau
Sumatera, Semenanjung, dan Jawa Tengah.
Demikianlah kisah keturunan Dewawarman Darmalokapala yang
menjadi penguasa Salakanagara. Kerajaan ini berdiri sebagai kerajaan bebas,
selama 233 tahun (130‑363 Masehi). Dewawarman VIII, dianggap sebagai raja
Salakanagara terakhir, sebab puteranya, Dewawamm IX, sudah menjadi raja bawahan
Tarumanagara.
VII.
CATATAN PARA AKHLI
Sesungguhnya, berita tentarrg pernah adanya sebuah
kerajaan tertua di Nusantara, telah dilacak oleh N. J. Krom dalam buku Het
Hindoe-Tijdperk(1938:121), sebagaimana yang dikutip oleh Atja dan
Edi S. Ekadjati, dalam pendahuluan buku Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara
I.I (1987: 31), antara lain sebagai berikut:
Een
naukeurig gedateerd Chineesch bericht uit 132 n. C, lidjt weer aan onzekerheid
van interpretatie. In dat jaar zond ke koningvan Yet‑two, genaarnd Pien, een
gezantschap naar Cina, en kreeg genoemde kmting Tiarrpien een eergeschenk. In
den nanm van het land ia Yawadwipa, Java‑eiland, herkencl, ruaaruit zou volgen
dot op dit oogenblik het eilaed in kruestie door de Chineezen met em
Sanskritnaarn werd genoerrzd; naar zoo dadelijk zal blijkery inderdacrdzees
aannamelijk, dot het in dezen tjid zijn door de Hindoe's gegeven naccm reeds
droeg Ueel zwakker stoat de wedergave van den koningsnaarn nit den
Dewawarnrarz, hetwelk de oudste ons bekende vorstnaam uit den Archipel zrnl z~n
en teams zou veivrijzen, dot het hindoesiseeringsproces reeds een aanvang had
gr?namen, hetzij dan dot een Hindoe er zich als leaning had neergezet of een
Indonesisch vorst dien Indischen naam had aanvaard.
Untuk
lebih dipahami, dikemukakan pula kutipan terjemahannya, antara lain sebagai
berikut:
Suatu
berita Tionghoa jang tertanggal seksama, dari tahun 132 sesudah Masehi mendjadi
samar pula, oleh karena tidak dapat ditafsirkan dengan pasti. Dalam tahun itu
tersebutlah radja Ye‑tiao jang bernama Pien dan mengirimkan utusan ke Tiongkok
dan radja Tiao‑pien tersebut memperoleh hadiah kehormatan. Dalam nama tanah itu
dapatlah dikenal Yawadwipa (Pulau Djawa), jang mana akan berarti, bahwa diwaktu
itu pula telah disebut pada nama Sanskertanja oleh orang Tionghoa. Memang
mungkin sekali, seperti akan ternjata nanti bahwa pulau itu pada waktu itu
telah memakai nama jang diberikan oleh orang Hindu. Djauh lebih lemah tafsiran
nama radja itu dengan Dewawarman, jang bukan sadja berarti, bahwa nama radja
inilah kiranja jang tertua jang kita kenal di Nusantara, tetapi djuga akan
menerangkan, bahwa proses penghinduan sudah dimulai pada waktu itu, baik oleh
karena seorang Hindu telah datang menetap dan mendjadikan dirinja radja, maupun
seorang radja Nusantara telah mengambil nama Hindu tersebut (Effendi, 1950:11).
Bahwa Ye‑tiao telah mengirimkan duta ke
Cina pada tahun 132 M, yang disebut di dalam Hou Han‑shu, telah dicatat oleh
beberapa orang sarjana. Wolters (1967: 258) menyebut keterangan dari Pelliot
(1904: 266 69), yang menyarankan bahwa Ye‑tiao adalah sebuah transkripsi yang
permulaan tentang "jawa" dan kesimpulan dapat ditarik tentang
hubungan Cina-Indonesia paling tua pada abad kedua Masehi. Stein (1974: 13642)
mengemukakan alasan untuk percaya, di dalam hal ini, Ye‑tiao terletak di
perbatasan barat daya Cina, tetapi Demieville (1951:336) tidak mempercayainya.
Ia menyebut bahwa: "Java' ia also a mainland South
East Asian toponym; it appears in Ram Khamhaeng's incription of 1292 in the
contex of Laos". Sedangkan Fujita Toyohachi berpikir Ye‑tiao
adalah satu bentuk alternatif dari Ssu‑tiao dalam arti Ceylon. Hal ini katanya
tidak mengherankan, jika penguasa Singhala mengirimkan satu perutusan ke Cina
pada tahun 132 M., karena perutusan dari India Utara yang tertua dari tahun 89
M. (Atja & Ekadjati,1987:32).
Sartono
Kartodirdjo, mengutip tulisan NJ. Krom dalam Hindoejavaanscht Geschiedenis (1931), antara lain sebagai berikut:
Berita
lainnya yang juga tidak dapat dipastikan kebenarannya ialah berita Cina yang
berasal dari tahun 132 M. Di dalam berita itu disebutkan, bahwa raja Ye‑tiao
yang bernama Pien, meminjamkan meterai mas dan pita ungu kerajaannya kepada
maharaja Tiao‑pien. Menurut dugaan Sarjana Perancis G. Ferrand, Ye‑tiao dapat
disesuaikan dengan Yawadwipa, sedangkan Tiao‑pien merupakan lafal Cina dari
nama Sanskerta Dewawarman (Kartodirdjo,1977:3637 )
Untuk
lebih jelasnya, D.G.E. Hall, Guru Besar Emiritus Sejarah Asia Tenggara
Universitas London, mengemukakan hal yang sama, antara lain:
Bahwa
laporan orang-orang Cina berikutnya, tahun 132, mungkin ada artinya dalam
hubungan ini, seandainya interpretasi yang agak kurang pasti dari nama‑nama
yang disebut mempunyai nilai. Disebut upacara penerimaan oleh Kaisar Han untuk
suatu perutusan yang membawa hadiah kehormatan dari seorang raja Ye-tiao
bernama Tiao‑pien. Apakah Ye‑tiao merupakan terjemahan kedalam bahasa Cina dari
istilah Sanskerta, Javadvipa, pulau Jawa, dan apakah nama raja itu sama dengan
Dewawarman dalam bahasa Sanskerta?
Informasi yang nampaknya lebih pasti, datang dari akhli
Ilmu Bumi asal Alexander bernama Claudius Ptolomy, yang menulis pada tahun 165
atau mungkin lebih awal lagi, dan jelas menggunakan sumber-sumber yang lebih
tua lagi. Buku VII dari Geographianya, secara detail berisi tentang Asia
Tenggara, yang menggambarkan negeri Perak dan negeri Mas dekat kota-kota di
Semenanjung Mas, "Chryse Chersonesus". Di antara pulau‑pulau
Nusantara disebut "Barousai Lama", dihuni oleh pemakan daging
manusia, "Sabadeibai Tiga", juga dihuni oleh pemakan daging manusia,
dan pulau Yabadiou atau Sabadiou nama yang berarti negeri Jelai, yang dikatakan
sangat subur dan menghasilkan emas banyak dan ibukotanya di ujung sebelah
baratnya, sebuah kota dagang bernarna Argyre atau Kota Perak (Hall, 1958 dalam
Soewarsa,1988:1718).
Pendapat
D. G. E. Hall, dipertegas lagl oleh Sartono Kartoclirdjo, sebagaimana yang
dikemukakan dalam buku Sejarah Nasianal Indonesia II, adalah sebagai berikut:
Dalam
buku Geographike, kita bertemu kembali dengan nama‑nama tempat yang berhubungan
dengan logam mulia, yaitu emas dan perak. Tempat‑tempat tersebut ialah Argyre
Chora, yaitu negeri Perak, Chryse Chora, negeri emas dan Chryse Chersonensos,
semenanjung emas. Kitab ini menyebutkan pula nama tempat Iabadiou, yaitu Pulau
Enjelai (Kartodirdjo,1977: 6).
Menggunakan
sumber yang sama, pendapat Yogaswara yang dikutip oleh Halwany Michrob,
mengemukakan antara lain sebagai berikut:
Berita
yang paling meyakinkan tentang hubungan Banten dengan Eropa, India dan Cina
adalah dengan ditemukannya peta yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus. Peta ini
dibuat pada tahun 165 M. berdasarkan tulisan geograf Starbo (27-14 SM) dan
Plinius (akhir abad pertama masehi). Dalam peta ini digambarkan tentang jalur
pelayaran dari Eropa ke Cina dengan melalui: India, Vietnam, ujung utara
Sumatera, kemudian menyusuri pantai barat Sumatera, Pulau Panaitan, Selat
Sunda, terus melalui Laut Tiongkok selatan sampai ke Cina (Yogaswara, dalam
Michrob 1993: 32).
Bermula
dari sebuah berita Cina dari zaman keluarga (dinasti) Han, memberitakan bahwa
"raja Ye‑tiao bernama Tiao‑pien, mengirirrilcan utusannya ke Cina dalam
tahun 132 Masehi". Ye‑tiao diduga sama dengan Yawadwipa atau Yabadiu, dan
nama Tiao‑pien diduga sama dengan Dewawarman. Menurut Ayatrohaedi, Tiao artinya
Dewa, dan Pien artinya Warman.
Sasaran mengarah ke Jawa bagian Barat, karena berita itu
dihubungkan pula dengan tulisan seorang ahli Ilmu Bumi Mesir bernama Claudius
Ptolemeus, dalam bukunya Geographia yang ditulis kira‑kira tahun 150 M. la.
memberitakan, bahwa di dunia timur terdapat Iabadiou yang subur dan banyak
menghasilkan emas. Di ujung barat Iabadio terletak (kota) Argyre. Iabadiou
dapat dicapai setelah melalui 5 pulau Barousai dan 3 pulau Sabadibai.
Bila kedua berita dari Cina dan Ptolemeus ini digabungkan,
dengan sendirinya diduga kuat, bahwa hal tersebut menyangkut sebuah kerajaan di
ujung barat Pulau Jawa.
Hasan Mu'arif Ambary, pakar arkeologi Islam Universitas
Indonesia, seperti yang dimuat dalam majalah Tempo (2000: 67), menyatakan bahwa pada abad
ketiga, Ptolemeus sudah melakukan transaksi perdagangan di Palembang, dan
menyebut kota itu dengan nama Barus, lantaran ia menukar minyak wangi dan
keramik Yunani dengan kapur barus, yang merupakan hasil utama kawasan itu.
Kartogtafer
Eropa pada abad ke‑15‑17 mana pun yang hendak mencari tahu sejarah Nusantata
mulanya berangkat dari keterangan Claudius Ptolemeus (90‑168 Masehi). Akhli
matemarika dan astronom dari Alexandria ini adalah orang pertama yang membuat
catatan perjalanan ancar-ancar letak Asia.
Hasan Mu'arif Ambary, pernah melakukan penggalian di
Palembang, dan nyatanya, banyak keramik dari Yunani yang bercorak sama dengan
penemuan di India, Cina, dan Persia. Temuan tersebut membuktikan bahwa sebelum
zaman Gold, Glory and Gospel, sudah ada jalur bisnis di Asia. Rute Ptolemeus
adalah Venesia, Iskandaria, Teluk Aden (Yaman), India, Barus, Cina, dan kembali
ke Venesia. Temuan selanjutnya, berupa benda-benda keramik dari masa Dinasti
Han, terdapat di Jawa Barat (Krom, terjemahan Effendi,1956:10). Tepatnya di
pesisir pantai utara Banten (Lombard, 1996:15).
Berdasarkan temuan tersebut di atas, dapat diduga, bahwa
Claudius Ptolemeus yang menempatkan Iabadiou dan Argyre dalam kartografnya,
tentu dilakukan berdasarkan catatan pemetaan yang cermat.
Bahkan, Sartono Kartodirdjo, menduga Argyre yang dimaksud
oleh Claudius Ptolemeus, dalam bukunya Geographia Hyphegesis, yang berarti
perak, adalah "terjemahan" dari Merak, yang memang terletak di
sebelah barat Pulau Jawa (Kartodirdjo,1977: 36).
Ayatrohaedi dan Edi S. Ekadjati dalam acara bedah naskah
Sejarah Banten (18 Maret 2001 di Puri Salakanagara Pandeglang), sebagai Dewan
Pakar menyimpulkan, bahwa Salakanagara memang pernah ada di pesisir barat
Pandeglang dan merupakan kerajaan tertua di Nusantara.
BAGIAN 3:
TATAR SUNDA MASA SILAM
I.
MASA TARUMANAGARA
Halwany
Michrob, dalam buku Catatan Masa Lalu Banten,
mengemukakan pendapatnya, antara lain sebagai berikut:
Dengan ditemukannya Prasasti Munjul,
yang terletak di tengah Sungai Cidangiang, Lebak Munjul, Pandeglang, berita
tentang Banten dapat lebih diperjelas lagi. Prasasti ini, yang diperkirakan
berasal dari abad V, bertuliskan huruf Pallawa dengan bahasa Sanskerta
menyatakan bahwa raja yang berkuasa di daerah ini adalah Purnawarman. Ini
berarti bahwa daerah kuasa Tarumanagara sampai juga ke Banten, dan diceritakan
pula bahwa negara pada masa itu dalam kemakmuran dan kejayaan (Michrob,1993:
37).
Untuk melengkapi Tarumanagara yang
dikemukakan oleh Halwany Michrob, riwayat dapat diikuti melalui naskah Pustaka
Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I sarga 1, halaman 771, antara lain sebagai
berikut:
.. // ri bharatanagari rruang wamca athawa nuang rajya /
calankayanawanica mwaug pallowamca / zoos inalahaken ri yuddhakala de nira
samudraghupta maharaja maurya //sang ghuptaneher mahakawaca sx ra i bhumi
bharata // makaswabhawa nira tan kenah / nist7snagalak ring eatru nira yeku
sang alah // matangyan sekopayanya kulawandha mwang pirang sikyamutya mwang
janapa sakeng kanwa wamcanung kasoran fi yuddkakala akweh pantaranya manigit
angluru cesa ning pejah //..
Terjemahannya:
Di negeri India dua keluarga atau dua kerajaan yaitu keluarga
Calankayana dan Pallawa telah dikalahkan dalam perang oleh Samudragupta
Maharaja Maurya. Sang Gupta lalu menjadi yang paling berkuasa di India.
Perangai tidak layak, kejam tidak mengenal belas kasihan terhadap musuh yang
telah dikalahkannya. Oleh karena itu keluarga, para pembesar dan penduduk dari
kedua kerajaan yang kalah perang itu berupaya melarikan diri mencari
keselamatan.
Perang itu terjadi tahun 267 Saka (345
Masehi). Sementara itu, rajanya telah kalah, tetapi kerajaannya tidak hilang
dari muka bumi. Hanya saja, yang kalah, menjadi bawahan sang pemenang. Semua
penduduk Pallawa dan Calankayana, sangat menderita dan banyak yang tewas,
karena sang penguasa, yaitu raja Gupta, telah banyak membunuh orang‑orang yang
tak berdosa. Telah banyak, tentara dan pemuka negara yang kalah, tewas di medan
perang. Oleh karena itu, di kota‑kota negara yang kalah perang, merajalela kaum
perampok. Sedangkan raja yang menderita kekalahan, beserta keluarga, pengiring
dan para pembesar lainnya, bersembunyi masuk ke dalam hutan.
Adapun maharaja Maurya itu, bernama
nobat Samudragupta Mahaprabawa Raja Magada, yang besar kotanya. Sedangkan raja
Calankayana, bernama nobat Maharaja Hastiwarman dan raja Pallawa, bernama nobat
Maharaja Wisnugopa. Kedua raja ini bersahabat akrab dan bersatu, lalu bersama‑sama
menyerang musuhnya (Samudragupta). Perang itu, berlangsung beberapa bulan
lamanya. Akhirnya, kerajaan Pallawa dan Calankayana kalah. Kerajaan Maurya,
memperoleh kemenangan. Yang berhasil menyelamatkan diri, dari pihak yang kalah,
bersembunyi di gunung. Ada juga yang bersama keluarga dan pengiringnya, pergi
ke seberang laut, yaitu ke Semenanjung, Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Negeri
Yawana, dan sebagainya.
Salah satu kelompok keluarga Pallawa,
yang mengungsi ke Pulau Jawa, dipimpin oleh Darmawirya, kelak setelah menikah
dengan Rani Sphatikarnawa Warmandewi, menjadi Dewawarman Vlll (raja terakhir
Salakanagara). Keluarga Hastiwarman dan Wisnugopa, tersebar ke berbagai negara,
terutama yang dahulu menjadi sahabat keluarga mereka. Dinasti Warman (warmanwamca), akhirnya
banyak yang menjadi raja di Nusantara, dan negara-negara lainnya.
Dalam tahun 270 Saka (348 Masehi), ada
seorang Maharesi (bernama Jayasingawarman) dari Calankayana. Bersama
pengikutnya (sebagai pengiring), tentara, penduduk pria dan wanita, ikut
melarikan diri. Mengungsi ke pulau‑pulau di sebelah selatan, karena pihak
musuh, selalu berusaha menangkap mereka. Sang Maharesi Jayasingawarman bersama
para pengikutnya, tiba di Pulau Jawa dan menetap di Jawa Kulwan (barat). Di
sebelah barat Citarum, Sang Maharesi mendirikan perdukuhan, yang kemudian
diberi nama Tarumadesya. Wilayah ini (Taruma‑desya), termasuk daerah kekuasaan
Sang Prabu Dewawarman VIII. Kelak, Sang Maharesi Jayasingawarman menjadi
menantu Sang Prabu Dewawarman VIII.
Kira kira sepuluh tahun kemudian, desa
itu menjadi besar, karena banyak penduduk dari desa-desa lain, datang dan menetap
di situ. Beberapa tahun kemudian, desa Taruma itu, telah menjadi nagara.
Jayasingawarman terus berusaha, memperbesar negaranya, sampai menjadi sebuah
kerajaan, lalu diberi nama: Tarumanagara. la lalu menjadi Rajadirajaguru yang
memerintah kerajaannya, bergelar Jayasingawarman Gurudarmapurusa
Sang Maharesi Rajadirajaguru menjadi
raja Taumanagara selama 24 tahun, yaitu dari tahun 280 sampai 304 Saka (358‑382
Masehi). la wafat dalam usia 60 tahun, dan dipusarakan di tepi kali Gomati. la
digantikan putera sulungnya yang bernama Rajaresi Darmayawarmanguru. Ia
bergelar demikian, karena selain memegang pemerintahan Tarumanagara, ia pun
menjadi pemimpin semua guru agama (Hindu) di situ.
Tetapi penduduk di desa‑desa kerajaan
Taruma, banyak yang tetap menganut pemujaan roh, yaitu memuja roh leluhur (pitampuja) menurut adat
yang diwarisi dari nenek moyangnya. Sang Rajaresi, selalu berusaha mengajarkan
agamanya kepada penghulu desa‑desa dan penduduk Tarumanagara. Oleh karena itu,
Sang Rajaresi mendatangkan brahmana-brahmana dari India. Walaupun demikian,
tidak semua penduduk mau mengikuti agamanya.
Waktu itu, kehidupan penduduk dijadikan
empat kasta, yaitu: yang pertama kasta Brahmana, yang kedua kasta Ksatriya,
yang ketiga kasta Waisya, dan yang keempat kasta Sudra Dengan demikian,
penduduk itu dibeda‑bedakan antara golongan Nista‑Madya ‑ Utama. Penduduk
golongan nista, sangat takut terhadap agama Sang Rajaresi.
la menjadi raja Tarumanagara hanya 13
tahun, dari tahun 304 sampai tahun 317 Saka (382 ‑ 395 Masehi). la disebut juga
Sang Lumahing Candrabaga (yang mendiang di Candrabaga), karena ia dipusarakan
di tepi kali Candrabaga (Cibagasasi atau kali Bekasi). Sedangkan ayahnya,
dipusarakan di tepi kali Gomati. Rajaresi Darmayawarmanguru, digantikan oleh puteranya,
yang bernama Purnawarman, yang memerintah dari tahun 317 sampai tahun 356 Saka
(395‑434 Masehi).
Purnawarman, dilahirkan tanggal 8
bagian gelap bulan Palguna tahun 294 Saka (16 Maret 372 Masehi). Dua tahun
sebelum ayahnya wafat, ia diwisuda sebagai raja Tarumanagara ketiga, pada
tanggal 13 bagian terang bulan Caitra tahun 317 Saka (12 Maret 395 Masehi).
Ayahnya, Rajaresi Darmayawarman, mengundurkan diri dari tahta kerajaan, untuk
hidup di pertapaan menempuh manurajasunya (bertapa setelah turun tahta sampai
ajal tiba).
Tindakannya yang pertama, ialah
memindahkan ibukota kerajaan, ke sebelah utara ibukota lama, yang disebut
Jayasingapura yang didirikan oleh kakeknya, Jayasingawarman. Ibukota yang baru
itu, diberi nama Sundapura (kola Sunda), dibangun di tepi kali Gomati.
Kira‑kira tiga tahun setelah ia
dinobatkan, Purnawarman membuat pelabuhan di tepi pantai. Pembuatannya, dimulai
tanggal 7 bagian terang bulan Margasira (15 Desember 398 Masehi) dan selesai
pada tanggal 14 bagian terang bulan Posya (11 November 399 Masehi). Pelabuhan
ini, segera menjadi ramai, oleh kapal-kapal perang kerajaan Taruma.
Selama masa pemerintahannya,
Purnawarman telah menaklukan kerajaat-kerajaan lain di Jawa Barat, yang belum
tunduk kepada kekuasaan Tarumanagara. Semua musuh yang diserangnya, selalu
dapat dikalahkan. la seorang pemberani, menguasai berbagai ilmu dan siasat
berperang, yang menjadikan dirinya, sebagai seorang raja yang perkasa dan
dahsyat (bhimaparakramoraja).
Tidak ada satupun senjata musuh yang dapat melukainya, karena dalam perang, ia
selalu mengenakan baju pelindung dari besi yang dipasangnya mulai dari kepala
sampai ke kaki. la perkasa dan tangkas di medan perang, sehingga oleh lawan‑lawannya,
digelari Harimau Tarumanagara (wyaghra
ring tarumanagara).
Akhirnya,
Purnawarman, menjadi seorang raja yang sangat besar kekuasaannya di Jawa Barat.
Sri Maharaja Purnawarman, ibarat raja matahari yang bersinar bagi raja‑raja
sesamanya (panji segala raja). Tarurnanagara menjadi sebuah kerajaan yang
sangat besar kekuasannya di Pulau Jawa. Tiap tahun, semua raja bawahannya
selalu datang di Purasaba Sundapura,
untuk berbakti dan mempersembahkan upeti kepada Sri Maharaja Purnawarman. Raja‑raja
bawahan itu, datang ke ibukota (Sundapura), tiap tanggal 11 bagian terang bulan
Caitra (Maret-April). Kemudian, dari tanggal 13 sampai tanggal 15, mereka
berkumpul bersama‑sama keluarga kerajaan Tarumanagara, sambil menghadiri pesta
yang dimeriahkan oleh tarian gadis‑gadis cantik, dengan iringan suara gamelan
yang merdu. Sang Maha raja menjamu tamu-tamunya dengan makanan dan minuman yang
serba lezat (wesalehyamadhupanadi).
Untuk kesejahteraan hidup rakyatnya, ia
sangat memperhatikan pemeliharaan aliran sungai. Tahun 410 Masehi, ia
memperbaiki alur kali Gangga di daerah Cirebon, yang waktu itu termasuk kawasan
kerajaan Indraprahasta. Sungai yang bagian hilirnya, disebut Cisuba, ini mulai
diperbaiki (diperdalam) dan diperindah tanggulnya, pada tanggal 12 bagian gelap
bulan Margasira. Selesai pada tanggal 15 bagian terang bulan Posya tahun 332
Saka. Sebagai tanda penyelesaian karyanya, Sang Purnawarrnan, mengadakan
selamatan dengan pemberian hadiah harta (sangaskararthadaksina)
kepada para Brahmana dan semua pihak yang ikut serta menggarap pekerjaan itu
sampai selesai. Hadiah ini berupa: sapi 500 ekor, pakaian, kuda 20 ekor, gajah
seekor, yang diberikan kepada raja Indraprahasta, serta jamuan rnakanan dan
minuman yang lezat. Ribuan orang laki-laki dan perempuan, dari desa sekitarnya,
ikut serta berkarya bakti di situ. Semua mereka itu, mendapat hadiah dari Sang
Purnawarman.
Dua tahun kemudian, Sang Purnawarman,
memperteguh dan memperindah alur kali Cupu yang terletak di (kerajaan)
Cupunagara Sungai tersebut, mengalir sampai di istana kerajaan. Pengerjaan,
dimulai tanggal 4 bagian terang bulan Srawana (Juli/Agustus) sampai tanggal 13
bagian gelap bulan Srawana itu juga (14 hari) tahun 334 Saka (412 Masehi).
Hadiah yang dianugerahkan Sang Purnawarman pada upacara selamatannya, ialah:
sapi 400 ekor, pakaian, dan makanan lezat. Setiap orang, yang ikut serta
mengerjakan saluran ini, mendapat hadiah dari raja. Baik di tepi kali Gangga di
Indraprahasta maupun di tepi kali Cupu, Sang Maharaja Purnawarman membuat
prasasti, yang ditulis pada batu, sebagai ciri telah selesainya pekerjaan itu dengan
kata‑kata berbunga (sarwa
bhasana). Mengenai kebesarannya dan sifat‑sifatnya, yang
diibaratkan Dewa Wisnu, melindungi segenap mahluk di burni dan di akhir kelak.
Prasati itu, ditandai lukisan telapak tangan. Para petani merasa senang
hatinya. Demikian pula para pedagang, yang biasa membawa perahu, dari muara ke
desa-desa di sepanjang tepian sungai.
Pada tanggal 11 bagian gelap bulan
Kartika (Oktober/November) sampai tanggal 14 bagian terang bulan Margasira
(Desember/Januari) tahun 335 Saka (413 Masehi), Sang Purnawarman, memperindah
dan memperteguh alur kali Sarasah atau kali Manukrawa. Waktu dilangsungkan
upacara selamatan, Sang Purnawarman sedang sakit, sehingga terpaksa ia mengutus
Mahamantri Cakrawarman untuk mewakilinya. Sang Mahamantri, disertai beberapa
orang Menteri Kerajaan, Panglima Angkatan Laut, Sang Tanda, Sang Juru, Sang
Adyaksa, beserta pengiring lengkap, datang di ternpat upacara dengan menaiki
perahu besar. Hadiah yang dianugerahkan adalah: sapi 400 ekor, kerbau (mahisa)
80 ekor, pakaian bagi para Brahmana, kuda 10 ekor, sebuah bendera Tarumaragara,
sebuah patung Wisnu, dan bahan makanan. Setiap orang, yang ikut serta dalam
pekerjaan ini, memperoleh hadian dari Sang Maharaja Purnawarman.
Para petani menjadi senang hatinya,
karena ladang milik mereka menjadi subur tanahnya, dengan mendapat pengairan
(kaunuayan) dari sungai tersebut. Dengan demikian, tidak akan menderita
kekeringan dalarn musim kemarau.
Kemudian, Sang Purnawarman,
memperbaiki, memperindah serta memperteguh alur kali Gomati dan Candrabaga. Ada
pun kali Candrabaga itu, beberapa puluh tahun sebelumnya, telah diperbaiki,
diperindah serta diperteguh alurnya oleh Sang Rajadirajaguru, kakek Sang
Purnawarman. Jadi, Sang Maharaja Purnawarman, mengerjakan hal itu untuk kedua
kalinya.
Pengerjaan kali Gomati dan Candrabaga
ini, berlangsung sejak tanggal 8 bagian gelap bulan Palguna, sampai tanggal 13
bagian terang bulan Caitra tahun 339 Saka (417 Masehi). Ribuan penduduk, laki‑laki
dan perempuan, dari desa‑desa sekitarnya, berkarya‑bakti siang‑malam, dengan
membawa berbagai perkakas. Mereka itu, berjajar memanjang di tepi sungai,
sambung menyambung tidak terputus, tanpa saling mengganggu pekerjaan
masing-masing.
Selanjutnya, Sang Purnawarman
mengadakan selamatan dan memberi hadiah harta, kepada para Brahmana.
Perinciannya: sapi (ghoh) 1.000 ekor, pakaian serta makanan lezat. Sedangkan
para pemuka dari daerah, ada yang diberi hadiah kerbau (mahisa), ada yang
diberi hadiah perhiasan emas dan perak, ada yang diberi hadiah kuda dan
bermacam‑macam hadiah lainnya lagi. Di situ, Sang Maharaja, membuat prasasti
yang ditulis pada batu.
Demikian pula di tempat‑tempat lain,
Sang Purnawarman, banyak membuat prasasti batu, yang dilengkapi dengan patung
pribadinya, lukisan telapak kakinya, lukisan telapak kaki tunggangannya, yaitu
gajah yang bernama Sang Erawata. Demikian pula ada yang ditandai dengan lukisan brahmara (kumbang atau lebah), sanghyang tapak,
bunga teratai, harimau dan sebagainya, dengan tulisan pada batunya.
Di tempat‑tempat pemujaan (pretakaryam) yang telah
selesai dibangun, dilukiskan bendera Tarumanagara dan jasa-jasa Sang Maharaja.
Sernua itu, ditulis pada prasasti batu, di sepanjang tepi sungai di beberapa
daerah.
Pada tangal 3 bagian gelap bulan Jesta
(Mei/Juni), sampai tanggal 12 bagian terang bulan Asada (Juni/Juli) tahun 341
Saka (419 Masehi), Sang Purnawarman, memperbaiki, memperteguh alur dan
memperdalam Citarum, sungai terbesar di kerajaan Taruma (di Jawa Barat).
Selamatan dan hadiah harta, dilaksanakan setelah pekerjaan itu selesai. Hadiah
berupa sapi 800 ekor, pakaian, makanan lezat, kerbau 20 ekor dan hadiah‑hadiah
lainnya. Kemudian, para Brahmana memberkati Maharaja Tarumuragara.
Dahulu, ketika Tarumanagara diperintah
oleh Sang Rajadirajaguru dan Rajaresi Darmayawarmanguru, kerajaan ini tidak
seberapa. Tetapi, setelah Purnawarman menjadi raja Tarumanagara, angkatan
perangnya diperbesar serta lengkap persenjataannya. Demikian pula halnya
Angkatan Laut, diperbesar dan diperkuat. Karena itu, pasukan Tarumanagara,
selalu memenangkan pertempuran.
Setelah kerajaan Taruma menjadi besar
dan kuat, Sang Purnawarman dinobatkan menjadi Maharaja, dengan gelar Sri
Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaparakrama Suryamahapurusa
Jagatpati, la pun seorang pemuja Batara Indra, apabila hendak pergi menyerang
musuhnya. Karena itulah, ia disebut Sang Purandara Saktipurusa (manusia sakti
penghancur benteng).
Sejak tanggal 3 bagian gelap bulan Maga
(Januari/Februari) tahun 321 Saka (399 Masehi) sampai tahun 325 Saka (403
Masehi), Sang Purnawarman melancarkan perang terhadap bajak laut, yang
merajalela di perairan barat dan utara. Pembersihan terhadap kaum perompak ini,
dimulai ketika seorang menteri kerajaan Taruma bersama 7 orang pengiringnya,
ditawan kemudian dibunuh oleh perompak. Perang pertama dengan kaum perompak
ini, terjadi di perairan Ujung Kulon. Angkatan Laut Tarumanagara, dipimpin
langsung oleh Sang Purnawarman:
Puluhan kapal perang (armada laut)
Tarumanagara, mengepung dua buah kapal perompak, di tengah laut. Dari 80 orang
perompak, sebahagian terbunuh dalam perang. Sisanya, sebanyak 52 orang dapat
ditawan. Seorang demi seorang; perompak yang ditawan itu, dibunuh dengan
berbagai cara, dan semua mayatnya dibuang ke tengah laut. Demikian marahnya
Sang Purnawarman terhadap kaum perompak. Sehingga, ia tidak pernah mengampurri
seorang pun, di antara mereka.
Telah lama, perairan Pulau Jawa sebelah
utara, barat dan timur, dikuasai kaum perompak. Jumlah mereka tidak terhitung
dan tersebar di lautan. Semua kapal diganggu. Semua barang yang ada di
dalamnya, dipinta atau dirampas. Banyak kapal perompak berkeliaran di perairan
Jawa Barat. Tak ada yang berani mamasuki atau melewati perairan ini, karena
sepenuhnya telah dikuasai kaum perompak yang ganas dan kejam. Setelah Sang
Purnawarman berhasil membasmi semua perompak, barulah keadaan menjadi aman, dan
penduduk Tarumanagara merasa senang. Perairan utara Pulau Jawa telah bersih
dari gangguan perompak. Tak terhitung junrlah perompak yang ditangkap dan
dijatuhi hukuman.
Pada bagian ini, kemungkinan besar ada
hubungannya dengan temuan prasasti Cidangiang, di Desa Lebak Kecamatan Munjul
Kabupaten Pandeglang, yang tertulis dalam aksara Pallawa bahasa Sanskerta,
antara lain sebagai berikut:
vikrantayam vanipateh
prabbhuh satyaparakramah
narendraddhvajabutena crimatah
pumnavarmmanah
Terjemahannya:
(Ini tanda)
penguasa dunia yang perkasa, prabu yang setia serta penuh kepahlawanan, yang
menjadi panji segala raja, yang termashur Purnawarman (Danasasrrrita, 1984: 3‑1).
Prasasti ini terletak di aliran
Sungai Cidangiang yang bermuara ke Teluk Lada perairan Selat Sunda. Kemungkinan
besar, kawanan perompak di wilayah Ujung Kulon yang ditumpas habis oleh Sang
Purnawarman, bercokol di perairan Teluk Lada ini. Prasasti tersebut merupakan
tanda penghargaan kemenangan kepada masyarakat setempat atas kepatriotan
masyarakat sekitar sungai Cidangiang, sebagaimana yang sering dilakukan oleh
Sang Purnawarman.
Dipilihnya tepi Sungai Cidangiang,
sebagai lokasi ditempatkannya prasasti, karena sebutan Cidangiang sendiri
menunjukkan adanya indikasi masa silam, bahwa Ci‑Dang‑Hiyang memiliki nilai spiritual dalarn sistem
religi Sunda.
Adik Sang Purnawarman, bernama
Cakrawarman, menjadi Panglima Perang. Sedangkan pamannya dari pihak ayah,
bernama Nagawarman, menjadi Panglima Angkatan Laut (Senapati Sarwajala). Sang
Nagawarman, sering pergi sebagai duta Sang Purnawarman ke negeri seberang,
untuk mempererat persahabatan. la pernah mengunjungi Semenanjung, negeri
Syangka, Yawana, Cambay (di India), Sopala, Bakulapura, Cina, Sumatera dan lain‑lain.
Adapun bendera kerajaan Taruma,
berupa bunga teratai di atas kepala (gajah) Erawata. Sedangkan rnaterai raja (rajatanda), adalah
lempengan (daun) emas berbentuk brahmara (lebah atau kumbang). Bendera Angkatan
Lautnya, berlukiskan naga (nagadhuajarupa),
yang dikibarkan pada tiap kapal perang Tarumanagara. Ada lagi bendera‑bendera
yang berlukiskan senjata milik satuan‑satuan tempur. Kerajaan‑kerajaan bawahan
Taruma, mempunyai bendera, berlukiskan berbagai macam binatang.
Salah seorang isteri Sang Purnawarman,
berasal dari Bakulapura. Negeri ini, ada di Tanjung Nagara (Kalimantan).
Kisahnya berawal dari Sang Kudungga.
Sang Kudungga putera Sang Atwangga.
Sang Atwangga putera Sang Mitrongga. Keluarga itu, telah beberapa puluh
keturunan, berada di situ dan menjadi penguasa. Beberapa ratus tahun
sebelumnya, keluarga itu, datang dari India. Pangkal silsilah mereka, dimulai
dari Sang Pusyamitra, yang menurunkan wangsa Sungga di Magada. Ketika wangsa
Sungga dikalahkan dan dikuasai oleh wangsa Kusan (Kucanawamsa), banyak di
antara anggota keluarga ini, laki‑laki dan perempuan, yang mengungsi ke
berbagai negara. Salah seorang anggota keluarga Sungga, bersama keluarga dan
pengiringnya, tiba di salah satu pulau di Nusantara Mereka mendirikan desa,
yang diberi nama Kuta (Kutai). Setelah berkembang menjadi kerajaan kecil,
kemudian diubah namanya, menjadi Bakulapura.
Puteri Sang Kudungga, diperistri oleh
Sang Aswawarman, putera kedua dari Prabu Darmawirya Dewawarman dengan Rani
Sphatikarnawa Warmandewi. Kakak perempuan Sang Aswawarman, yang bernarna Dewi
Minawati alias Iswan Tunggal Pretiwi, menjadi permaisuri Jayasingawarman
Rajadirajaguru, raja Tarumanagara pertama.
Prabu Darmawirya alias Dewawarman VIII
(raja Salakanagara terakhir), telah lama bersahabat dengan penguasa Bakulapura
Sebab, Sang Kudungga, adalah saudara sepupu permaisurinya dari pihak ibu.
Karena itulah, Sang Aswawarman diangkat anak oleh Sang Kudungga, dan sejak
kecil tinggal di Bakulapura.
Jadi,
Aswawarman dengan isterinya, masih saudara satu‑buyut. Setelah Sang Kudungga
wafat, Sang Aswawarman menggantikannya, sebagai penguasa Bakulapura. Dalam masa
pemerintahannya, Bakulapura menjadi kerajaan besar dan kuat, sehingga dialah
yang dianggap sebagai pendiri dinasti (wamcakerta).
Aswawarman berputera tiga orang. Yang
sulung bernama Mulawarman, kelak menggantikan ayahnya, menjadi penguasa
Bakulapura. Di bawah pemerintahan Sang Mulawarman, Bakulapura menjadi makin
kuat dan besar. la adalah raja yang sangat berwibawa dan membawahi
kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya Persahabatan antara Bakulapura dengan
Tarumanagara, menjadi semakin erat. Duta Bakulapura ditempatkan di ibukota
Tarumanagara dan dernikian pula sebaliknya.
Permaisuri Sang Purnawarman, adalah
puteri salah seorang raja bawahannya. Dari permaisuri ini, ia memperoleh
beberapa orang putera dan puteri. Putera sulungnya, bernama Wisnuwarman, kelak
akan menggantikan kedudukannya sebagai penguasa Tarumanagara keempat. Adik
Wisnuwarman yang perempuan, diperistri oleh seorang raja di Sumatera. Kelak,
Sri Jayanasa, seorang raja besar di pulau itu, adalah keturunannya. Isteri‑isteri
Purnawarman yang lainnya, berasal dari: Sumatera, Bakulapura, Jawa Timur dan
beberapa daerah lainnya.
Sang Purnawarman adalah pemuja Wisnu.
Akan tetapi, penduduk, ada juga yang memuja Batara Sangkara (Siwa) dan Brahma.
Penganut Budha, tidak seberapa banyak. Kecuali di Pulau Sumatera. Penduduk
pribumi, kebanyakan tetap memuja roh leluhur (pitarapuja), menurut adat yang diwarisi
nenek moyangnya. Sang Purnawarman, menyusun bermacam-macam pustaka yang berisi:
Undang undang kerajaan; Peraturan Ketentaraan; Siasat Perang; Keadaan Daerah‑Daerah
di Jawa Barat; Silsilah Dinasti Warman; Kumpulan Maklumat Kerajaan dan lain‑lain.
Sri Maharaja Purnawarman, wafat
pada tanggal 15 bagian terang bulan Posya tahun 356 Saka (24 November 434
Masehi) dalam usia 62 tahun. Ia dipusarakan di tepi Citarum, sehingga mendapat
sebutan Sang Lurnah Ing Tarumanadi (yang dipusarakan di Citarum).
Pada saat Sri Maharaja
Purnawarman wafat, kerajaan‑kerajaan yang menjadi bawahannya, adalah sebagai
berikut: Salakanagara (Pandeglang), Cupunagara (Subang), Nusa Sabay,
Purwanagara, Ujung Kulon (Pandeglang), Gunung Kidul, Purwalingga (Purbalingga),
Agrabinta (Cianjur), Sabara, Bumi Sagandu, Paladu, Kosala (Lebak), Legon
(Cilegon), Indraprahasta (Cirebon), Manukrawa (Cimanuk), Malabar (Bandung),
Sindang Jero, Purwakerta (Purwakarta), Wanagiri, Galuh Wetan (Ciamis),
Cangkuang (Garut), Sagara Kidul, Gunung Cupu, Alengka, Gunung Manik
(Manikprawata), Gunung Kubang (Garut), Karang Sindulang, Gunung Bitung
(Majalengka), Tanjung Kalapa (Jakarta Utara), Pakuan Sumurwangi, Kalapa Girang
(Jakarta Selatan), Sagara Pasir, Rangkas (Lebak), Pura Dalem (Karawang),
Linggadewata, Tanjung Camara (Pandeglang), Wanadatar, Setyaraja, Jati Ageung,
Wanajati, Dua Kalapa, Pasir Muhara, Pasir Sanggarung (Cisanggarung), Indihiyang
(Tasikmalaya).
Sebagai pengganti Sri Maharaja
Purnawannan, putera sulungnya, Sang Wisnuwarman, dengan nama nobat: Sri
Maharaja Wisnuwarman Digwijaya Tunggal Jagatpati Sang Purandarasutah. la
dinobatkan menjadi raja Tarumanagara keempat, pada tanggal 14 bagian terang
bulan Posya tahun 365 Saka (3 Desember 434 Masehi). Memegang pemerintahan di Tarumanagara
hingga tahun 377 Saka (455 Masehi).
Digantikan
oleh puteranya, Sang Indrawarman, sebagai raja Tarumanagara kelima, dengan nama
nobat: Sri Maharaja Indrawarman Sang Paramarta Sakti Mahaprabawa Lingga
Triwikrama Buanatala. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 437 Saka (515
Masehi).
Digantikan oleh puteranya, Sang
Candrawarman, sebagai raja Tarumanagara keenam, dengan nama nobat: Sri Maharaja
Candrawarman Sang Hariwangsa Purusakti Suralagawageng Paramarta. la memerintah
di Tarumanagara hingga tahun 457 Saka (535 Masehi).
Digantikan oleh puterannya, Sang
Suryawarman, sebagai raja Tarumanagara ketujuh, dengan nama nobat: Sri Maharaja
Suryawarman Sang Mahapurusa Bimaparakrama Hariwangsa Digwijaya. la memerintah
di Tarumanagara hingga tahun 483 Saka (561 Masehi).
Digantikan oleh puteranya, Sang
Kretawarman, sebagai raja Tarumanagara kedelapan, dengan nama nobat: Sri
Maharaja Kretawarman Mahapurusa Hariwangsa Digwijaya Salakabumandala. la,
memerintah di Tarumanagara hingga tahun 550 Saka (628 Masehi).
Karena tidak punya keturunan,
digantikan oleh adiknya, Sang Sudawarman, sebagai raja Tarumanagara kesembilan,
dengan nama nobat: Sri Maharaja Sudawarman Mahapurusa Sang Paramartaresi
Hariwangsa. Ia memerintah di Tarumanagara hingga tahun 561 Saka (639 Masehi).
Digantikan oleh puteranya, Sang
Dewamurti, sebagai raja Tanunanagana kesepuluh, dengan nama nobat: Sri Maharaja
Dewamurtyatma Hariwangsawarman Digwijaya Bimaparakrama. la memerintah di
Tarumanagara hingga tahun 562 Saka (640 Masehi).
Digantikan
oleh puteranya, Sang Nagajaya, sebagai raja Tarumanagara kesebelas, dengan nama
nobat: Sri Maharaja Nagajayawarman Darmasatya Cupujayasatru. la memerintah di
Tarumanagara hingga tahun 588 Saka (666 Masehi).
Digantikan oleh puteranya, Sang
Linggawarman, sebagai raja Taruma nagara keduabelas, dengan nama nobat: Sri
Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabumi. la memerintah di
Tarumanagara hingga tahun 591 Saka (669 Masehi).
la digantikan oleh menantunya, Sang
Tarusbawa, sebagai penerus tahta Tarumanagara, dengan nama nobat; Sri Maharaja
Tarusbawa Darmawaskita Manumanggalajaya Sundasembawa. Sang Tarusbawa dinobatkan
pada tanggal 9 bagian terang bulan Jesta tahun 591 Saka (18 Mei 669 Masehi).
Dalam tahun yang sama, menantu Sang Linggawarman lainnya, Dapunta Hiyang Sri
Jayanasa, dinobatkan sebagai raja Kerajaan Sriwijaya di Surnatera.
Sang Tarusbawa bukan keturunan dinasti
Warman. Ia dilahirkan di Sunda Sembawa (Sundapura), sebagai raja keturunan
pribumi di kerajaan daerah Sunda Sembawa. Ketika ia naik tahta, mengganti nama
Tarumanagara, menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa tersebut berakibat fatal.
Wilayah timur Tarumanagara, dengan Batas sungai Citarum, memerdekakan diri,
menjadi Kerajaan Galuh, di bawah pemerintahan Sang Prabu Wretikandayun.
Mengingat kejayaan Sang
Purnawarman, tentu kerajaan bawahannya yang ada di wilayah Banten
(Salakanagara, Ujung Kulon, Kosala, dan Rangkas), memegang peranan penting bagi
Tarumanagara.
II.
MASA KERAJAAN SUNDA
Sebagaimana
yang telah diungkapkan pada bagian terdahulu, masa akhir Tarumanagara (tahun
669 Masehi), ditandai dengan adanya pewarisan tahta, dari Sang Linggawarman
kepada menantunya, Sang Tarusbawa. Dengan berbagai akibatnya, Sang Tarusbawa
merubah sebutan Tarumanagaia menjadi Kerajaan Sunda. Dari sejak itulah,
Kerajaan Sunda, seharusnya tampil dalam panggung sejarah.
Walaupun kerajaannya sudah berbagi
kekuasaan dengan Sang Wretikandayun, Sang Tarusbawa masih sempat memberitakan
penobatannya sebagai penerus tahta Tarumanagara, ke berbagai negara sahabat.
Oleh sebab itulah, dalam sumber Cina yang terakhir, menyebutkan "tentang
adanya utusan dan Tarumanagara pada tahun 669 Masehi".
Sang Tarusbawa memiliki pribadi yang
cinta damai. la tidak ingin bersengketa dengan Sang Wretikandayun, walaupun
Kerajaan Sunda belum tentu kalah berperang melawan Kerajaan Galuh. Prinsipnya,
"lebih baik memerintah separuh kerajaan yang tangguh, daripada dipaksakan
memerintah keseluruhan dalam keadaan goyah".
Langkah Sang Tarusbawa berikutnya,
memindahkan ibukota kerajaan, dari Sundapura (Bekasi) ke Pakuan (Bogor). Di
sebuah lemah duwur (ketinggian tanah), Sang Tarusbawa
mendirikan lima buah keraton, yang bentuk maupun besarnya sama dalam posisi
berjajar. Keraton tersebut masing-masing diberi nama: Sri Bima, Punta,
Narayana, Madura, dan Suradipati. Sedangkan dalam naskah Carita
Parahiyangan menyebutnya:
Sri Kadatwan Bima‑Punta –Narayana- Madura- Suradipati. Setelah keraton selesai
dibangun, kemudian diberkati (diprebokta)
oleh Bujangga Sedamanah, di hadapan Sang Maharaja Tarusbawa. Jumlah 5 keraton
tersebut, dalam sastra klasik, sering disebut Panca Persada.
Sang Tarusbawa wafat pada tahun
723 Masehi, dalam usia 91 tahun. Sebagai penggantinya, Sang Sanjaya, sebagai
raja Kerajaan Sunda yang kedua, dengan nama nobat: Maharaja Harisdarma
Bimaparakrama Prabu Maheswara Sarwajitasatru Yudapurnajaya. Setelah 9 tahun
berkuasa, pada tahun 654 Saka (732 Masehi), tahta Kerajaan Sunda dikuasakan
kepada puteranya: Sang Tamperan Barmawijaya.
Pelimpahan kekuasaan kepada puteranya,
disebabkan ia menjadi penguasa di tiga kerajaan di Pulau Jawa (Taraju
Jawadwipa):
1. di
Kerajaan Galuh, ia pewaris tahta dari ayahnya Sang Sena, yang terusir oleh Sang
Purbasora;
2. di
Kerajaan Medang bumi Mataram (Kalingga Utara) Jawa Tengah, ia pewaris tahta
dari ibunya: Sanaha. Dalam Prasasti Canggal, Sanjaya adalah putera sulung dari
perkawinan manu, Sena‑Sanaha;
3. di
Kerajaan Sunda, ia "cucu menantu" Sang Tarusbawa. Sebab, Sang Sanjaya
menikah dengan Sekar Kancana atau Teja Kancana Ayupurnawangi, cucu Sang
Tarusbawa. Seharusnya, yang menjadi pewaris tahta Kerajaan Sunda, adalah
ayahnya Teja Kancana, tetapi ia wafat dalam usia muda.
Setelah
peristiwa kudeta berdarah tahta di Kerajaan Galuh, antara Sang Manarah dengan
Sang Sanjaya, akhirnya ditempuh cara dengan jalan damai. Berdasarkan
"Perjanjian Galuh", yang dipimpin oleh Sang Resiguru Demunawan dari
Kerajaan Saunggalah (Kuningan), akhirnya tahta Kerajaan Sunda, diwariskan
kepada Sang Arya Banga. la diwisuda pada tahun 739 Masehi, sebagai raja ketiga
di Kerajaan Sunda, dengan nama nobat: Prabu Kretabuana Yasawiguna Ajimulya.
Dari pernikahannya dengan Kancana Sari,
Sang Banga mempunyai putera, bernama Rakeyan Medang. Disebut demikian, karena
putera Sang Banga tersebut, pernah berguru di Medang Bumi Mataram (bekas
Kalingga), selama 8 tahun. Raja Medang pada waktu itu adalah Rakeyan
Panangkaran (putera Sang Sanjaya). Rakeyan Medang, menjadi menteri muda di
Kerajaan Sunda selama 3 tahun.
Sang Banga menjadi raja di Kerajaan
Sunda sampai tahun 776 Masehi, kemudian digantikan oleh Rakeyan Medang, dengan
nama nobat Prabhu Hulukujang. Dari permaisurinya, Prabu Hulukujang mempunyai
seorang puteri, kemudian diberi nama Dewi Samatha. Puteri tersebut diperisteri
oleh Rakeyan Hujungkulon. Setelah Prabu Hulukujang wafat, digantikan oleh
menantunya, Rakeyan Hujungkulon, dengan nama nobat Prabu Gilingwesi.
Adik Rakeyan Hujungkulon (Prabu
Gilingwesi) adalah Sang Tariwulan, yang menggantikan kedudukan ayahnya sebagai
raja Kerajaan Galuh, dengan nama nobat Prabu Kretayasa Dewakusaleswara. Raja
Galuh tersebut, memperisteri Dewi Saraswati, puteri Saung Galah keturunan
Resiguru Demunawan.
Setelah prabu Gilingwesi wafat,
digantikan oleh menantunya, Rakeyan Diwus, dengan nama nobat Prabu Pucuk Bumi
Darmeswara, pada tahun 795 Masehi.
Setelah Prabu Pucuk Bumi Darmaweswara
wafat, digantikan oleh puteranya, Rakeyan Wuwus, yang bernama nobat Prabu Gajah
Kulon pada tahun 819 Masehi.
Karena Prabu Linggabumi (raja Galuh)
tidak mempunyai keturunan, ketika ia wafat, tahta Kerajaan Galuh dipercayakan
kepada Prabu Gajah Kulon (raja Kerajaan Sunda). Dengan demikian, kekuasaan di
wilayah Jawa Barat dipegang oleh Prabu Gajah Kulon keturunan Sang Banga, pada
tahun 825 Masehi.
Dari Dewi Kirana, Prabu
Gajah Kulon memperoleh dua orang putera, ialah:
1. Batara
Danghiyang Guruwisuda; dan
2.
Dewi Sawitri.
Sebagai putera laki‑laki, Batara
Danghiyang Guruwisuda, pada tahun 852 Masehi, dipercaya memegang tahta Kerajaan
Galuh. Sedangkan Dewi Sawitri, diperisteri oleh Rakeyan Windusakti, putera Sang
Arya Kedaton dan Dewi Widyasari (adiknya Prabu Gajah Kulon).
Setelah Prabu Gajah Kulon wafat, tahta
Kerajaan Sunda dan Galuh berhasil direbut dan dikuasai oleh Sang Arya Kedaton,
dengan nama nobat Prabu Datmaraksa Salakabuana. Baru empat tahun memerintah,
Prabu Darmaraksa Salakabuana dibunuh, oleh seorang menteri Kerajaan Sunda.
Selanjutnya, tahta kerajaan digantikan oleh puteranya, Rakeyan Windusakti,
dengan nama nobat Prabu Dewageung Jayeng Buana, yang terpaksa naik tahta pada
tahun 895 Masehi.
Dari
perkawinannya dengan Dewi Sawitri, Rakeyan Windusakti (Prabu Dewageung Jayeng
Buana), memperoleh dua orang putera, antara lain:
1. Rakeyan
Kamuning Galling; dan
2.
Rakeyan Jayagiri.
3.
Prabu Dewageung Jayeng Buana wafat pada tahun 913 Masehi, kemudian digantikan
oleh Rakeyan Kamuning Galling, dengan nama nobat Prabu Pucukwesi.
Prabu Pucukwesi memerintah di Kerajaan
Sunda-Galuh hanya 3 tahun, sebab pada tahun 916, tahtanya direbut oleh adiknya
sendiri, Rakeyan Jayagiri, Rakeyan Jayagiri naik tahta, dengan nama nobat Prabu
Wanayasa Jayabuana.
Di pihak lain, ketika peristiwa
perebutan tahta terjadi, tahta Kerajaan Galuh sudah diwariskan kepada Rakeyan
Jayadrata, cucu Batara Danghiyang Guruwisuda dari puteri Dewi Sundara.
Pasukan Kerajaan Sunda, yang
ditempatkan di Kerajaan Galuh oleh Prabu Wanayasa Jayabuana, diperintahkan
untuk merebut keraton Galuh. Akan tetapi, berhasil dikalahkan oleh Rakeyan
Jayadrata bersama pasukan Kerajaan Galuh.
Serangan kedua pasukan Kerajaan
Sunda, yang besar dan lengkap, dikerahkan kemudian, untuk menyerbu Kerajaan
Galuh. Serbuan inipun, dapat ditangkis dan dihancurkan oleh pasukan Kerajaan
Galuh, yang dipimpin langsung oleh Prabu Jayadrata.
Kerajaan Galuh, membebaskan diri
sebagal kerajaan yang merdeka, di bawah naungan Prabu Jayadrata. la adalah
kakak ipar Rakeyan Limbur Kancana. Rakeyan Limbur Kancana, putera Rakeyan
Kamuning Gading (Prabu Pucukwesi), yang dibunuh oleh adiknya, Rakeyan Jayagiri.
Karena Kerajaan Galuh sudah
membebaskan diri (merdeka), Rakeyan Jayagiri atau Prabu Wanayasa Jayabuana,
hanya memerintah di wilayah Kerajaan Sunda, sebelah barat Citarum. Prabu
Wanayasa Jayabuana, berkuasa di kerajaan Sunda sampal tahun 920 Masehi, karena
dibunuh dan digulingkan, oleh Rakeyan Umbur Kancana, atas perintah Prabu
Jayadrata.
Di Kerajaan Galuh, kekuasaan telah
diwariskan kepada Rakeyan Harimurti, putera Prabu Jayadrata yang berkuasa tahun
949 Masehi. Karena Rakeyan Limbur Kancana terhitung pamannya Rakeyan Harimurti,
akhirnya Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda, damai kembali.
Sebagai tindakan balas dendam,
Ketika Prabu Limbur Kancana sedang bertamu di Kerajaan Galuh, dibunuh oleh
seseorang, atas perintah Dewi Ambawati, puteri Rakeyan Jayagiri (Prabu Wanayasa
Jayabuana). Tahta Kerajaan Sunda, beralih ke Rakeyan Watuageng, suanii Dewi
Ambawati, bernama nobat Praburesi Atmayadarma Hariwangsa, naik tahta pada tahun
930 Masehi.
Prabu Limbur Kancana, berputera
dua orang, di antaranya:
1. Rakeyan
Sunda Sembawa; dan
2.
Dewi Somya.
Rakeyan Sunda Sembawa, berhasil merebut
tahta Kerajaan Sunda dari Praburesi Atmayadarma Hariwangsa, kemudian ia naik
tahta, dengan nama nobat: Prabu Munding Ganawirya Tapakmanggala atau Prabu
Medang Gana. Karena semua puteranya meninggal mendahuluinya, ketika Prabu
Munding Ganawirya wafat, ia digantikan oleh Rakeyan Wulung Gadung.
Rakeyan Wulung Gadung adalah suami Dewi
Somya. Dewi Somya, adik ipar Rakeyan Sunda Sembawa, menantu Prabu Limbur
Kancana. Rakeyan Wulung Gadung bertahta di Kerajaan Sunda, dari tahun 973
sampai 989 Masehi.
Prabu Wulung Gadung, ketika wafat,
digantikan oleh puteranya dari Dewi Somya, Rakeyan Gendang, dengan nama nobat
Prabu Brajawisesa.
Putera Prabu Brajawisesa ada dua orang,
di antaranya:
1. Prabu
Dewa Sanghiyang, calon pengganti ayahnya; dan
2.
Dewi Rukmawati, yang dijadikan permaisuri oleh Prabu Linggasakti Jayawiguna,
yang bertahta di Kerajaan Galuh, dari tahun 988 sampal 1012 Masehi.
Pada
tahun 1012 Masehi, Prabu Brajawisesa wafat, digantikan oleh Prabu Dewa
Sanghiyang. Prabu Dewa Sanghiyang, bekuasa atas Kerajaan Galuh dan Kerajaan
Sunda, bergelar Maharaja. Sebagai wakil dirinya di Kerajaan Galuh, mengangkat
keponakannya, Prabu Resiguru Darmasatyadewa, yang berkuasa sampai tahun 1027
Masehi.
Setelah
Maharaja Dewa Sanghiyang wafat, digantikan oleh puteranya, Prabu Sanghiyang
Ageung. la berkuasa atas tahta Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, dan
menyandang gelar Maharaja. Sebagai penguasa di wilayah Kerajaan Galuh,
dipercayakan kepada adik isterinya, yaitu Dewi Sumbadra. Bersama‑lama, keduanya
memerintah, dimulal pada tahun 1019 Masehi.
Sang Maharaja Sanghiyang Ageung wafat
pada tahun 1030 Masehi. Sedangkan Dewi Sumbadra, memerintah di Kerajaan Galuh,
sampai tahun 1065 Masehi.
Setelah Sang Maharaja Sanghiyang Ageung
wafat, penggantinya adalah Sri Jayabhupati, dengan nama lain Prabu Ditya
Maharaja. Gelar panjang Sri Jayabhupati Maharaja: Jayabhupati Jaya Manahen
Wisnumurti Samarawijaya-calakabhuana-mandalecwaranindita Harogowardhana
wikramottunggadewa. Gelar corak Keraton Jawa Timur itu, adalah hadiah
perkawinan dari mertuanya, Sri Dharmawangsa Teguh. Hadiah nama gelar semacam
itu, diterima pula oleh Prabu Airlangga, menantu Sri Darmawangsa Teguh lainnya,
dan digunakan sebagai gelar resmi, setelah Prabu Airlangga menjadi raja.
Sebagai pengganti Sri Jayabhupati,
adalah Sang Darmaraja, dengan nama nobat: Prabu Darmaraja Jayamanahen
Wisnumurtti Sakalasundabuana. Ketika mengawali masa pemerintahannya, terjadi
pemberontakan yang dipimpin oleh Sang Wikramajaya, Panglima Angkatan Laut
Kerajaan Sunda.
Sang Wikramajaya, berusaha merebut
kekuasaan, dari tangan saudara seayahnya. Akan tetapi, pemberontakannya dapat
ditumpas, kemudian ia meloloskan diri ke Kerajaan Sriwijaya. Untuk jabatan
Panglima Angkatan Laut, ditunjuk Sang Wirakusuma, atas jasa kesetiaannya kepada
Maharaja Darmaraja.
Dari pernikahannya dengan Dewi
Surastri, Sang Maharaja Darmaraja beputera beberapa orang, tiga di antaranya
ialah:
1. Prabu
Langlangbumi, putera mahkota calon pengganti ayahnya;
2.
Darmanagara, menjadi Mangkubumi kerajaan; dan
3.
Wirayuda, menjadi Panglima Angkatan Perang.
Salah seorang putera
Sri Jayabhupati dari Dewi Pertiwi, adalah Sang Resiguru Batara Hiyang
Purnawijaya. la berputera beberapa orang, dua di anataranya ialah:
1. Dewi
Puspawati; dan
2.
Dewi Citrawati.
Dewi
Puspawati dipersiteri oleh Prabu Langlangbumi, sedangkan Dewi Citrawati juga
mengharapkan menjadi isteri Prabu Langlangbumi. Oleh karena itu, timbal hasrat
Dewi Citrawati untuk membunuh kakaknya.
Melihat adanya perselisihan di antara
kedua puterinya Sang Purnawijaya segera bertindak, mengawinkan Dewi Citrawati
kepada Resiguru Sudakarenawisesa, penguasa Kerajaan Galunggung. Akan tetapi,
setelah perkawinannya dengan Dewi Citrawati, Sang Resiguru Sudakarenawisesa
menyerahkan tahtanya kepada isterinya. Sang Resiguru Sudakarenawisesa memilih
jalan hidupnya mertdalami keagamaan.
Di pedesaan antara wilayah Galuh,
Sunda, dan Galunggung, tingkat keamanannya menjadi rawan, akibat ulah kawanan
perampok. Kerawanan tersebut menyebabkan perselisihan, antara Prabu
Langlangbumi dengan penguasa Galunggung, yaitu Dewi Citrawati, yang nama
nobatnya Batari Hiyang Janapati.
Selama memegang kekuasaan di
Galunggung, Sang Ratu Batari Hiyang merasa cemas, akan kemungkinan serangan
dari Kerajaan Sunda, karena dendam dirinya kepada Prabu Langlangbumi tak pernah
padam. Untuk mencegah kemungkinan tersebut, Ratu Batari Hiyang, membentuk
angkatan perang, membangun parit pertahanan yang kuat (nyusuk). Kemudian,
Galunggung, dijadikan sebagal ibukota Kerajaan Galuh. Selesai membangun ibukota
yang baru, Sang Ratu Batari Hiyang membuat prasasti, yang kemudian dikenal
sebagai Prasasti Geger Hanjuang.
Sebenarnya, Sang Maharaja Langlangbumi,
tidak ada niat untuk menyerang Kerajaan Galunggung. Akan tetapi, kalau tidak
segera diatasi, akan jadi duri dalam daging. la pun tidak menghendaki,
timbulnya perpecahan, di antara keturunan Sri Jayabhupati.
Tindakan Sang Maharaja Langlangbumi
untuk "menjinakan" Batari Hiyang, dengan cara mengadakan pendekatan,
melalui Batara Hiyang Purnawijaya (ayahnya Batari Hiyang), bersama Panglima
Suryanagara (pamannya Sang Maharaja Langlangbumi). Kemudian ditempuh jalan
damai, yang dihadiri oleh kedua belah pihak. Perundingan jalan damai tersebut
dihadiri oleh: Batara Guru Hiyang Purnawijaya, Senapati Suryanagara, Resiguru
Sudakarena, Dahiyang Guru Darmayasa, Senapati Kusumajaya, Maharaja
Langlangbumi, Mangkubumi Darmanagara, Senapati Wirayuda, Yuwaraja Menak Luhur,
Permaisuri Puspawati, Batari Hiyang Janapati Ratu Galunggung (Dewi Citrawati),
dan beberapa raja dari daerah bawahan Sunda dan Galuh.
Hasil perundingan jalan damai akhirnya
membuahkan kesepakatan, dengan membagi wilayah kekuasaan:
1. Sebelah
barat sebagal Kerajaan Sunda, di bawah kekuasaan Prabu Langlangbumi.
2. Sebelah
timur sebagal Kerajaan Galuh, di bawah kekuasaan Ratu Batari Hiyang Janapati,
dengan ibukotanya di Galunggung.
Dari
pernikahannya Dewi Puspawati, Prabu Langlangbumi berputera beberapa orang, dua
di antaranya:
1. Rakeyan
Jayagiri atau Prabu Menakluhur; dan
2.
Sang Cakranagara, menjadi Mangkubumi.
Prabu Langlangbumi lahir tahun 1038
Masehi, wafat tahun 1155 Masehi. la memerintah di Kerajaan Sunda selama 90 tahun.
Sebagal penggantinya, puteranya, Prabu Menakluhur.
Prabu Menakluhur, memperisteri
Ratna Satya, dan dijadikan permaisuri. Dari perkawinannya, mempunyai seorang
puteri, Ratna Wisesa.
Ratna Wisesa diperisteri oleh
Prabu Darmakusuma, cucu Batari Hiyang Janapati, Ratu Galunggung. Dari
pernikahannya dengan Ratna Wisesa, Prabu Darmakusuma memperoleh putera,
Darmasiksa.
Karena Prabu Menakluhur dan
Mangkubumi Cakranagara wafat pada tahun yang sama, maka kedudukan Raja Sunda,
dipercayakan kepada Prabu Darmakusuma. la bergelar Maharaja, karena berkuasa
atas tiga kerajaan: Galunggung, Galuh dan Sunda.
Sang Darmasiksa, tahun 1175 Masehi,
menggantikan tahta ayahnya, dengan nama nobat: Prabu Guru Darmasiksa Paramarta
Sang Mahapurusa atau Sang Prabu Sanghyang Wisnu. la memerintah Kerajaan Sunda
(termasuk Galuh dan Galunggung), beribukota di Saunggalah (Kuningan). Kemudian,
kedudukan pusat pemerintahan, tahun 1187 Masehi, pindah ke Pakuan (Bogor).
Prabu Darmasiksa mempunyai 3 orang
isteri, yaitu:
1. Puteri
Saungggalah, memperoleh putera: Rajapurana, lahir tahun 1168 Masehi;
2.
Puteri Darmageng, memperoleh putera, di antaranya Ragasuci yang bergelar
Rahiyang Saunggalah;
3.
Puteri Swarnabumi (Sumatera) turunan penguasa Sriwijaya, memperoleh putera,
Rahiyang Jayagiri atau Rahiyang Jayadarma.
Rahiyang
Jayadarma berjodoh dengan Dewi Naramurti, yang bergelar Dyah Lembu Tal,
puterinya Mahisa Campaka, penguasa dari kerajaan di Jawa Timur. Dari
perkawinanrrya dengan Dyah Lembu Tal, Rakeyan Jayadarma memperoleh putera,
Rakeyan Wijaya atau Sang Nararya Sanggramawijaya (Dalam Sejarah Jawa Timur,
Rakeyan Wijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Wijaya).
Rahiyang Jayadarma, tidak sempat
menjadi Raja, disebabkan wafat muda, dalam usia 44 tahun. Oleh karena itu, Dyah
Lembu Tal bersama puteranya (Raden Wijaya), pulang ke Tumapel Jawa Timur.
Setelah dewasa, Rakeyan Wijaya alias
Raden Wijaya, diangkat menjadi Senapati Kerajaan Singhasari. Kelak, ia dikenal
sebagai pendiri Kerajaan Wilwatikta atau Kerajaan Majapahit.
Sang Ragasuci atau Rahiyang Saunggalah,
berjodoh dengan Dara Puspa, adiknya Dara Kencana (isteri Prabu Kretanagara raja
Singhasari).
Dari perkawinannya dengan Dara Puspa,
Rahiyang Saunggalah berputera: Citraganda. Rahiyang Saunggalah, menjadi Raja
Sunda hanya 9 tahun (1297‑1303 Masehi). Karena sebelumnya, Prabu Darmasiksa,
dikaruniai umur panjang, menjadi raja di Kerajaan Sunda, satu seperempat abad
lamanya (1175‑1297 Masehi).
Pengganti Prabu Ragasuci, puteranya,
Prabu Citraganda. Permaisuri Prabu Citraganda, Dewi Antini, adalah puterinya
Prabu Rajapurana. Sedangkan Prabu Rajapurana, adalah putera Prabu Guru
Darmasiksa, dari Puteri Saunggalah.
Prabu Citraganda memerintah di Kerajaan
Sunda (termasuk Galuh dan Galunggung) sampai tahun 1311 Masehi. Pengganti Prabu
Citraganda, puteranya, Prabu Linggadewata. la memegang kekuasaan di Kerajaan
Sunda, sampai tahun 1333 Masehi.
Sebagai pengganti Prabu Citraganda,
adik iparnya, Prabu Ajiguna Linggawisesa. Karena, Prabu Ajiguna Linggawisesa,
menikah dengan adiknya Prabu Citraganda: Ratna Umalestari. Pada masa
pemerintahannya, ibukota Kerajaan Sunda beralih, dari Pakuan (Bogor) ke Kawali
(Ciamis). Dari pernikahannya dengan Uma Lestari, Prabu Ajiguna Linggawisesa
memperoleh putera, di antaranya:
1. Ragamulya
Luhur Prabawa, atau Aki Kolot;
2.
Dewi Kiranasari, diperisteri oleh Prabu Arya Kulon;
3.
Suryadewata, leluhur Kerajaan Talaga (Majalengka).
Prabu
Ajiguna Linggawisesa wafat tahun 1340 Masehi. Kemudian digantikan oleh
puteranya, Prabu Ragamulya Luhur Prabawa, yang memerintah di Kerajaan Sunda
sampai tahun 1350 Masehi.
Prabu
Ragamulya Luhur Prabawa, digantikan oleh puteranya, Prabu Linggabuana, dengan
nama nobat: Prabu Maharaja Linggabuana. la dinobatkan pada tanggal 14 bagian
terang bulan Palguna tahun 1272 Saka (22 Pebruari 1350 Masehi). Dalam
melaksanakan pemerintahan sehari-hari, didampingi oleh adiknya, Sang Bunisora,
yang bergelar Mangkubumi Saradipati.
Dari Sang Permaisuri Dewi Lara Linsing,
Prabu Maharaja Linggabuana memperoleh putera:
1. Dyah
Pitaloka, lahir tahun 1339 Masehi, oleh kakeknya diberi nama Citraresmi;
2.
Putera kedua laki‑laki, meninggal dalam usia 1 tahun;
3.
Putera ketiga laki‑laki, meninggal dalam usia 1 tahun;
4.
Wastu Kancana, lahir tahun 1348 Masehi.
Tibalah
saat yang bahagia, karena Sang Puteri Dyah Pitaloka, menginjak usia 18 tahun,
dan dilamar oleh Bhre Wilwatikta: Prabu Hayam Wuruk.
Sang Prabu Linggabuana Maharaja Sunda,
akan mengadakan pesta perkawinan puterinya di Majapahit. Demikianlah, menurut
keinginan sang Maharaja Majapahit Prabu Hayam Wuruk.
Setiba di sana, puteri mahkota Sunda
itu, ternyata harus diserahkan kepada Bre Prabu Majapahit, sebagai isteri
persembahan (upeti). Sesungguhnya, hal itu amat bertentangan, dengan janji Bre
Majapahit sendiri. Karena itu, Prabu Maharaja Sunda, tidak bersedia menyerahkan
puterinya.
Sesungguhnya, sebelumnya, Bre Prabu
Majapahit sudah menjanjikan, bahwa sang puteri Citraresmi, akan diperisteri
(resmi), dan dijadikan permaisuri. Akan tetapi, janji tersebut tidak
ditepatinya. Bahkan ia, sepertinya ingin menguasai negeri Sunda di Jawa Barat.
Sesungguhnya,
hal itu, hanya ulah dan kehendak Sang Patih Mada. Sang Prabu Hayam Wuruk,
selalu menyetujui keinginan Patihnya. Semua orang mengetahui, bahwa yang
menyakiti hati orang Sunda itu, adalah Sang Patih Mada.
Utusan Sang Prabu Maharaja Sunda,
dengan Sang Patih Gajah Mada, sama‑sama mengeluarkan perkataan yang tidak
layak. Akhirnya, meluaplah hati Sang Patih Mada. la menjadi berang, lalu memerintahkan
laskar Majapahit, siap untuk bertempur.
Semua pasukan Majapahit, mengenakan
pakaian perang dan membawa berbagai macam senjata. Di antara mereka, ada yang
menunggang gajah, ada yang berkuda, ada yang naik kereta, dan beberapa ratus
orang berjalan kaki, dengan persenjataan lengkap.
Sang Prabu Maharaja termenung sejenak,
lalu menundukkan kepala. Hatinya cemas dan ragu‑ragu. Betapapun, tidak mungkin
para kesatria Sunda memenangkan pertempuran, melawan angkatan perang Majapahit
yang sedemikian besar jumlahnya. Namun seandainya mereka kalah dan gugur,
kehormatanlah yang harus dipertaruhkan.
Lalu berkumpullah orang-orang Sunda,
semuanya hanya 98 orang, di Panaggrahan (kemah) tempat Sang Prabu Maharaja.
Mereka bermusyawarah dan sepakat untuk menyongsong musuh. Sang Prabu Maharaja
dan para pengiringnya, tidak sudi dihinakan dan diperintah oleh Raja Majapahit.
Kemudian Sang Prabu Maharaja
Linggabuana berseru kepada semua pengiringnya. Beginilah ujarnya "Walaupun
darah akan mengalir bagaikan sungai di palagan Bubat ini, namun, kehormatanku
dan semua kesatria Sunda, tidak akan membiarkan pengkhianatan terhadap negara
dan rakyatku. Karena itu, janganlah kalian bimbang!"
Kemudian, tibalah pasukan besar
Majapahit, yang dipimpin langsung oleh Sang Patih Mada, sebagai panglima
perang. Pengecut perbuatannya, menyerang raja Sunda bersama pengiringnya, yang
hanya beberapa puluh orang jumlahnya.
Orang
Sunda serempak menyongsong lawan. Pertempuran berlangsung sengit. Namun
akhirnya, semua orang Sunda yang ada di sana gugur, oleh Sang Patih Gajah Mada
bersama pasukannya. Kemudian, Sang Ratna Citraresmi, melakukan mati‑bela (bunuh
diri).
Adapun
para pembesar dan pengiring kerajaan Sunda yang gugur di palagan Bubat, masing‑masing
ialah: Rakeyan Tumenggung Larang Ageng;
Rakeyan Mantri Sohan; Yuwamantri (menteri muda) Gempong Lotong; Sang Panji
Melong Sakti; Ki Panghulu Sura; Rakeyan Mantri Saya; Rakeyan Rangga Kaweni;
Sang Mantri Usus (Bayangkara Sang Prabu); Rakeyan Senapatiyuda Sutrajali;
Rakeyan Juru Siring; Ki Jagat Saya (Patih Mandala Kidul); Sang Mantri Patih
Wirayuda; Rakeyan Nakoda Braja (Panglima Angkatan Laut Sunda); Ki Nakoda Bule
(pemimpin jurumudi kapal perang kerajaan); Ki Juru Wastra; Ki Mantri Sebrang
Keling; Ki Mantri Supit Kelingking. Kemudian Sang Prabu Maharaja Linggabuana
Ratu Sunda, Rajaputri Dyah Pitaloka, bersama semua pengiringnya.
Tetapi
bumi Sunda tidak dikuasai oleh kerajaan Majapahit (tathapyan mangkana
sundhabhumi tan kalindih dening rajya wilwatikta). Mereka tidak menyerang Kerajaan
Sunda. Hasrat mereka menyerang Tatar Sunda tidak kesampaian.
Peristiwa
orang Sunda di Bubat itu (pasunda bubat), usai terjadi sebelum tengah hari.
Semua orang Sunda, yang datang di Bubat, binasa, tidak seorangpun yang tersisa.
Ketika
perang di palagan Bubat berlangsung, yaitu pada hari Selasa Wage tanggal 4
September 1357 Masehi, putra mahkota Sang Niskala Wastu Kancana, baru berusia 9
tahun. Oleh karena itu, pemerintahan Kerajaan Sunda, untuk sementara dipegang
oleh Mangkubumi (Sang Bunisora), dengan nama nobat: Prabu Guru Pangadiparamarta
Jayadewabrata.
Dalam menjalankan pemerintahan, Sang
Bunisora, cenderung sebagai raja pendeta, yang diwarnai suasana religius. Dalam
naskah Carita Parahiyangan, Sang
Bunisora, disebut sebagai Satmata. la dikenal pula dengan gelar Sang Bataraguru
di Jampang.
Menurut naskah Kropak 630, tingkat
batin manusia dalam keagamaan (Sunda) adalah: acara, adigama, gurugama,
tuhagama, satmata, suraloka, dan nirawerah. Satmata adalah tingkatan ke‑5,
merupakan tahap tertinggi, bagi seseorang yang masih ingin mencampuri urusan
duniawi. Setelah mencapai tingkat ke-6 (Suraloka), orang sudah sinis terhadap
kehidupan umum. Pada tingkatan ke‑7 (Nirawerah), padamlah segala hasrat dan
nafsu, seluruh hidupnya pasrah kepada Hiyang Batara Tunggal (Tuhan Yang Esa).
Dari permaisuri Laksmiwati, Sang
Bunisora mempunyai putera, di antaranya;
1.
Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya, kelak menjadi raja daerah di wilayah Cirebon
Girang;
2.
Bratalegawa, kelak memeluk agama Islam dan menjadi haji pertama di Jawa Barat,
sehingga ia terkenal dengan julukan Haji Purwa Galuh;
3.
Banawati, kelak menjadi Ratu di wilayah Galuh; dan
4.
Mayangsari, kelak berjodoh dengan Sang Niskala Wastu Kancana.
Sang
Niskala Wastu Kancana, ketika usianya sudah 20 tahun, memperisteri gadis
pilihannya, Ratna Sarkati yang berusia 19 tahun, puteri Resi Susuk Lampung dari
Sumatera Selatan. Setelah satu tahun, ia memperoleh putera, Sang Haliwungan,
yang lahir pada tahun 1369 Masehi.
Pada
tahun 1371 Masehi, Sang Niskala Wastu Kancana memperisteri Dewi Mayangsari
(usia 17 tahm), puteri bungsu Sang Mangkubumi Bunisora. pada tahun yang sama,
Sang Bunisora wafat, setelah memerintah di Kerajaan Sunda, selama 13 tahun 5
bulan lebih 15 hari.
Sang Niskala Wastu Kancana
menggantikannya, naik tahta pada usia 23 tahun, dengan nama nobat: Mahaprabu
Niskala Wastu Kancana atau Praburesi Buanatunggaldewata.
Tentang masa pemerintahan Mahaprabu
Niskala Wastu Kancana, penulis Carita Parahiyangan memberikan gambaran: "Jangankan
manusia. Apah (air), teja (cahaya), bayu (angin), akasa (langit), serta bu
(eter), merasa betah berada di bawah pemerintahannya".
Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana,
memerintah di Kerajaan Sunda, selama 103 tahun 6 bulan lebih 15 hari (1371‑1475
Masehi). la wafat dalam usia kurang lebih 126 tahun. la masih sempat mendengar,
Majapahit dilanda Perang Paregreg, akibat perebutan tahta di antara keturunan
Prabu Hayam Wuruk, yang terjadi pada tahun 1453 ‑ 1456 Masehi. Akibatnya,
selama 3 tahun, Majapahit tidak mempunyai raja. Di saat Majapahit sedang
dilanda kerusuhan, ia sedang menikmati ketenangan dan kedamaian
pemerintahannya, sambil tak henti‑hentinya bertirakat dan beribadah (brata siya puja tan palum).
Setelah wafat, Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, dipusarakan di Nusalarang.
Selama
masa pemerintahannya, ada dua kejadian penting yang patut dicatat, yaitu
kedatangan angkatan laut Cina, di bawah pimpinan Laksamana Ma Cheng Ho, dan
kedatangan seorang ulama Islam yang kemudian mendirikan pesantren pertama di
Jawa Barat (Danasasmita, 1984: 42).
Penulis Carita Parahiyangan
menganjurkan: "Sugan aya nu dek nurutan inya
twah nu surup ka Nusalarang. Pakeun heubeul jaya dina buana, pakeun nanjeur na
juritan" (Barangkali
ada yang akan mengikuti perilaku dia yang dipusarakan di Nusalarang. Untuk
hidup lama berjaya di dunia, untuk unggul dalam perang).
Ikhwal Kerajaan Sunda
lainnya, tercatat dalam kaol Cina, antara lain sebagai berikut:
Chu‑fan‑chi
adalah buku pertama yang menyebut (negeri) Sunda dan pelabuhannya. Menurut Chau
ju‑kua, Sunda pada waktu itu takluk pada Sriwijaya atau San-fo‑tsi
(Heuken,1999: 24).
Berita
tentang Sunda yang dicatat Chau ju‑kua (1225 Masehi), sesungguhnya kutipan dari
catatan Chou Ku‑fei (1178 Masehi), dalarn naskah berita Ling wai‑tai‑ta. Ketika
Chou Ku‑fei mencatatnva, ataupun ketika Chau-Ju‑kua mengutipnya, yang menjadi
penguasa di Kerajaan Sunda adalah: Prabu Guru Darmasiksa Paramarta Sang
Mahapurusa atau Sang Prabu Sanghyang Wisnu (1175‑1297 Masehi). Hanya saja, ketika
Chou Ku‑fei mencatat tentang Sunda, pusat pemerintahan Kerajaan Sunda masih di
Saunggalah (Kuningan). Sedangkan ketika Chau ju‑kua mengutipnya, pusat
pemerintahan Kerajaan Sunda sudah beralih ke Pakuan (Bogor).
Chau Ju‑kua membubuhkan komentar dalam beritanya,
bahwa "Sunda pada waktu itu takluk pada Sriwijaya atau San‑fo‑tsi".
Rupa‑rupanya, catatan Chau ju‑kua itulah, yang sering menjadi sumber dugaan,
"bahwa Sunda pernah ditaklukan Sriwijaya", sebagaimana yang
dikemukakan Bosch ketika membahas Prasasti Kebonkopi II.
Lain halnya dengan catatan Pangeran
Wangsakerta, dalam pustakanya mengemukakan adanya kekerabatan Kerajaan Sunda
dengan Kerajaan Sriwijaya. Salahsatu catatannya mengemukakan, bahwa salah
seorang isteri Prabu Guru Darmasiksa Maharaja Sunda, yaitu Dewi Suprabha
Wijayatunggadewi, merupakan keturunan Raja Sriwijaya
Sanggaramawijayatunggawarman (1018‑1027 Masehi).
Catatan Pangeran Wangsakerta lainnya,
mengemukakan terjadinya peristiwa pertempuran armada laut Kerajaan Kadiri
dengan armada laut Kerajaan Sriwijaya, yang berlangsung seru di perairan
Kerajaan Sunda sebelah barat (perairan Banten). Pertempuran tersebut, diakhiri
oleh kedua belah pihak, setelah masing masing mengundurkan diri. Kedua-duanya
menderita kerusakan berat, tanpa diketahui, siapa yang menang dan siapa yang
kalah.
Dalam masa
"gencatan senjata", Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Kadiri, masing‑masing
mengirimkan utusan ke negeri Cina, meminta bantuan dan perlindungan.
Kaisar (Raja) Cina membalas kedua surat
tersebut, dengan isi yang sama, antara lain:
1.
Kedua pihak harus mengakhiri permusuhan dan menempuh jalan damai;
2.
Tempat perdamaian ditentukan di Sundapura (Sunda Sembawa, bekas ibukota
Tarumanagara); dan
3.
Perdamaian dipimpin oleh Duta Cina, serta disaksikan utusan negara sahabat dari
kedua pihak yang bersengketa, termasuk saksi tuan rumah: Prabu Guru Darmasiksa
Maharaja Sunda.
Upaya penyelesaian
jalan damai, berlangsung di Sundapura (Bekasi) pada tahun 1182 Masehi, dengan
hasil persetujuan yang disepakati bersama, bahwa "Sriwijaya dan Kadiri,
masing-masing hanya boleh bergerak di kawasan sebelah barat dan timur wilayah
Nitsantara".
Kemudian Kerajaan Sunda serta kaitannya
dengan Banten, dibahas pula oleh para akhli, antara lain sebagai berikut:
Banten dinamakan Sunda selama empat
abad berturut‑turut, baik oleh orang Cina (misalnya dalam teks Chan Ju‑kua dan
dalam Sunfeng xiansong, yang menyebut Banten sebagai "wan‑tan" dan
"shun‑t'a") maupun oleh orang Arab pada awal abad ke‑16 (misalnya Ibn
Majid dan Sulaiman) (Guillot,1996:119).
"Banten
dinamakan Sunda", demikian ungkap Guillot, Kalau diberi makna yang lebih
jembar (luas), Banten adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Sunda. Dalam catatan kaki, Guillot memberikan petunjuk: Hendaknya
digarisbawahi bahwa dalam naskah inilah nama tempat "Banten" (wan‑tan),
muncul untuk pertama kali dalam sumber tulisan, apapun bahasanya(Guillot,1996:119).
Catatan Cina lainnya memberitakan
tentang Kerajaan Sunda dan Bantennya, antara lain sebagai berikut:
Dalam perjalanan
ini dari Shun‑t'a ke timur sepanjang pantai utara Jawa, kapal‑kapal menuju arah
97,5 derajat selama tiga penjagaan untuk sampai ke gunung Chia‑lie‑pa (=
kalapa); lalu mereka menyusuri pantai (lewat Tanjung Indramayu), dan menuju arah
187,5 derajat selama empat penjagaan sampal tiba di Che‑li‑wen (Cirebon).
Kapal‑kapal dari
Wan‑tan (Banten) menuju arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melalui Chia‑liu‑pa
(Kelapa), Tanjung Chiao‑ch'iang‑wan (Tanjung Indramayu) dan Che‑li‑wen (Cirebon)
(Heuken,1999: 107).
Cina mencatat
pelabuhan‑pelabuhan besar dan penting yang ada di Kerajaan Sunda: Wan‑tan
(Banten); Chia‑lie‑pa (Kalapa, Jakarta), Tanjung Chio‑ch'iang‑wan (Tanjung
Indramayu) dan Che‑li‑wen (Cirebon). Pelabuhan Banten dimaksud, dibahas pula
oleh Heuken, antara lain sebagal berikut:
Chu‑fan-chi adalah buku
perlama yang menyebut (negeri) Sunda dan pelabuhannya. Menurut Chau Ju‑kua,
Sunda pada waktu itu takluk pada Sriwijaya atau San‑fo‑tsi. Pelabuhan yang
dimaksud oleh Chau Ju‑kua itu menurut Rouffaer (1921) mungkin merupakan kampung
Kapalembangan di Banten (Heuken,1999: 24).
Kapalembangan
diinaksud, boleh,jadi sama dengan catatan Portugis, yang tercantum dalam peta
tahun ± 1540 Masehi (kini tersimpan dalam herzog August Bibliothek di
Wolfenbuttel, Jerman), atas dua nama Palambam dan Palibam di wilayah pesisir
barat Banten.
CATALAN PARA AKHLI
Kajian para akhli
tentang Banten Girang, telah sering dilakukan, terutama melalui penelitian
arkeologi. Akan tetapi, jalan untuk menuju ke Banten Girang, belum menemui
titik terang, masih dilanda kegelapan. Claude Guillot, Lukman Nurhakim, dan
Sonny Wibisono, telah berupaya mengungkapkan hasil penelitiannya melalui buku Banten
Sebelurn Zarnan Islam; Kajian Arkeologi di Banten Girang 932? ‑ 1526 (Penerbit Bentang, 1996). Sangat
menarik, penampilan angka tahun dalam judul buku tersebut, yaitu 932 yang
dibubuhi tanda tanya (?). Artinya, angka tahun tersebut, oleh Claude Guillot
dan kawan‑kawan, masih diragukan atau perlu diteliti lebih lanjut^
Claude Guillot dan
kawan‑kawan menampilkan angka tahun 932?, berdasarkan hasil kajian epigrafi
Bosch, antara lain sebagal berikut:
Sebuah prasasti
berbahasa Melayu Kuno yang ditemukan di Kebonkopi, yaitu prasasti II (dinamakan
demikian untuk membedakannya dengan prasasti dari tempat yang sama yang berasal
dari masa Kerjaan Taruma) memberitahukan "pemulihan kembali Raja
Sunda" (barpulihkan haji Sunda). Prasasti tersebut telah dipelajari dan
diterbitkan oleh Bosch, yang menafsirkan tahunnya berdasarkan sebuah candrasangkala,
yaitu 932 M (854 S) (Guillot,1996:111).
Dari prasasti Kebonkopi
II hasil kajian Bosch itulah, angka tahun (titimangsa) Banten Girang dijadikan
patokan. Pembuktian arkeologi ditampilkan, sekaligus merupakan daya dukung,
untuk memperkuat suatu anggapan.
Di
satu pihak tampak dari analisis benda‑benda temuan, bahwa Banten Girang
didirikan pada abad ke‑10, sedangkan candi yang terletak di G. Pulasari,
melihat arca‑arcanya, dapat ditentukan masa pembangunannya pada paro pertama
abad yang sama. Artinya kedua peristiwa tersebut sezaman dengan prasasti
Kebonkopi II yang memberitahukan berdirinya sebuah kerajaan di daerah itu
(Guillot,1996: 111).
Untuk lebih jelasnya,
mengenai prasasti Kebonkopi II, pernah dibahas oleh Atja dan Edi S. Ekadjati
dalam Carita Parahiyangan, Karya
Tim Pimpinan Pangeran Wangsakerta (1989),
antara lain sebagai berikut:
Batutulis
ini berbahasa Melayu Kuno, ditemukan di tepi sawah di desa Kebon Kopi, distrik
Leuwiliang, Bogor. Batutulis ini kini telah hilang. Bosch (1941) mempelajarinya
melalui sebuah foto, yang dimuat dalam Iaporan Kepurbakalaan (O.V 1923, halaman
18, no. 6888).
Prasasti itu dipahatkan
pada permukaan sebongkah batu, yang bentuknya tidak beraturan, terdiri atas 4
baris huruf, bunyinya demikian:
// ini sabdakalanda
rakryan juru panga
mbat i kawihaji panca
pasagi marsa
ndeca barpulihkan haji
sun‑
nda//
Sebelum
memberi tetjemahan, terlebih dahulu Bosch mengemukakan catatan, antara lain
sebagai berikut: sabdakalanda, adalah kata majemuk tatpurusa; sabda, bunyi,
kata, perintah; kala untuk cakakala atau sakakala, saat yang pantas
diperingati, sesuatu untuk diperingati; akhiran nda menunjukkan prefix
honorifix orang ketiga yang demikian ditemukan pula pada prasasti Talang Tuwo:
pranidhananda dan pada prasasti Gandasuli: namanda dan aya‑nda; pangambat,
dengan didahului gelar rakryan juru menunjukkan, bahwa ia seorang pembesar
istana.
Candrasangkala:
kawiraja, sepadan dengan bujangga, bernilai angka 8; panca = 5, dan pasagi,
bujur sangkar, bernilai angka 4. Tetapi berlainan dengan candrasangkala yang
lazim, Bosch menetapkan tidak dibaca dari belakang ke muka (458), karena
mengingat bentuk hurufnya terlalu muda, maka Bosch menetapkan dengan tidak ragu‑ragu,
bacaan yang benar adalah 854 Saka, tetapi biarpun demikian Bosch membuat
kekeliruan, ia menuliskan tahun 942 Masehi, padahal seharusnya 932 Masehi,
sebagaimana juga dikemukakan oleh Satyawati Suleiman (1985).
Setelah memperhatikan
terjemahan yang dikerjakan oleh Bosch, maka terjemahan dalam bahasa Indonesia
demikian:
Ini tanda peringatan
dari Rakyran Juru Pengambat, pada tahun 854 Saka (932 Masehi) menetapkan, bahwa
Raja Sunda dikembalikan kepada kedudukannya yang dahulu.
Bunyi prasasti,
dianggap oleh Bosch berisi surat perintah dalam bahasa Melayu‑Kuna, karena itu
ia mengajukan dugaan, bahwa Sunda pada awal abad ke‑10 Masehi, secara kultural
dan juga rupa‑rupanya dari segi politik tunduk kepada kekuasaan kerajaan
Sumatera, Sriwijaya (Atja & Ekadjati,1989:186‑187).
Timbulnya perbedaan
anggapan, diakibatkan oleh kekisruhan dalam menafsirkan Candrasangkala,
"Kawihaji Panca Pasagi" pada Prasasti Kebonkopi II.
1. Bosch
menampilkan angka tahun 854 Saka atau 942 Masehi;
2.
Satyawati Suleiman, menampilkan angka tahun 932 Masehi; dan
3. Guillot
menampilkan angka tahun 932?. Menurut pengakuannya, angka tahun tersebut
didapat dari tafsiran Bosch.
Sebagaimana lajimnya
pembacaan candrasangkala, seharusnya dibaca dan diterjemahkan dari belakang.
Sehingga kawihaji panca pasagi (854), menjadi tahun 458 Saka atau 536 Masehi.
Tradisi tersebut masih digunakan dalam naskah‑naskah Sunda Kuna, yang usianya
lebih muda dari prasasti Kebon Kopi II. Sebagaimana yang terdapat dalam naskah Sanghyang
Siksakandang Karesian, Carita Parahiyangan amanit dari Galunggung, Sewaka Darma.
Peristiwa sejarah, yang
ada hubungannya dengan angka tahun 458 Saka atau 536 Masehi, dapat diteliti
melalui naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadvripa,
parwa I sarga 3, halaman 13‑14, antara lain sebagai berikut:
.. // hang pnua sang
maharaja candraxuarman makaruck pirang silo / patang silo pantura ring/
prathama sang suryaxuarman ngaran nira/ ikang uehersatu‑luynrc sang
candrawarman angenwsi / sira gumantyaken ayayah nira dumadi raja tarumanagara /
laumsnya nemlikur umrca / tambaya ning madeg raja yatiku / ing patangatus
limang puluh situ / ikang cakakala / tka ring patangatus unualung puluh telu /
ikang cakaka!a / rasika lawan namacidam sang mahaburusa bhimaparakrama
hariwangca digufijayeng 6huuxcna // putm ping sang candrawarman ikang duritya
ya to sang mahisawarnucn nganzn nira dumadi rajyamatya tarumanagrtara / mruang
tritiya sang matsyawarman ngaran nira / dumadi senapati saruxcjala muxcng
caturduc stri ya to deuri bayusari ngamn ira / pinakstri den ing sang
yuunuaraja sakeng rajya pali//
Terjemahannya:
Adapun Sang Maharaja
Candrawarman mempunyai anak beberapa orang. Empat orang di antaranya: pertama
Sang Suryawarman namanya, yang kelak menggantikan ayahanda Sang Candrawarman
sebagai Raja Tarumanagara. la memerintah lamanya 26 tahun, yaitu dari 457 Saka sampai
483 Saka (535 ‑ 561 Masehi), dengan gelar abiseka Sang Mahapurusa
Bhimaparakrama Hariwangsa Digwijayeng Bhuwana.
Putera yang kedua,
Mahisawarman namanya, yang menjadi Menteri Tarumanagara. Yang ketiga, Sang
Matsyawarman namanya, yang menjadi Panglima pasukan laut (senapati sarwajala).
Yang keempat perempuan, yaitu Dewi Bayusari namanya la diperisteri oleh putera
mahkota (yuwaraja) Kerajaan Pali.
Pada
prasasti Kebonkopi II, tertulis pula kalimat "barpulihkan haji sunda", yang terjemahan lainnya antara
lain: "pengembalian kekuasaan kepada Raja Sunda". Dalam naskah
Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwtpa parwa I sarga 3 halaman 79, ikhwal
"Sunda" dijelaskan, antara lain sebagai berikut:
.... / telus karuhun
uncs hang ngaran desya sunda / tatha pi ri sawaka ping rajya taruma// tekwan
ringusana kangken ngaran kithcc sundapara//
Terjemahannya:
Sesungguhnya dahulu
telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan kerajaan Taruma. Pada masa
lalu diberi nama Sundapura (Kota Sunda).
Dalam
prarasti tembaga dari Kabantenan (abad 15 Masehi), daerah Sunda dimaksud adalah
Sunda Sembawa (= Sunda asal atau Sunda wiwitan), tempat lahir Sang Tarusbawa.
Dengan demikian, "Barpulihkan Haji
Sunda" atau "Pengembalian kekuasaan kepada Raja Sunda", tentunya
dilakukan oleh Sri Maharaja Suryawarman, setahun setelah dinobatkan (535
Masehi) menjadi penguasa ketujuh Tarumanagara.
Upacara "barpulihkan"
dilakukan di Pasir Muara (Cibungbulang), tidak jauh dari Prasasti Kebonkopi I
"telapak kaki gajah" tunggangan Sri Maharaja Purnawarman. Dipilihnya
lokasi Pasir Muara, tentu ada nilai‑nilai sakral, sebagai kelanjutan spiritual
raja pendahulunya.
Kemudian,
digunakannya bahasa Melayu‑Kuna pada Prasasti Kebonkopi II, tidak berarti Sunda
"pernah tunduk" kepada Sriwijaya, seperti dugaan Bosch, "bahwa
Sunda pada awal abad ke‑10 Masehi, secara kultural dan juga rupa‑rupanya dari
segi politik, tunduk kepada kekuasaan kerajaan Sumatera, Sriwijaya". Akan
tetapi, lebih disebabkan oleh adanya kekerabatan, antara Raja Tarumanagara
dengan Raja Kerajaan Pali. Mengingat "Putra Mahkota Raja Pali" (yang
mungkin sudah menjadi "Raja Kerajaan Pali") adalah adik ipar Sri
Maharaja Suryawarman, menghadiri upacara "Barpulihkan", dalam posisi
terhormat sebagai "Rakryan Juru Pangambat".
catatan, menurut Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa
I sarga 3, dalam tahun 422 Saka atau tahun 500 Masehi, Kerajaan Pali terletak
di pulau Sumatera bagian tengah dan utara. Sedangkan Sriwijaya, pada tahun 536
Masehi, masih merupakan kerajaan kecil di Palembang, di bawah kekuasaan
kerajaan Melayu Sribuja. Barulah pada tahun 598 Saka (676 Masehi), Kerajaan
Sriwijaya menaklukkan Kerajaan Pali, dan keluarga keraton Kerajaan Pali
mengungsi ke pulau Bali. Kerajaan Sriwijaya, berhasil menguasai seluruh wilayah
Pulau Sumatera dan Mahasin (Singapura), menjadi kerajaan besar pada tahun 669
Masehi, di bawah pemerintahan Dapunta Hiyang Sri Jayanasa.
Sebagai
bukti tidak pernah "tunduknya Kerajaan Sunda kepada Kerajaan
Sriwijaya", ada baiknya kembali kepada naskah Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantana, parwa 11 sarga 3, halaman 176, yang
meriwayatkan kekerabatan Kerajaan Sunda dengan Sriwijaya, antara lain sebagai
berikut:
.... // lawan rajya
sunda / rajya criwijaya wus magaway samaya karwanya tan silih anduni nagara
nira sawang sawang/ mwang atuntunan tangan ing pamitra nira//matangyan duta
criwijaya haneng rajya sunda / mruang duta sunda haneng rajya criwija‑ya// ....
Terjemahannya:
Dengan kerajaan Sunda,
kerajaan Sriwijaya, telah melakukan perjanjian bersama, untuk tidak saling
menyerang negara masing‑masing, dengan menjalin persahabatan, menempatkan Duta
Sriwijaya di kerajaan Sunda, juga Duta Sunda di kerajaan Sriwijaya.
Pada
tahun 669 Masehi, Sri Maharaja Linggawarman, raja keduabelas Tarumanagara,
mengakhiri kekuasaannya. Sebagai pengganti, Sang Tarusbawa, menantu Sri
Maharaja Linggawarman, yang menikah dengan Dewi Manasih. Adik Dewi Manasih,
yaitu Dewi Sobakancana, diperisteri oleh Dapunta Hiyang Sri Jayanasa, raja
Sriwijaya.
Berakhirnya
pemerintahan Sri Maharaja Linggawarman, menandai pula berakhirnya kekuasaan
Dinasti Warman di Tarumanagara, karena nama kerajaan tersebut, oleh Sri
Maharaja Tarusbawa, diganti sebutannya menjadi Kerajaan Sunda. Pergantian nama
kerajaan, disebabkan, Sang Tarusbawa merasa perlu mengabadikan tempat
kelahirannya, Sunda Sembawa (Bekasi). Guillot berupaya mencari jejak kebesaran
Hinduisme di Banten Girang, tapi yang ditemukannya Sanghiyang Dengdek, yang
tidak dapat dijadikan tiang penyangga hasil penelitiannya. Kekecewaan Guillot,
terungkap dalam tulisannya:
Sulit
dibayangkan bahwa negeri yang terbuka ke dunia luar, seperti Banten Girang,
dapat puas dengan gaya primitif dan "kampungan" dari area menhir itu
(Guillot, 1996:100).
Dengan demikian Banten
Girang yang ditelusuri oleh Claude Guilot, semakin samar untuk ditemukan.
Kehadiran Salakanagara, Tarumanagara, Kerajaan Sunda, dan Kerajaan Sunda
Pajajaran di atas pentas sejarah, tidak ia hiraukan.
III. KERAJAAN SUNDA PAJAJARAN
A.
POLITIK DAN KONFLIK
Claude
Guillot dan kawan‑kawan, dalam buku Banten Sebelum Zaman Islam; Kajian
Arkeologi di Banten Girang 932?‑1526, mengemukakan kesannya tentang
temuan "Banten Girang", antara
lain sebagai berikut:
Patut diperhatikan pula bahwa garis besar haluan Banten dalam
hal politik luar negeri mendapat sorotan baru dari sejarah Banten Girang.
Banten memberi kesan seolah‑olah membalas dendam atas nama Banten Girang.
Ibukota Pajajaran misalnya, yang pernah menaklukan Banten Girang, diserang dan
direbut oleh Banten pada pertengahan abad ke‑16 (Guillot,1996:137).
Kesan
Guillot memang "patut diperhatikan", bahkan kesan tersebut harus
dicermati. Seringnya digunakan sebutan Pajajaran, yang diperankan sebagai
"musuh Banten", tentu harus ada penjelasan yang lebih memadai.
Persoalan yang muncul, "Benarkah serangan Banten ke ibukota Pajajaran itu,
merupakan tindakan balas dendam, akibat pernah ditaklukannya Banten
Girang?"
Pada
bagian terdahulu sudah dijelaskan, bahwa Banten atau WanTan (dalam lafal berita
Cina), tidak berdiri sendiri. Banten merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Pulasari, Salakanagara, Tarumanagara dan Kerajaan Sunda. Banten di masa
silam, dengan segala perkembangan kehidupannya, tetap setia mengikuti alur
waktu, menelusuri kurun zaman.
Untuk
diketahui secara objektif, sebagai pembanding, akan ditampilkan naskah‑naskah
kuna hasil kajian filologi, di antaranya: Kropak 406 Carita
Parahiyangan; Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 2; Pustaka
Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa
I sarga 3; dan Pustaka Nagarakretabhumiparwa
I sarga 5. Berdasarkan naskah‑naskah kuna tersebut, dirangkum dalam satu
bahasan berkesinambungan, yang alur riwayatnya adalah sebagai berikut:
Sepeninggal
Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana (1475 Masehi), kawasan bekas Tarumanagara,
kembali terbagi dua, di antara dua putera mahkota pewaris Kerajaan Sunda. Sang
Haliwungan, putera sulung dari Dewi Sarkati (puterinya Susuk Lampung, Sumatera
Selatan), diwarisi wilayah barat dengan batas sungai Citarum, dengan nama yang
tetap sama: Kerajaan Sunda. Sang Haliwungan menjadi penguasa Kerajaan Sunda,
dengan nama nobat Prabu Susuktunggal, dengan pusat pemerintahannya di kota
Pakuan (Bogor). Sebelumnya, dari sejak tahun 1382 Masehi, Sang Haliwungan
sempat dipercaya oleh ayahnya, menjadi Prabu Anom (Rajamuda atau Yuwaraja),
sebagal pemegang tahta perwalian Kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan.
Dalam
Kropak 406 Carita Parahiyangan, tokoh Sang Haliwungan tertulis : inya sang
susuktunggal nu munar na pakwan reujeung sanghi‑ yang haluwesi, nu nyaeuran
sanghiyang rancamaya. Dialah Sang Susuk tunggal yang merenovasi (memperindah)
kota Pakuan, dan memperteguh dua tempat suci: Sanghiyang Haluwesi dan
Sanghiyang Rancamaya. Mengenai tempat suci Sanghiyang Rancamaya, yang terletak
di bukit Badigul (Bogor), sempat menjadi "sengketa " yang menghebohkan.
Kini Sanghiyang Rancamaya dan bukit Badigulnya, tempat diperabukannya Raja-raja
Sunda, sirna tanpa bekas, sudah berubah menjadi perumahan mewah Rancamaya.
Selanjutnya,
sang Susuktunggal inyana nu nyieun palangka sriman sriwacana; nu mikadatwan sri
bima‑ punta‑ narayana‑madura‑suradipati. Sang Susuktunggal yang membuat
singasana Sriman Sriwacana dan tinggal di keraton Sri Bima‑Punta‑Narayana‑Madura‑Suradipati.
Lokasi bekas keraton tersebut, kini sudah menjadi bangunan permanen, berupa
villa warisan almarhum Bung Karno (Presiden RI pertama), dengan nama: Ing Puri
Bima Sakti.
Kawekasan
sang susuktunggal pawwatanna lemah suksi lemah hadi, mangka premana raja utama,
lawasnya ratu saratus tahun. Peninggalan warisan Sang Susuktunggal, adalah
tanah yang suci dan tanah baik (subur), sebagai tanda keutamaan raja. Lamanya
menjadi raja 100 tahun (1382‑1482 Masehi).
Kemudian
Sang Ningrat Kancana, putera sulung Dewi Mayangsari (puterinya Mangkubumi
Bunisora Suradipati), diwarisi wilayah timur dengan batas sungal Citarum, dengan
nama Kerajaan Galuh. Sang Ningrat Kancana menjadi penguasa Kerajaan Galuh,
dengan nama nobat Prabu Dewa Niskala,dengan pusat pemerintahannya di kota
Kawali(Ciamis).
Dalam
Kropak 406 Carita Parahiyangan, tokoh Sang Ningrat Kancana, tercatat sebagai
pengganti Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana. la adalah tohaan di galuh, inya
nu surup di guna tiga, lawasnya ratu tujuh tahun, kena salah twah, bogoh ka
estri larangan ti kaluaran. Yang
di pertuan di Galuh. Dia yang dipusarakan di Guna Tiga. Lamanya menjadi raja
hanya 7 tahun (1475‑1482 Masehi). Akibat salah perilaku, memperisteri perempuan
terlarang dari luar..
Adapun
yang menjadi latar belakang peristiwa, hingga Prabu Dewa Niskala memperisteri estri
larangan ti kaluaran, adalah akibat terjadinya perubahan politik di
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dalam
tahun 1473 Masehi, Raden Patah dihadiahi tanah di Demak oleh ayahnya, Prabu
Kertabumi atau Brawijaya V. Ibu kandung Raden Patah adalah Siu Ban Ci, puteri
Syekh Bentong (Tan Go Hwat), seorang ulama Cina mazhab Hanafi murid Sunan
Ampel.
Siu Ban Ci mengembara
ke Palembang, akibat perceraian dengan suaminya, Prabu Kertabumi. Di Palembang,
Siu Ban Ci diperisteri oleh Arya Damar, seorang Bupati Majapahit yang
ditempatkan di Palembang. Dari ibunya, Raden Patah mendapat nama Jin Bun, dari
ayah tirinya (Arya Damar alias Arya Dillah), diberi nama Raden Praba. Sedangkan
nama Patah (Al Fatah), diterima kemudian dari Sunan Ampel, sebagal guru dan
juga mertuanya.
Sunan
Ampel sendiri, adalah kemenakan Ratu Darwati, salah seorang isteri Prabu
Kertabumi. Sunan Ampel yang bernama Ali Rakhmatullah, untuk kepentingan membuka
pesantren, atas permohonan Ratu Darawati, dihadiahi tanah Ampel Denta oleh Raja
Majapahit. Karena Demak berkembang menjadi kota yang ramai, maka dalam tahun
14'75 Masehi, daerah itu dijadikan kadipaten (kadipatian). Kemudian, Raden
Patah, oleh ayahnya dijadikan Adipati Demak bawahan Majapahit.
Tiga tahun kemudian,
Raden Patah mengerahkan pasukan Demak. menggempur Majapahit. Prabu Kertabumi
beserta keluarga keraton Majapahit, meninggalkan ibukota, cerai-berai mengungsi
ke berbagai jurusan. Prabu Kertabumi akhirnya tewas di daerah Bukit Sawar,
mengakhiri kekuasaan ayahnya. Sebutan Majapahait dirubahnya menjadi Demak, dan
Raden Patah menjadi Sultan yang pertama dengan nama nobat Sultan Alam Akbar AI
Fatah.
Uniknya,
peristiwa tragis yang terjadi di Majapahit itu, ada kemiripan dengan kisah
proses awal penyebaran Islam Tatar Sunda. Kisah anak ingin mengislamkan
ayahnya, hingga memerangi kerajaan ayahnya, hidup dalam dongeng babad: Prabu
Kian Santang.
Kerajaan
Majapaliit tidak runtuh, karena masih berdiri di bawah Prabu Girindrawardana
(Brawijaya VI), dengan ibukota di Keling. Baru kemudian, dalam masa
pemerintahan Prabu Udara (Brawijaya VII), Demak berhasil menghancur‑leburkan
Majapahit (1517 Masehi). Menurut versi lain, serangan ke Majapahit tahun 1478
Masehi, yang menyudahi kekuasan Kertabumi, dilakukan oleh Girindrawardana.
Dari
Wandan Bondri Cemara, Prabu Kertabumi mempuNyai anak laki‑laki, diberi nama
Raden Bondan Kejawan. Dialah pernimpin rombongan pengungsi Majapahit ke Jawa
Tengah. Di sana, Raden Bondan Kejawan menikah dengan Dewi Nawangwulan, yang
lebih terkenal dengan nama Nyai Lara Kidul. Dewi Nawangwulan adalah Ratu
Mataram yang menganut agama Bhudagotama. Dari pernikahannya, memperoleh seorang
puteri, kemudian diberi nama Nyai Mas Ratu Angin‑angin. Kelak, Nyai Mas Ratu
Angin‑angin diperisteri oleh Sutawijaya, yang mendirikan Mataram Islam. Nyai
Mas Ratu Angin‑angin adalah penganut setia agama Budhagotama. Oleh karena itu,
ia tersamar dalarn cerita rakyat, dan lebih dikenal dengan sebutan Nyai Roro
Kidul (Ratu Pantal Selatan).
Di
antara keluarga keraton Majapahit yang mengungsi, ada juga yang sampai ke
Kawali, ibukota Kerajaan Galuh. Rombongan ini dipimpin oleh Raden Baribin,
saudara seayah Prabu Kertabumi. Raden Baribin, adalah putera Prabu
Sengawikramawardana (Brawijaya IV) dari Endang Sasmitapura. Rombongan
pengungsiannya, diterima dengan tangan terbuka, oleh Prabu Dewa Niskala
penguasa Kerajaan Galuh.
Kemudian,
Raden Baribin dijodohkan dengan puterinya Prabu Dewa Niskala, Puteri Ratna Ayu
Kirana. Puteri ini adalah adik Banyakcatra (Kamandaka) Bupati Galuh di Pasir
Luhur, yang juga adik Banyakngampar Bupati Galuh di Dayeuh Luhur. Ketiga‑tiganya
adalah putera Prabu Dewa Niskala dari isterinya yang lain.
Selaln
itu, Prabu Dewa Niskala memperisteri salah seorang wanita pengungsi, yang sudah
bertunangan. Dalam pengungsian, wanita itu terpisah dari tunangannya. Menurut
hukum waktu itu, baik di Kerajaan Majapahit maupun di Kerajaan Sunda (termasuk
Kerajaan Galuh), seorang gadis yang telah bertunangan (rara hulanjar), tidak
boleh menikah dengan laki‑laki lain, kecuali jika tunangannya meninggal atau
membatalkan pertunangan.
Dalam
hal ini, ratu Galuh Prabu Dewa Niskala telah melanggar dua buah pantangan (purbatisti‑purbajati Sunda):
1. Prabu
Dewa Niskala, telah menjodohkan puterinya., dengan Raden Baribin, keluarga
keraton Majapahit.
2. Prabu
Dewa Niskala, memperisteri seorang estri larangan (rara hulanjar).
Oleh karena itu,
Prabu Dewa Niskala, telah dianggap melanggar dua macam tabu (pantangan)
keraton. Dari sejak peristiwa tragedi palagan Bubat (1357 Masehi), keluarga
keraton Kawali, tabu berjodoh dengan keluarga keraton Majapahit.
Prabu
Susuktunggal, penguasa Kerajaan Sunda, yang juga sebagai kakak seayah Prabu
Dewa Niskala, sangat marah. Dalam tindakan terhadap ulah adiknya, ia memutuskan
hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Galuh. Tentu saja, konflik kedua pemimpin
negara, mengguncangkan rakyat Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda. Konflik
berkembang rnenjadi permusuhan. Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, sama-sama
mengerahkan pasukannya, ditempatkan di daerah perbatasan tepi barat dan timur
sungai Citarum.
Untuk
menyelamatkan keadaan, para Pembesar dari kedua kerajaan yang bermusuhan,
mengadakan gotrasawala (musyawarah kekeluargaan), di wilyah
netral, yang diduga di Kerajaan Batulayang (Kabupaten Bandung). Hasil
musyawarah disepakati oleh kedua belah pihak, dan memutuskan, bahwa:
1. Prabu
Dewa Niskala harus turun dari tahta Kerajaan Galuh;
2. Begitu
pula Prabu Susuktungggal, harus turun dari tahta Kerajaan Sunda.
Selanjutnya,
tahta Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, harus diserahkan kepada Jayadewata.
Adapun posisi
Jayadewata pada saat itu, adalah:
1. Putera
sulung Prabu Dewa Niskala, dari permalsuri;
2. Menantu
Prabu Susuktunggal, atas pernikahannya dengan Puteri Kentring Manik Mayang
Sunda.
B. SRI BADUGA MAHARAJA
Menurut Pustaka
Nagara Kretabhumi parwa
I sarga 2, Jayadewata mula‑mulaa gelar Prabuguru Dewataprana. Kemudian dalam
bulan Caitra tahun 1404 Saka (Maret/April 1482 M), ia menerima tahta kerajaan
Sunda dari mertuanya, Prabu Susuktunggal.
Peristiwa
penobatannya di Pakuan, sekaligus menjadikan Jayadewata seorang Maharaja,
karena kekuasaan pemerintahannya, meliputi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Peristiwa tersebut, sesuai dengan isi prasasti Batutulis Kota Bogor, yang
memberitakan:
// mwang na pun ini
sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana
diwastu diva dingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran sri
sang ratu dewata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dewa niskala sang
sidamokta di gunatiga, incu rahyang niskala waste kancana sang sidamokta ka
nusa larang ya siya nu nyian sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan
sanghyang talaga rena mahawijaya, ya siya pun // i sake panca pandawa emban
bumi //
Terjemahannya:
Semoga selamat. Ini
tanda peringatan untuk (peninggalan dari) prabu ratu suwargi. la dinobatkan
dengan gelar Prabuguru Dewataprana. Dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri
Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang
membuat parit (di) Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di
Gunatiga; cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang di Nusalarang.
Dialah yang membuat tanda peringatan (berupa) gunung-gunungan, membuat jalan
yang diperkeras dengan batu, membuat samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena
Mahawijaya. Ya dialah (yang membuat semua itu). (Dibuat) dalam (tahun) Saka
1455 (Danasasmita, 1981: 25).
Prasasti
Batutuhs Kota Bogor, dibuat oleh Prabu Sanghiyang Surawisesa, pada tahun 1533
Masehi. Pembuatan prasasti tersebut, dilakukan dalam upacara penyempurnaan
sukma, untuk mengenang jasa-jasa dan kebesaran ayahnya, Sri Baduga Maharaja.
Upacara semacam itu, hanya dilakukan untuk raja‑raja tertentu. Jika seorang
raja wafat, kemudian setelah 12 tahun masyarakat masih menceritakan jasa-jasa
dan kebesarannya, maka raja tersebut digali dari kuburnya, kemudian kerangkanya
diperabukan. Maksudnya, agar sukma raja tersebut, dapat kembali kepada zat
asalnya: Hiyang Batara Tunggal (Tuhan Yang Esa).
Isi
prasasti Batutulis Kota Bogor, tidak bertentangan dengan naskah kuna Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2, yang terjemahan
langsungnya, antara lain sebagai berikut:
Sang Maharaja membuat
karya besar, yaitu: membuat telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat
jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan ke hutan larangan. la memperteguh
pertahanan ibukota, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan
pengikutnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan
rakyat. Kemudian membuat kebinihajian (kaputren), kesatrian (asrama prajurit), pagelaran (macam‑macam formasi tempur), pamingtonan (tempat pertunjukan kesenian),
memperkuat angkatan perang, mengatur pungutan pajak dari raja‑raja bawahan dan
menyusun undang‑undang kerajaan.
Memberi
hadiah desa perdikan untuk tempat tinggal para Pendita, tertulis pula dalam
prasasti (piagam) tembaga, yang ditemukan di Desa Kabantenan, Kecamatan
Tarumajaya, Kabupaten Bekasi. Dari prasasti yang berjumlah 5 lembar itu, isinya
dapat diketahui, bahwa Sri Baduga Maharaja mengukuhkan status lemah dewasasana
atau lurah kawikuan di Sunda Sembawa, Gunung Samaya dan Jayagiri. Pengukuhan
itu, berupa penegasan batas‑batas wilayah dan pembebasan dari pajak, serta
ancaman hukum mati, bagi siapapun yang melanggar keputusannya.
Tanah
suci Lemah Dewasasana atau Lurah Kawikuan, dibebaskan dari 4 macam pajak yang
disebut: dasa, calagara, kapas‑timbang (upeti) dan pare-dongdang(panggeres reuma).
Dasa, adalah pajak tenaga perseorangan, yaitu kewajiban bekerja
beberapa hari dalam setahun, sebagai tanda bakti kepada raja atau keluarganya.
Kata dasa, diambil dari bahasa Sanskerta, yang
berarti pelayanan (service).
Calagara (di Majapahit: walagara),
adalah pajak tenaga kolektif. Para petani tergabung dalam pasukan pekerja, yang
dipimpin oleh wado (seorang prajurit yang ditugaskan
memimpin pasukan pekerja), untuk melaksanakan bagi kepentingan raja dan negara.
Kapas‑timbang atau upeti kapas, harus
diserahkan tiap tahun, sebanyak 10 pikul atau 10 carangka.
Pare‑dongdang atau panggeres
reuma, adalah pare turiang, yaitu padi
yang terlambat berbuah setelah musim panen. Bila petani telah berpindah ladang
(huma), maka padi dipanen di reuma (bekas ladang), harus diserahkan
kepada raja, karena padi semacam ini dianggap bukan bagian petani.
Upacara
penyempurnaan sukma Sri Baduga Maharaja telah dilakukan. Akan tetapi masyarakat
Kerajaan Sunda masih tetap mengenang dan menceritakan jasa-jasa dan kebesaran
Sri Baduga Maharaja. Keharuman Sri Baduga Maharaja, sebanding dengan keharuman
nama uyutnya (buyutnya), Prabu Maharaja Linggabuana (Prabu Wangi), yang gugur
di Palagan Bubat. Juga sebanding dengan keharuman nama kakeknya, Sang
Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana (Prabu Wangisutah), yang mengangkat
Kerajaan Sunda mencapai kejayaannya. Oleh karena itulah, Juru Pantun ataupun
Penulis Babad, mengenang Sri Baduga Maharaja sebagai Prabu Silihwangi. Silih artinya pengganti. Wangi artinya harum.Silih Wangi, artinya
pengganti raja‑raja tertnashur sebelumnya.
Penamaan
Pajajaran untuk Kerajaan Sunda, sesungguhnya berasal dari penamaan keraton Sri
Bima‑Punta Narayana Madura‑Suradipati yang bentuknya sebangun dan berjajar.
Oleh karena keraton tersebut berada di kota Pakuan, masyarakat sering
menyebutnya Pakuan Pajajaran. Dalam
perkembangan selanjutnya, terutama berdasarkan sumber cerita Pantun dan Babad,
Kerajaan Sunda lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Pajajaran. Sedangkan
berdasarkan sumber‑sumber Portugis, nama resmi kenegaraan, tetap menggunakan
sebutan Kerajaan Sunda.
Menurut
catatan yang dikumpulkan oleh jurutulis Sultan Trenggono (dalamPustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara,
parwa I sarga 4), pada tahun 1521 Masehi (akhir pemerintahan Sri Baduga
Maharaja), penduduk kota Pakuan ada 48.271 orang. Laporan Portugis tahun 1522
Masehi, memperkirakan penduduk Pakuan sebanyak 50.000 orang. Dengan jumlah itu,
Pakuan di bawah naungan Sri Baduga Maharaja, merupakan kota terbesar kedua di
Nusantara setelah Demak (49.197 orang). Pasai, sebagai kota terbesar ketiga,
baru berpenduduk 23.121 jiwa.
Tome
Pires (k.l. 1468-1539 Masehi), seorang apoteker yang pernah berkarya pada
seorang pangeran di Lisbon (Heuken, 1999: 41), dan akan menjadi duta raja
Portugal di Cina (Lombard, 1996: 59), pada tahun 1513 Masehi singgah di
pelabuhan‑pelabuhan Sunda. Tome Pires memberitakan, bahwa perdagangan Sunda
lewat pelabuhan-pelabuhannya sangat maju. Omzet perdagangan kuda, dapat
mencapai 4.000 ekor tiap tahun.
Dayo (dayeuh=ibukota) tempat
tinggal raja, disebutkannya, terletak dua hari perjalanan dari pelabuhan
Kalapa, berada di pedalaman. Istana raja, dikelilingi 330 pilar kayu sebesar
tong anggur dan tingginya 5 pathom (depa = kira‑kira 9 meter), serta pada
puncaknya berukir indah. Dalam angkatan perang kerajaan, terdapat 40 ekor
gajah.
Tentang
Sri Baduga Maharaja, Tome Pires mencatatnya sebagai Rev
he gramde cacador (Raja
Sunda adalah seorang raja perkasa dan pemburu). Tetapi yang lebih penting, Tome
Pires mencatat tentang pemerintahan Sri Baduga Maharaja, antara lain: Regno
De cumda Regido em Justiea (kerajaan
Sunda diperintah secara adil).
Untuk kepentingan
perdagangan Portugis, Tome Pires mencatat pelabuhan‑pelabuhan penting di
Kerajaan Sunda, adalah sebagai berikut:
// Pimeira memte o Rey
de Cumda a ssua gramde cidade de dayo a pouoacam he terms I porto De bamtam o
Porto De pomdam/ o porto de chegujdee o Porto De tamgaram o Porto de calapa o Porto de chemano ysto
hee cumda por q ho Rijo De chemano he estremo Dambollos Regnos//
Terjemahannya:
Pertama, raja Sunda
(Cumda) dengan kota besarnya Dayo, kota dan wilayah serta pelabuhan Banten
(Bantam), pelabuhan Pontang (Pomdam), bandar Cheguide, Tangerang (Tamgaram),
Kalapa (Calapa), Cimanuk (Chemano). Inilah Sunda, karena sungai Cimanuk
merupakan batas di antara kedua kerajaan (Heuken, 1999: 37).
C.
SIKAP TERHADAP MUSLIM
Sebelum
Sri Baduga Maharaja lahir, di Kerajaan Sunda sudah ada penganut agama Islam.
Tokoh tersebut adalah Bratalegawa, putera Mangkubumi Bunisora Suradipati.
Bratalegawa adalah adik Giridewata alias Ki Gedeng Kasmaya, raja Cirebon
Girang. Bratalegawa lahir tahun 1350 M, dua tahun lebih muda dari Sang
Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana (kakeknya Sri Baduga Maharaja).
Sebagai
saudagar besar yang memiliki banyak kapal layar, Bratalegawa tidak menjadi raja
daerah (Ki Gedeng), ia sibuk oleh kegiatan niaga lautnya. Bratalegawa, menikah
dengan wanita muslim dari Gujarat, bernama Farhana binti Muhammad. Kemudian
dari Gujarat, bersama isterinya, Bratalegawa menunaikan ibadah haji ke Mekah,
dan mendapat nama baru menjadi Haji Baharuddin al Jawi.
Setelah
kembali ke Kerajaan Galuh, ia lebih dikenal sebagai Haji Purwa Galuh (haji
pertama di Galuh). Walaupun berbeda agama, ia tetap hidup rukun dengan saudara‑saudaranya.
Kelak, cucunya yang bernarna Hadijah, menjadi isteri Syekh Datuk Kahfi, seorang
ulama mazhab Safi'i, yang memimpin pesantren di Bukit Amparan Jati Cirebon,
merupakan pesantren tertua kedua di Kerajaan Sunda.
Sedangkan
pesantren tertua pertama di Kerajaan Sunda, didirikan oleh Syekh Hasanudin,
seorang ulama mazhab Hanafi, di Pura Dalem Karawang, dalam tahun 1416 M. Syekh
Hasanudin dikenal dengan sebutan Syekh Quro, karena pondoknya menjadi tempat
orang belajar mahir mengaji Qur'an.
Puteri Subanglarang,
isteri kedua Sri Baduga Maharaja, adalah alumnus pesantren Quro tersebut.
Ketiga anaknya, yaitu Pangeran Walangsungsang, Larasantang, dan Raja Sangara,
diijinkan memeluk agama Islam yang dianut ibunya. Dalam beberapa Naskah Pangeran
Wangsakerta, menggambarkan sikap Sri Baduga Maharaja terhadap Islam, dengan
kalimat: rasika dharmika ring pamekul agami
rasul (bertindak adil
dan bijaksana terhadap pemeluk agama Islam).
Sesungguhnya,
yang dikhawatirkan oleh Sri Baduga Maharaja perihal Cirebon, bukan
"Islamnya". Akan tetapi, hubungan politis yang terlalu akrab, antara
Cirebon dengan Demak. Tidak kurang dari 4 orang putera-puteri Syarif Hidayat
(Cirebon), dijodohkan dengan putera‑puteri Raden Patah (Demak).
Karena
perkawinan Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor, maka angkatan laut Demak yang
dipimpin oleh Sabrang Lor, sebagian ditempatkan di Cirebon. Situasi itulah yang
mendorong Sri Baduga Maharaja mengutus Putera Mahkota (Prabu Anom) Ratu
Sanghyang Surawisesa, sebagai duta resmi negara, untuk mengadakan hubungan
bilateral dengan Alfonso d'Albuquerque (dalam naskah Pangeran Wangsakerta,
disebut Laksamana Bungker), raja muda Portugis di Malaka tahun 1512 M.
Misi
tersebut diulang tahun 1521 Masehi. Akan tetapi, pada tahun itu, Sri Baduga Maharaja
sudah wafat, Kesepakatan perjanjian Kerajaan Sunda (Pajajaran) - Portugis,
akhirnya ditanda‑tangani di Pakuan, pada tanggal 21 Agustus 1522 M. Duta
Portugis dipimpin Hendrique de Leme (Endrik Bule). Kunjungannya ke Pakuan,
sekaligus untuk menghadiri upacara penobatan Prabu Sanghyang Surawisesa,
sebagai penguasa Kerajaan Sunda (Pajajaran) pengganti Sri Baduga Maharaja.
Adapun
terjemahan dari sertifikat Perjanjian Kerajaan Sunda‑Portugis tersebut, antara
lain sebagai berikut:
“Tanggal
21 Agustus 1522 ses. M. hadir di pelabuhan Sunda ini: Amrrique Leme, kapten
perjalanan ini, utusan Jorge d'Alboquerque, Kapten Malaka, dengan tugas untuk
mengadakan perjanjian dan persetujuan perdamaian serta persahabatan dengan Raja
Sunda. Raja Sunda tersebut menyetujui perutusan dan perjanjian persahabatan
yang diadakan dengannya oleh A. Leme. Ia (Leme) menganggap baik dan mengerti,
bahwa ia diberi izin untuk mendirikan sebuah benteng di atas tanahnya untuk
Raja Portugis, Tuan Kami. Untuk maksud ini, ia (Raja Sunda) mengutus pejabat
tingkat atas, yang disebut Paduka Tumenggung (mamdarim Padam Tumungo) dan bersama
dengannya dua pejabat terhormat (diutus pula), jelasnya yang satu bernama Sang
Adipati (Samgydepaty) yang lain Bendahara (Benegar), seperti pula syahbandar
dari tempat pabean. Selain itu banyak orang baik. Pejabat-pejabat tersebut
diberi kuasa penuh untuk mengambil keputusan, menentukan dan menunjuk tempat,
yang dianggap cocok oleh Amrrique Lerne tersebut untuk (membangun) benteng bagi
Raja Portugis. Paduka Tumenggung bersama pejabat‑pejabat lain dan orang-orang
baik yang disebut di alas, bersama dengan Amrrique Leme tersebut pada tanggal
itu pada tempat benteng akan dibangun, menegakkan sebatang padrao dari batu; jadi di sebelah kanan muara
sungai, seberang awal pelabuhan. Kawasan ini yang disebut Kalapa. Maka, di situ
batu peringatan (padrao) ditancapkan dengan lambang Raja, Tuan kami dan dengan
sebuah inskripsi.
Maka,
Raja Sunda tersebut menyetujui persetujuan dan kontrak yang diadakannya dengan
Amrrique Leme, yakni supaya dengan bebas dan rela setiap tahun pada tanggal
pembangunan benteng tersebut dimulai, menghadiahkan kepada Raja, Tuan kami,
seribu karung lada sebagai tanda perdamaian dan persahabatan. Karung‑karung
seperti dipakai lazim di negeri itu, sehingga setiap karung beratnya 10.600
caxas Java. Maka, beratnya seribu karung itu kurang lebih seratus enam puluh
bahar.
Tentang
seluruhnya itu, Amrrique Leme tersebut di atas itu menyuruh saya, Balthasar
Memdes, penulis dari kapal San Sebastian, selaku perwira Raja, Tuan kami,
membuat dokumen ini. Dengan demikian, saya memberi kesaksian, bahwa isinya
menguralkan apa yang berlangsung dan disetujui.
Untuk buktinya, saya,
penulis, mengadakan sertifikat ini dan (kemudian) menyalinnya ke dalam buku
saya, yang ditandatangani dengan tandatangan saya yang biasa. Saksi‑saksi
adalah Fernco de Almeida, kapten sebuah jung serta pedagang pedagang pangkat
atas Raja. Tuan kami, pada perjalanan ini, dan Franscisco Annes, penulis dan
Manuel Mendes dan Sebastian Diaz do Rego dan Francisco Diaz dan Joham Coutinho
dan Joham Goncalvez dan Gil Barbosa dan Tome Pinto en Ruy Goncalvez dan Joham
Rodriguez dan Joham Fernandez dan Joham da Costa dan Pedro Eannes dan Manuel
Fernandez dan Diogo Fernandez, semuanya tentara, dan Diogo Diaz, Afonso
Fernandez tentara juga dan Nicolas da Sylva, juru tinggi kapal tersebut dan
George de Oliveira, juru mudi dan banyak (orang) lagi.
Dibuat pada hari, bulan
dan tahun seperti tercatat pada kepala (surat) ini. (Lalu tandatangan orang‑orang)
(Heuken, 1999: 54).
Hubungan
internasional bilateral inilah, yang dicurigai para akhli sejarah, bahwa
"Pajajaran adalah kerajaan yang memulai mengundang kaum penjajah" ke
tanah air Indonesia. Padahal, pedagang Portugis pada waktu itu, masih sebagai
pelaut murni. Berbeda dengan pelaut Belanda, yang selalu berambisi, menguasai
wilayah perdagangan (kolonialis) yang disinggahinya.
Persaingan
dagang memperebutkan jalur pelayaran Selat Malaka, di antara Kerajaan Sunda
(Pajajaran) dengan Demak, sangat wajar terjadi, karena Pajajaran dengan Demak
mempunyai strategi politik dagang masing‑masing. Sangat disayangkan, telaah ke
arah itu baru di permukaannya saja, sehingga "sentimen agarna Islam"‑lah
yang sering dimunculkan.
Sri
Baduga Maharaja itu, tidak saja mengalami masa perkembangan Islam, tetapi
mengalami juga masa hubungan Internasional yang sifatnya bilateral dengan
bangsa Eropa, yang diwakili oleh pedagang Portugis. Sudut pandang inilah yang
belum dipahami secara seksama.
Sri
Baduga Maharaja adalah raja besar (Maharaja) terakhir di Kerajaan Sunda. Raja‑raja
penerusnya, tidak sanggup mempertahankan kebesaran Kerajaan Sunda Pajajaran,
bahkan cenderung kualitasnya semakin merosot. Kebesaran jiwanya dan
toleransinya terhadap agama Islam, telah menjadikan Sri Baduga Maharaja tetap
dihormati sebagal karuhun oleh masyarakat Sunda.
Cukup
banyak Babad yang ditulis, dengan tujuan utama, merangkaikan secara paksa
silsilah Bupati setempat dengan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi). Banyak
kerabat Bupati masa silam di Tatar Sunda, yang sesungguhnya keturunan Galuh,
Cirebon, Sumedang, dan Talaga, tetapi dalam menuliskan Babad setempat, selalu
diupayakan ada kaitan darah dengan tokoh Sri Baduga Maharaja.
Setelah
Indonesia merdeka, hubungan darah ini diubah dengan hubungan historis yang
lebih umum sifatnya. Lahirnya pemeo seuweusiwi‑Siliwangi,
sebagai ungkapan kesadaran terhadap sejarah dan warisan nilai budaya. Akhirnya
jadilah Siliwangi itu suatu identitas Urang (Etnis) Sunda. Terbukti, keharuman
nama Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja), tidak pernah luntur sejak masa ia
hidup sampai sekarang.
Sampai
saat kini, umum masih beranggapan, bahwa agama Sri Baduga Maharaja itu, kalau
tidak Hindu tentunya Budha. Akan tetapi, kalau ditanyakan, dimanakah bekas
candi‑candinya, di manakah patung dewa-dewa yang dipujanya? Kecuali temuan
peninggalan Salakanagara dan Tarumanagara, secara arkeologis, belum dapat
membuktikan secara pasti, bahwa agama Kerajaan Sunda Pajajaran itu Hindu atau
Budha.
Dalam
cerita Pantun sekalipun, mengenai tokoh Prabu Siliwangi, Juru Pantun tidak
pernah menyebut‑nyebut tokoh dewa-dewa Hindu ataupun Budha. Adapun tokoh
spiritual yang sering ditampilkan dalam cerita Pantun, adalah tokoh Sunan Ambu,
Para Pohaci dan Para Bujangga.
Dalam
naskah Kropak 406 Carita Parahiyangan, Jayadewata
atau Sri Baduga Maharaja, dijuluki Sang Mwakta ring Rancamaya,
atau "Yang Moksa Di
Rancamaya".
Mwakta atau Moksa, pinjaman kata dari
idiom ajaran agama Budha. Dalam naskah Sunda kuna lainnya, digunakan kata lumah (pusara), sehingga menjadi sebutan
Sang Lumahing, yang artinya dipusarakan. Sebutan Sang Mwakta atau Sang
Lumahing, sama‑sama mempunyai arti "sukmanya telah disempurnakan".
Penyempurnaan
sukma tersebut, dimaksudkan sebagui upaya agar "sukma" yang sudah
meninggal itu, dapat kembali kepada Asal‑nya. Dzat Asal dalam religi Sunda,
disebut Hiyang Batara Twiggal (Tuhan Yang Esa). Oleh karena itu, pada
perkembangan bahasa Sunda yang selanjutnya, istilah itu berubah menjadi
"nga-Hiyang".
Dalam
Kropak 630 Sanghiyang Siksakandang Karesian,
cita-cita urang Sunda yang saleh, tidak ingin manjing surga (masuk Surga).
Melainkan rnanggihkeun hyang tanpa balik dewa (bertemu dengan Hyang, bukan dengan
Dewa).
Kembali
kepada Hiyang Batara Tunggal, karena Dia‑lah si tuhun lawan pretyaksa (Dialah
Yang Hak dan Yang Wujud). Itulah arti sesungguhnya dari "ngahiyang".
Sejalan dengan cita‑cita muslim yang saleh: kembali ke Khadirat Ilahi Rabbi.
Sebutan
lain untuk Hiyang, di-Sanskerta‑kan menjadi Seda Niskala. Seda, artinya
Sempurna; Niskala, artinya Gaib. Hiyang Seda Niskala,
dapat diartikan sebagai Yang Maha Gaib.
Hal
yang menarik lainnya dari religi Sunda, terungkap dalam Kropak 406 Carita
Parahiyangan, di antaranya sebagai berikut:
Sumbelehan niat inya
bresih snci wasah. Disunat ka tukangnya, jati Sunda teka.
Terjemahan:
Disunat agar terjaga
dari kotoran, bersih suci bila dibasuh. Disunat kepada akhlinya, kebiasaan adat
Sunda yang sesungguhnya.
Beberapa
kesamaan keyakinan religi Sunda dengan religi Islam, bagi orang Sunda.,
sesungguhnya tidak jadi masalah. Kedatangan Islam, merupakan penyempurna religi
yang telah lama dianutnya.
D.
PENERUS TAHTA KERAJAAN SUNDA (PAJAJARAN)
Berdasarkair
sumber cerita Pantun dan Babad, kisah tentang Kerajaan Pajajaran, selalu
diakhiri pada masa kekuasaan Prabu Siliwangi. Kisah tersebut, sudah merasuk ke
dalam jiwa orang Sunda, dan sudah mendarah‑daging secara turun-temurun.
Provokasi cerita fiksi Kian Santang, sudah demikian lama, menenggelamkan
riwayat "Pajajaran" yang sesungguhnya. Adakah masuk di akal, Kian
Santang yang konon katanya, hidup di masa penyebaran Islam di Tatar Sunda (abad
ke‑15 Masehi), dapat bertemu dengan Sayidina Ali (sahabat Rasulullah Muhammad),
pada abad ke‑7 Masehi? Sebab, jarak masa hidup Kian Santang dengan Sayidina
Ali, dipisahkan oleh waktu kurang‑lebih 800 tahun! Kemudian, jika Kian Santang
berstatus sebagai anak Prabu Siliwangi, setega itukah, memaksa ayahnya untuk
masuk Islam?
Ada
yang menafsirkan, bahwa tokoh Kian Santang itu, adalah Pangeran Walangsungsang
alias Pangeran Cakrabuana. Selain itu, Kian Santang disamakan dengan Raja
Sangara (Raja Sengsara), karena ia adiknya Larasantang, juga adiknya Pangeran
Cakrabuana. Ada pula yang menafsirkan, bahwa Kian Santang itu Falatehan alias
Fatahillah. Bahkan Maulana Hasanuddin dari Banten pun, sempat dicurigai sebagai
Kian Santang. Untuk mencari kebenaran, perlu penelusuran ilmiah, berdasarkan
ilmu sejarah.
Persesuaian
Kropak 406 Carita Parahiyangan dengan Pustaka
Carita Parahiyangan Cirebon abad
ke‑17, meriwayatkan penerus tahta di Kerajaan Sunda (Pajajaran), yang
rangkumannya adalah sebagai berikut:
Setelah wafatnya Sri
Baduga Maharaja (1521 Masehi), pewaris tahta Kerajaan Sunda (Pajajaran), adalah
Prabu Sanghiyang Surawisesa. la putera Sri Baduga Maharaja dari Puteri Kentring
Manik Mayang Sunda (puteri Sang Prabu Susuktunggal). Prabu Sanghiyang
Surawisesa, pernah diutus ke Malaka untuk merintis perjanjian bilateral
perdagangan Sunda - Portugis. Dalam catatan Portugis, ia disebut Raja Samiam,
yang dimaksud adalah Raja Sanghiyang (Surawisesa).
Wafatnya
tokoh Sri Baduga Maharaja, menimbulkan persoalan baru, membangkitkan ambisi
Cirebon untuk memperluas wllayah kekuasaannya. Ketika Prabu Sanghiyang
Surawisesa naik tahta, konflik dengan Pakungwati Cirebon semakin meruncing,
hingga menimbulkan perang selama 15 kali.
Mengenai
Raja‑Raja penerus tahta Kerajaan Sunda Pajajaran, terungkap dalam naskah Kropak
406 Carita Parahiyangan, dari lembar 20 sampai
dengan lembar 25, uraiannya adalah sebagai berikut:
// disilihan ku prebu
surawisesa / inya nu surup ka padaren / kasuran / kadiran / kuwanen //
prang‑prang lima welas kali hanteu eleh / ngalakukeun bala sariwu
prangrang ka kalapa deung aria burah / prangrang ka tanjung// prangmng ka ancol
kiji // prangrang ka wahantengirang// prangrang ka simpang// prang‑prang ka
gunung batu // prangrang ka saung agung// prangrang ka rumbut // prangrang ka
gunung// prangrang ka gunung banjar// prangrang ka padang// prangrang ka
panggoakan// prangrang ka muntur// prangrang ka hanum // prangrang ka pager
wesi // prangrang ka medangkahiyangan // ti inya pulang ka pakwan deui //
hanteu nu nahunan deui / panteg hanca buana // lawasniya ratu opatwelas tahun
//
Terjemahan:
Diganti yaitu oleh
Prabu Surawisesa yang dipusarakan di Padaren. Rata gagah perkasa, teguh dan
pemberani. Lima betas kali perang tak pernah kalah. Dalam melakukan
peperangan menggunakan siasat Bala Sarewu (Pustaka Bala Seribu).
Perang ke Kalapa dengan
Aria Burah. Perang ke Tanjung. Perang ke Ancol Kiji. Perang ke Wahanten Girang.
Perang ke Simpang. Perang ke Gunung Batu. Perang ke Gunung Banjar. Perang ke
Padang. Perang ke Pagoakan. Perang ke Muntur. Perang ke Hanum. Perang ke Pager
Wesi. Perang ke Medang Kahiyangan. Setelah itu, kembali ke Pakuan lagi. Tidak
sampai setahun, meninggal dunia. Lamanya menjadi ratu 14 tahun.
prebu ratudewata / inya
nu surup ka sawah tampian dalem lumaku ngarajaresi // tape pwah susu //
sumbelehan niat tinja bresih suci wasah disunat ka tukangna / jati sunda tetra
/ datang na bancana musuh Banal / tambuh sangkane // prangrang di buruan ageung//
pejah tohaan sarendet deung tohaan rata sanghiyang// hang pandita sakti
diruksak / pandita di sumedang// sang pandita di ciranjang pinejahan tanpa dose
/ katiban ku tapak kihir//sang pandita di jayagiri linabuhaken ningsagara//
hang sang pandita sakti hanteu dosana // rounding rah.iyang ngaraniya /
linalnhaken ring sagara tan keneng pati/ hurip muwaf, moksa tanpa tinggal raga
tetra ring duniya// sinaguhniva. ngaraniya hiyang katingan // nya iyatnavatna
.sang kawuri / hayzaa to .sire kabalik pupuasaan //samangkana to precinta //
prebu ratudewata / lawasniya rata dalapan tahun / kasalapan panteg hence dine
bwana //
Prabu Ratu Dewata,
dialah yang dipusarakan di Sawah Tampian Dalem. Menjalankan kehidupan seperti
Rajaresi. Puasa, hanya meminum susu. Disunat, supaya bersih suci dari kotoran.
Disunat oleh akhlinya, itulah tradisi orang Sunda.
Datang bencana serangan
musuh kasar, tidak diketahui identitasnya. Perang di Buruan Ageung (Alan‑alun).
Gugur Tohaan Sarendet den Tohaan Ratu Sanghiang. Ada pendeta sakti dianiaya,
pandita di Sumedang. Sang pandita di Ciranjang, dibunuh tanpa dosa, tertimpa
tapak kikir. Sang Pandita di Jayagiri, ditenggelamkan ke laut. Ada pendeta
sakti tak berdosa Munding Rahiyang namanya, ditenggelamkan ke laut, tidak mati,
masih hidup, menghilang tanpa meninggalkan jejak di dunia. Terkenal namanya
Hiyang Kalingan. Oleh sebab itu, hati‑hatilah yang hidup di kemudian hari,
jangan hidup pura‑pura berpuasa. Begitulah keadaan jaman susah.
Prabu Ratu Dewata,
lamanya jadi raja 8 tahun, kesembilan tahunnya meninggal dunia.
disilihan ku sang ratu
sakti sang mangabatan ring
tasik / inya nu surup
ka pengpelengan // lawasniya ratu dalapan
tahun / kenana ratu
twahna kabancana ku estri larangan ti
kaluaran deung kana
ambu tere // mati‑mati wong tanpa dosa /
ngarampas tanpa prege /
tan bakti ring wong atuha / asampe
ring sang pandita //
aja tinut sang kawuri /
polah sang nata //
mangkana sang prebu
ratu / carita inya //
Diganti oleh Sang Ratu
Sakti Sang Mangabatan di Tasik. Yaitu yang dipusarakan di Pengpelengan. Lamanya
jadi ratu 8 tahun, karena tindakan ratu celaka oleh wanita larangan dari luar
dan oleh ibu tiri. Sering membunuh orang tanpa dosa, merampas tanpa perasaan,
tidak hormat pada yang tua, menghina pendita. Jangan diikuti oleh generasi belakangan,
tindakan ratu seperti itu. Begitulah riwayat Sang Ratu.
tohaan di majaya alah
prangrang/ mangka tan nitih
ring kadatwan // nu
ngibuda sanghiyang panji / mahayu na ka
datwan / dibalay
manelah taman mihapitkeun dora larangan //
nu migawe bale‑bobot pituwelas
jajar/ tinulis pinarada war-
nana cacaritaan //
Tohaan di Majaya kalah
perang, oleh sebab itu tidak diam di Kedaton. Dialah yang mencipta Sanghiang
Panji, menghiasi Kedaton, di balai diatur berupa taman mihapitkeun panto
larangan. Yang membangun bale bobot 17 jajar, diukir berbaris dibentuk berbagai
cerita.
hanteu ta yuga dopara
kasiksa tikang wong sajagat / kreta
ngaraniya // hanteu nu
ngayuga sanghara / kreta //
dopara luha gumenti
tang kali // sang nilakendra wwat
ika sangke lamaniya manggirang/
lumekas madumdum cereng//
manganugraha weka /
hatina nanda wisayaniya / manurunaken
pretapa / putu ri
patiriyan // cai ka tiningkalan nidra wisaya
ning baksa kilang//
wong huma darpa
mamangan / tan igar yap tan pepela
kan // lawasniya ratu kampa kalayan pangan / ta tan agama
gyan kewaliya mamangan
sadrasa nu surup ka sangkan
beunghar//
lawasniya ratu
genepwelas tahun //
Dari zaman manusia
sejagat tidak mengalami kejahatan disebut zaman kreta. Tidak ada yang
menjadikan hancurnya jagat.
Dalam zaman Dopra,
zaman perunggu, seterusnya diganti dengan zaman kali, zaman besi, Sang
Nilakendra, karena terlalu lama dalam suasana senang memperturutkan hawa nafsu.
Mempunyai anak, ke dalam hatinya sudah dirasuki bermacam reka perdaya,
menurunkari pertapa, cucu tiri. Minuman keras dianggap seperti air bentuknya
godaan nafsu.
Manusia yang berhuma
rakus makannya, tidak gembira kalau tidak bercocok tanam. Lamanya ratu menuruti
hawa nafu dalam makanan, tidak mengikuti adat kebiasaan, dalam menuruti nafsu
kesenangan karena menganggap wajar dengan kekayaannya.
Iamanya jadi rata 16
tahun.
disilihan ku nusiya
mulia // lawasniya rata sadewidasa /
tembey datang na
prebeda // bwana alit sumurup ping ganal /
metu sanghara ti selam
//
prang ka raja gaLuh /
eleh na raja galuh / prang ka ka‑
lapa / eleh na kalapa
// prang ka pakwan / prang ka galuh /
prang ka datar/ prang
ka madiri / prang ka patege / prang
ka jawakapala / elehna
jawakapala // prang ka galelang//
nyabrang/ prang ka
salajo / pahi eleh ku selam //
Diganti oleh Nusia
Mulya. Lamanya jadi ratu 12 tahun. Pertama datangnya perubahan. Dunia halus
masuk ke yang kasar, timbul kerusakan dari Islam.
Perang dengan
Rajagaluh, kalah Rajagaluh. Perang dengan Kalapa, kalah Kalapa. Perang dengan
Pakuan, perang dengan Galuh, perang dengan Datar, perang dengan Mandiri, perang
dengan Patege, perang dengan Jawakapala, kalah Jawakapala. Perang dengan
Gegelang. Perang berlayar ke Salajo, semua kalah oleh orang Islam.
Berdasarkan Kropak 406 Carita
Parahiyangan, Setelah Sri Baduga Maharaja wafat, ada 5 orang Raja
penerus tahta Kerajaan Pajajaran, antara lain:
1. Prabu
Sanghiyang Surawisesa (1521‑1535 Masehi);
2. Ratu
Dewatabuana (1535‑1543 Masehi);
3. Ratu
Sakti (1543‑1551 Masehi);
4. Prabu
Nilakendra (1551‑1567 Masehi);
5.
Prabu Ragamulya Suryakancana atau Prabu Pucuk Umun Pulasari (1567‑1579 Masehi).
Pajajaran
lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka.
Peristiwa runtuhnya Kerajaan Sunda Pajajaran, bertepatan dengan tanggal 11
Rabiul awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 Masehi.
IV.
KESULTANAN PAKUNGWATI
CIREBON
A. PANGERAN
CAKRABUANA
Banten
pada masa penyebaran Islam di Kerajaan Sunda, sesungguhnya merupakan bagian
yang tidak terpisahkan, dari pendahulunya, Cirebon. Oleh karena itu, untuk
membahas Banten, terlebih dahulu harus mengenal Cirebon.
Dalam Carita
Parahiyangan, karya Tim Pimpinan Pangeran Wangsakerta, yang disusun
oleh Atja dan Edi S. Ekadjati (1989), tentang Cirebon dikemukakan sebagai
berikut:
Adapun
mengenai raja‑raja Cirebon, mereka keturunan raja Pajajaran dari isteri Sang
Prabhu yang bernama Nyai Subanglarang atau Subangkarancang. Dalam pernikahannya
itu berputera beberapa orang. Dua di antaranya, ialah;
1. Raden
Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana;
2. Nyai
Larasantang atau Saripah Muda'im (Atja & Ekadjati, 1989:165).
Dalam
naskah‑naskah Cirebon lainnya dijelaskan pula, bahwa dari Subanglarang, Sri
Baduga Maharaja memperoleh anak bungsu laki‑laki, bernama Rajasangara.
Dari
isterinya yang pertama, Ambetkasih (puterinya Ki Gedeng Sindangkasih), Sri
Baduga Maharaja tidak memperoleh anak. Sedangkan dari isterinya yang ketiga,
Kentring Manik Mayang Sunda (puterinya Prabu Susuktunggal), berputera beberapa
orang, di antaranya:
1.
Sanghiyang Surawisesa;
2.
Surasowan; dan
3. Dewi
Surawati; kelak diperisteri oleh Adhipati Surakerta.
Semua
putera‑puteri Sri Baduga Maharaja, dilahirkan di Keraton Pakuan Pajajaran.
Status Pangeran Walangsungsang, di antara semua putera puteri Sri Baduga
Maharaja, berperan sebagai anak sulung. Status ini sangat memungkinkan, jika
Pangeran Walangsungsang, merupakan anak terdekat pertama dengan ayahandanya.
Ibunda Pangeran
Walangsungsang (Subanglarang), adalah murid Syekh Hasanudin, dari Pondok Quro
Pura Dalem (Karawang). Syekh Hasanudm, adalah ulama Cina yang berasal dari
Campa, pemeluk Islam madzhab Hanafi.
Adapun
riwayat Syekh Hasanudin, hingga mendirikan Pondok Quro di Pura Dalem Karawang,
adalah sebagai berikut:
Pada
tahun 1416 Masehi, armada laut Cina, mengadakan pelayaran keliling, atas
perintah Kaisar Cheng‑tu atau Kaisar Yunglo, Kaisar dari Dinasti Ming ketiga.
Armada laut Cina tersebut, dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho alias Sam‑Po‑Tay‑Kam
yang beragama Islam. la didampingi oleh jurututulisnya, Ma Huan, yang juga
beragama Islam.
Armada
laut Cina yang dipimpin Laksamana Cheng Ho, sebanyak 63 buah kapal layar,
dengan prajurit laut sebanyak 27.800 orang. Tujuan pelayaran mereka, untuk
menjalin persahabatan, dengan raja‑raja Cina di seberang lautan.
Di
antara sekian banyak awak kapal, terdapat beberapa orang penumpang, yang
dipimpin oleh Syekh Hasanudin. la bermaksud, menyebarkan ajaran agama Islam, di
Pulau Jawa. Oleh karena sesama muslim, Laksamana Cheng Ho, mengijinkan Syekh
Hasanudin beserta pengiringnya, untuk ikut menumpang pada kapal layarnya.
Ketika
armada laut Cina itu singgah di pelabuhan Pura Dalem Karawang, Syekh Hasanudin
beserta pengiringnya, memohon diri untuk turun. Sedangkan Laksamana Cheng Ho
dengan armada lautnya, meneruskan pelayarannya ke Majapahit, di Jawa
Timur.
Syekh
Hasanudin, ketika turun di Pura Dalem Karawang, disertai pula oleh puteranya,
Tan Go Wat. Kelak, Tan Go Wat, dikenal sebagai Syekh Bantong. Setelah lama
tinggal di Pura Dalem, akhirnya Syekh Hasanudin berjodoh dengan Ratna Sondari,
puterinya Ki Gedeng Karawang. Dari perkawinannya, memperoleh anak, yang kelak
dikenal sebagai Syekh Ahmad.
Syekh
Hasanudin, mendirikan Pondok Quro tertua pertama di Kerajaan Sunda, di pesisir
Pura Dalem Karawang, pada tahun 1416 Masehi. Peristiwa penting ini, terjadi
pada masa pemerintahan Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana (1371‑1475
Masehi), kakeknya Sri Baduga Maharaja.
Selama
59 tahun, Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana, menyaksikan berseminya
agama Islam di wilayah kekuasaannya. Sebagai penguasa daerah bawahan Kerajaan
Sunda, Ki Gedeng Karawang, tidak akan berani membiarkan Islam berkembang di
wilayahnya, kalau tanpa seijin Sang Mahapraburesi.
Bagi
Sang Mahapraburesi, Islam bukan hal yang baru dan acing. Sebab, adik iparnya,
Bratalegawa alias Haji Purwa Galuh, sudah terlebih dahulu memeluk agama Islam.
Keteladanan
Wastu Kancana sangat luar biasa. Hal ini tampak dalam Carita
Parahiyangan. Penulis naskahnya sangat mahal dengan kata-kata, dan
lebih kikir lagi dengan pujian. Namun bagi tokoh Wastu Kancana, ia bersedia
mengurbankan lembaran kropaknya sampai 4 halaman, padahal untuk Sri Baduga
Maharaja, walau pun ia masih sanggup memujinya, hanya disediakan seperempat
halaman saja (Danasasmita,1984: 42).
Pangeran
Walangsungsang, adalah cicit dari Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana. la
dengan kedua adiknya, pemeluk agama Islam mazhab Hanafi, mengikuti agama yang
dipeluk ibunya, Subanglarang.
Sebagai
catatan, madzhab Hanafi, adalah paham hukum Islam yang difatwakan oleh Imam Abu
Hanifah. Nama sesungguhnya dari Abu Hanifah, adalah Nu'am bin Tsabit bin Zautha
bin Mah. la. seorang bangsa Ajam, keturunan bangsa Parsi yang bermukim di
Kabul, Afganistan.
Selain
sebagai ibunda tercinta, peran Subanglarang bagi diri Pangeran Walangsungsang
dan kedua adiknya, adalah Guru Agama. Di lingkungan Keraton Pakuan Pajajaran,
hanya ibunya, yang membimbing Pangeran Walangsungsang dalam hal Islam.
Kenyataan seperti itu, bagi Sri Baduga Maharaja, tidak menjadi masalah. Sikap
Sri Baduga Maharaja terhadap Islam: rasika dharmika ring pamekul agami
rasul (bertindak adil
dan bijaksana terhadap pemeluk agama Rasul). Perlu dicatat, ketika Sri Baduga
Maharaja masih remaja dan bernama Sang Pamanahrasa, dibina langsung oleh
kakeknya, Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana. Sikap "rasika dharmika
ring pamekul agami rasul ", diteladani dari kakeknya.
Ketika
Subanglarang wafat, Pangeran Walangsungsang serta adik-adiknya, merasa sangat
kehilangan. Ketiadaan guru agama Islam lainnya di kota Pakuan Pajajaran,
mendorong Pangeran Walangsungsang, memohon izin kepada ayahnya, untuk pergi
mengembara, mencari guru agama Islam yang dapat memenuhi hasrat keresahan
batinnya.
Tentu
saja, walaupun dengan berat hati, Sri Baduga Maharaja terpaksa mengijinkan
kepergian putera sulung kesayangannya itu. Peristiwa-peristiwa itulah, yang
Iuput dipahami dan dijadikan dasar cerita, oleh para penulis babad. Sehingga
rnereka beranggapan (sebagaimana yang sering terbaca dalam Babad Cirebon),
bahwa Pangeran Walangsungsang itu, diusir dari keraton Pakuan Pajajaran, akibat
konflik agama dengan ayahnya.
Sementara
itu, Ki Gedeng Tapa, kakeknya Pangeran Walangsungsang yang menjadi penguasa
wilayah Singapore (Cirebon), telah memukimkan seorang Guru Agama Islam mazhab
Syafi'i: Syekh Datuk Kahfi.
Syekh Datuk Kahfi
adalah putera Syekh Datuk Ahmad.
Syekh Datuk Ahmad
adalah putera Maulana Isa dari Malaka.
Maulana Isa adalah
putera Abdul Qadir Qaelani.
Abdul Qadir Qaelani
adalah putera Amir Abdullah Khanudin.
Amir
Abdullah Khanudin, adalah generasi ke‑17 turunan Rasulullah Mohammad.
Syekh
Datuk Kahfi berjodoh dengan Hadijah, cucu Haji Purwa Galuh (Bratalegawa), yang
bermukim di Dukuh Pasambangan Cirebon. Kemudian, Syekh Datuk Kahfi, atas
keinginan Ki Gedeng Tapa, mendirikan Pondok Quro di Bukit Amparan Jati (Gunung
Jati) Cirebon. Pondok Quro Amparan Jati, merupakan pesantren tertua kedua di
Kerajaan Sunda, setelah Pondok Quro Karawang. Oleh Ki Gedeng Tapa, Syekh Datuk
Kahfi mendapat nama julukan, Syekh Nurjati.
Dalam
pengembaraannya, Pangeran Walangsungsang disertai adiknya, Nyai Larasantang.
Ketika Pangeran Walangsungsang dan Nyai Larasantang tiba di Singapore
(Cirebon), keduanya berguru kepada Syekh Datuk Kahfi. Pangeran Walangsungsang
yang semula menjadi penganut Islam mazhab Hanafi, dari Syekh Datuk Kahfi,
mendapat pengetahuan agama Islam mazhab Syafi'i.
Sebagai
catatan, mazhab Syafi'i adalah paham hukum Islam yang difatwakan oleh Imam
Syafi'i. la dilahirkan pada bulan Rajab tahun 150 Hijriyah (767 Masehi), di
kampung Ghuzah, wilayah Asqalan di dekat pantai Lautan Putih (Laut Mati)
Palestina bagian tengah.
Pangeran
Walangsungsang, mempelajari ilmu pemerintahan dan ketata‑negaraan, dari
kakeknya, Ki Gedeng Tapa. la dipercaya memegang jabatan Pangraksabumi
(Cakrabumi), dalam pemerintahan kerajaan daerah Singapura (Cirebon). Dalam
pemerintahan sehari‑hari, Pangeran Walangsungsang berfungsi pula sebagai wakil
kakeknya, Ki Gedeng Tapa.
Dalam
naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawa dwipa parwa I sarga 4, dikemukakan riwayat
Pangeran Walangsungsang, ketika mendirikan Dukuh Cirebon, antara lain sebagai
berikut:
to sawiji ping desa
haneng tira ning tasik carbon wastanya // rikung akwah tumuwuh parungpung alang‑alang
lawan dukul sagara / mangidul ring wanakweh satwa krura / pantara ning/ waraha
/ liman pas lawan salwirya // atut tira ning tasik akweh saraksak mwang dok /
ing parwataparswa careme kweh aswa // riking lwah akweh matsya lawan rebo n/
Terjemahannya:
Ada sebuah desa
terletak di tepi pantai, Cirebon namanya. Di situ banyak tumbuhan pohon kayu
alang‑alang dan rumput (semak belukar) laut. Di bagian selatannya, masih hutan
belantara tempat binatang buas. Seperti babi hutan, harimau, ular, gajah, kura‑kura
dan berbagai jenis lainnya. Di tepi pantai, banyak burung belibis dan elang
laut (camar). Sedangkan di Gunung Ciremai, banyak kuda liar. Di sungai, banyak
ikan dan rebon (udang kecil).
Pada
awalnya, sebuah wilayah hutan yang dialiri sungai Cirebon itu, disebut Kebon
Pasisir, atau Tegal Alang‑Alang, atau Lemah Wungkuk. Pada saat itu (tahun 1436
Masehi), di Kebon Pasisir, telah bermukim 5 orang penduduk, ialah: Ki Danusela
alias Ki Gedeng Alang Alang; Nyai Arumsari (isterinya); Nyai Ratnariris atau
Kancanalarang (puterinya); Ki Sarmawi (pembantunya); dan Isteri Ki Sarmawi
(pembantunya). Mereka, pindah dari tempat tinggal asalnya, Cirebon Girang. Ki
Danusela, adalah adiknya Ki Danuwarsih. Sedangkan Ki Danuwarsih, seorang ulama
agama Budha, adalah mertua Pangeran Walangsungsang. Sebab, puteri Ki
Danuwarsih, yaitu Nyai Indang Geulis, bersedia masuk Islam, yang akhirnya
menjadi isteri Pangeran Walangsungsang.
Di
kalangan Pondok Quro Amparan Jati, Pangeran Walangsungsang, lebih dikenal
dengan sebutan Ki Samadullah. Nama itu diperoleh dari gurunya, Syekh Datuk
Kahfi.
Pada
tanggal 14 bagian terang bulan Caitra tahun 1367 Saka, atau hari Kamis tanggal
8 April 1445 Masehi, bertepatan dengan penanggalan 1 Muharam 848 Hijriyah, Ki
Samadullah yang disertai isterinya (Nyai Indang Geulis), dan adiknya (Nyai
Larasantang), serta 52 orang santri Pondok Quro Amparan Jati, membuka hutan
Kebon Pasisir. Setelah Kebon Pasisir menjadi tempat terbuka, dibangunlah
pemukiman baru, kemudian diberi nama Cirebon Pasisir. Diberi nama demikian,
untuk membedakan dengan pemukiman yang sudah ada di wilayah hulu sungai
Cirebon, yang disebut Cirebon Girang.
Semula,
penduduk Cirebon Pasisir, hanya terdiri dari 52 orang santri pekerja, ditambah
Ki Danusela dengan 4 orang anggota keluarganya. Setelah melihat ada pemukiman
baru, rakyat dari Muara Jati dan dukuh Pasambangan, berdatangan dan pindah ke
Cirebon Pasisir.
Atas
kesepakatan bersama, Ki Danusela diangkat menjadi Kuwu Pertama (kuwu=sesepuh
desa) di Cirebon Pasisir. Kemudian, Pangeran Walangsungsang alias Ki
Samadullah, dipercaya menjadi Wakil Kuwu.
/ i sedeng ki
somadullah rina
kcabumyaksa lawan
winasta
n ki cakrabhumi ngaran
ira //
Terjemahan:
Sedangkan Ki Samadullah
sebagai akhli pertanahan (pangraksabumi), mendapat gelar Ki Cakrabumi, namanya.
ki gedeng alang‑alang
so
mah lawan ki somadullah
so
nah rahine kulem
makakar
ma angluru rebon lawan
iwa
k ing lwah haneng wetan
grha ni
ra / mwang tira ning
tasik / ri
sampunya tumuluy magawe
tra
si / pens lawan uyah //
Terjemahannya:
Adapun rakyat Ki Gedeng
Alang‑alang dan rakyat Ki Samadullah, sebelum tidur, berkumpul bekerjasama
menumbuk rebon dan ikan, dari sungai sebelah timur pemukiman mereka (di tepi
pantai), bekerja menyelesaikan pembuatan terasi, petis dan garam.
// a teher carbon
dumadi desanung akrak hetunya janmapada sakeng desantara / sarwa wangsa hang
rikung/ wwang doltinuku / thanayan thani / wwang angluru rebon lawan iwak tira
ning sagara akrak prahwa mandeg/ ring samangkana sira pribhumi sarwa wangsa /
sarwa panganut nira / pangucap nira tulisnya / praswabhawa nira / akarya nira
kunang mebedha sowang-sowang//
Terjemahan:
Kemudian, Cirebon
menjadi kawasan desa yang ramai di antara desa-desa lainnya. Berbagai bangsa
ada di sana. Pedagang, para petani. Mereka menumbuk rebon dan ikan. Sekarang di
tepi lautnya (pesisir) ramai disinggahi perahu. Pribuminya terdiri dari
berbagai suku bangsa. Macam-macam anutannya, bahasa dan tulisannya, tingkah
lakunya, keakhliannya, masing‑masing berbeda.
Pada
tahun 1369 Saka (1447 Masehi), semua jumlah penduduk yang menetap di Dukuh
Cirebon, adalah 346 orang. Laki‑laki 182 orang dan wanita 164 orang.
Rinciannya: Sunda 196 orang, Jawa 106 orang, Sumatera 16 orang, Hujung
Mendini 4 orang, India 2 orang, Parsi 2 orang, Syam 3 orang, Arab 11 orang, dan
Cina 6 orang.
Wangsa
Manggala dan Tirta Manggala, menduga kata "Cirebon" berasal dari kata
"Sarumban" atau "Caruban". Hal itu, mengingat penduduk
Cirebon pertama, terdiri dari campuran (saruban) berbagai suku bangsa.
Sehingga, pustaka yang disusunnya, diberi judul Purwaka Caruban Nagari (Negeri
Caruban Permulaan). Padahal, kata "Cirebon" sendiri, sudah memberikan
arti dan makna yang cukup jelas. Cirebon, ci berarti sungai; dan rebon berarti
udang kecil. Cirebon, berarti sungai yang banyak udang-udang kecilnya.
Di
dukuh Cirebon Pasisir, Pangeran Walangsungsang larut dengan kehidupan
masyarakat kecil, dan ia memerankan dirinya sebagal Guru Agama Islam, dengan
panggilan akrab Ki Samadullah. Bersama santri-santrinya, Ki Samadullah,
mendirikan Tajug (Masjid), diberi nama Jalagrahan. (Jala=air; grahan=rumah), yang
terletak di tepi laut.
/ kaucap ri sedeng ki
cakrabhumi lawan myi nira matithi ring giri ngamparan jati ing pondok guru nira
// syeh datuk khahphi ya to syeh maulana idlophi ngaran ira waneh / vrineh
pituduh ring sisya nira // mangkana ling sang guru / anak ngwang/ kamung marwa
samidahaken to sera baitullah ing mekahnagari i ngarabbumi //
Terjemahan:
Teriwayatkan, Ki
Cakrabumi dan adiknya (Larasantang) pergi berkunjung ke Gunung Amparan Jati, ke
tempat tinggal guru mereka Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Maulana Idlofi nama
lainnya, kemudian memberi petunjuk kepada muridnya itu. Sang guru mengingatkan,
"Anakku, agar kamu berdua sama‑sama mendapatkan kesempurnaan Islam,
pergilah kalian ke Baltullah negeri Mekah di tanah Arab".
Sesudah memperhatikan nasihat gurunya,
Ki Samadullah dan adiknya, pergi berlayar untuk menunaikan ibadah Haji.
Sedangkan isterinya Pangeran Walangsungsang, Nyai Indang Geulis, tidak bisa
ikut, karena sedang hamil.
Pangeran Walangsungsang bersama Nyai
Larasantang, berlayar menuju Tanah Arab. Di tengah perjalanan, kapal layarnya
singgah di negeri Mesir. Beberapa orang pembesar dari negeri Mesir, naik ke
kapal layar, degan maksud yang sama, untuk menunaikan ibadah Haji ke Mekah.
Tidak terkisahkan lamanya perjalanan. Akhirnya, kapal layar yang ditumpangi
Pangeran Walangsungsang dan Nyai Larasantang, tiba di pelabuhan Jedah. Kedua
kakak beradik dari Cirebon Pasisir itu, menjadi perhatian seorang Walikota
Mesir Syarif Abdullah yang bergelar Sultan Makmun. Syarif Abdullah, adalah
keturunan Bani Hasyim, yang pernah berkuasa atas wilayah Palestina. la. menjadi
Walikota Mesir, di bawah kekuasaan Sultan Mesir wangsa Ayubi, dari Bani
Mameluk.
Syarif Abdullah adalah
putera Ali Nurul Alim.
Ali Nurul Alim putera
Jamaluddin Al Husain (Kamboja).
Jamaluddin Al Husain
putera Ahmad Shah Jalaluddin.
Ahmad Shah Jalaluddin
putera Amir Abdullah Khanudin.
Sedangkan Amir Abdullah
Khanudin, generasi ke‑I7 keturunan Rasulullah Muhammad.
Kembali kepada Syarif
Abdullah.
Ternyata,
Syarif Abdullah telah jatuh cinta, kepada Nyai Larasantang. Terpikat oleh
puteri keraton Pajajaran yang cantik jelita, samyasanya sang candreng patwelas
suklapaksya (bersinar
bagaikan benderangnya bulan tanggal empat belas).
Di
tanah suci Mekah, Pangeran Walangsungsang atau Ki Samadullah, Nyai Larasantang
dan Syarif Abdullah (Walikota Mesir), sama‑sama tinggal di rumah Syekh
Bayanullah, adiknya Syekh Datuk Kahfi. Di rumah Ki Bayanullah itulah, Nyai
Larasantang dan Syarif Abdullah Saling jatuh cinta dan mengikat janji.
…// tu-
muLuy nay larasantang
pinak-
stri de nira syarifih
abdullah
lawan sinungan
pasengga-
han nay syariphah mudai‑
m/…
Terjemahan:
Selanjutnya, Nyai
Larasantang diperisteri oleh Syarifah Abdullah dan diberi gelar Nyai (Hajjah)
Syarifah Muda'im.
/ i sedeng sang raka
nira
sinungan pasenggahan
haji
abdullah iman a jawi //
te
lung cndra tumuli haji
abdnllah iman mulih
ring ja
wadwipa / mruang rayi
nira ta
molah rikung//
Terjemahan:
Sedangkan kakaknya,
diberi gelar Haji Abdullah Iman Al Jawi. Tiga bulan kemudian, Haji Abdullah
Iman pulang ke Pulau Jawa . Dan adiknya menetap di sana.
.. // kahucapa nikang
lampah ira mulih ping
jawa //
haji abdullah iman
mande‑
g ing carnpanagari / ri
sarnpu-
nya tekan carbon haji
a-
bdullah iman dumadi
rawaara-
warah agameslam ri
janrnapa-
da/..
Terjemahan:
Teriwayatkan dalam
perjalannya pulang menuju (Pulau) Jawa , Haji Abdullah Iman singgah di negeri
Campa. Sesudahnya, tiba di Cirebon, Haji Abdullah mengajarkan agama Islam
kepada masyarakat.
// hana prua
pasanggaman ni-
ra haji abdullah ima-
n lawan nay indang
ghelis manakta
stri nay pakungwati ngaran
nira //
Terjemahan:
Adapun dari
perkawinannya, Haji Abdullah Iman dengan Nyai Indang Geulis, mempunyai anak
perempuan, Nyai Pakungwati namanya.
Haji
Abdullah Iman memperisteri puteri Ki Gedeng Alang‑dang, yaitu Nyai Ratnariris
atau Nyai Kancanalarang. Dan perkawinannya, Haji Abdullah Iman mempunyai anak
laki‑laki, diberi nama Pangeran Carbon (Pangeran Cirebon) .
Setelah
Ki Gedeng Alang-alang wafat, Ki Cakrabumi menjadi Kuwu kedua, yang kelak
dikenal pula sebagai Embah Kuwu Sangkan. Tidak lama kemudian, kakeknya, Ki
Gedeng Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa, wafat. Pangeran Cakrabuana mendapat
warisan, semua kekayaan dari kakeknya itu. Ki Gedeng Tapa, selain sebagai
penguasa Singapura, ia juga menjadi Jurulabuan yang kaya raya. Harta warisan
yang diterima oleh Haji Abdullah Imam digunakan untuk membangun Cirebon
Pasisir, dijadikan sebuah kota besar. la membangun Keraton, kemudian diberi
nama Pakungwati, sama dengan nama puterinya. Kata pakung, adalah sebutan lain
untuk udang kecil, yang banyak didapat dari sungai Cirebon.
Kemudian,
Pangeran Walangsungsang alias Haji Abdullah Imam membentuk tentara yang
dilengkapi pasukan panah. Maka jadilah Cirebon, sebagai kerajaan corak Islam
pertama di Kerajaan Sunda Pajajaran.
Sri
Baduga Maharaja Kerajaan Sunda, sangat gembira mendengar keberhasilan
puteranya. Kemudian, ia mengutus Tumenggung Jagabaya, disertai pasukan
pengawalnya, untuk menobatkan puteranya. Sang Prabu mengirimkan Pratanda (tanda
keprabuan) dan Anarimakna Kacakrawartyan (tanda kekuasaan), sebagai tanda
pengakuan dan pengukuhan puteranya. Pangeran Walangsungsang, atau Ki
Samadullah, atau Ki Cakrabumi, atau Pangeran Cakrabuana, dinobatkan sebagai
Tumenggung dan diberi gelar Sri Mangana, oleh ayahnya, Sri Baduga Maharaja.
B. SUSUHUNAN JATI CIREBON
Dalam Pustaka
Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa
I sargah 4 dan Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 4, mengenai silsilah
turunan Rasulullah Muhammad, nihan tekang panusun ikang sayuktinya (begini
susunan yang sesungguhnya):
//rasul muhammad manak
ta pati‑
mah ajwahra pinakastri
de-
ning sayidana ali ibnu
abi thalib / ing
pasangga-
man nira manak sayid
huse-
n assabti / sayid husen
a-
ssabti manak iman
jainal a-
bidin iman jainal abi-
din manak muhammad al
bakir/
muhammad al bakir manak
ima-
n japar sadik / iman
japar sa-
dik manak ali al uraidi
//
Terjemahan:
Rasul Muhammad
mempunyai anak Fatimah Azzahra, diperisteri oleh Sayidina Ali ibnu Abi Thalib.
Dari perkawinannya mempunyai anak Sayid Husein Assabti. Sayid Husein Assabti
mempunyai anak Iman Zainal Abidin. Iman Zainal Abidin mempunyai anak Muhammad
Al Bakir. Muhammad AI Bakir mempunyai anak Iman Jafar Syadik. Iman Jafar Syadik
mempunyai anak Ali AI Uraidi.
Kemudian,
Ali Al Uraidi mempunyai anak beberapa orang. Dua orang di antaranya: Sulaiman
Al Basri dan Muhammad Annaghib (Sayid Idris), adalah generasi ketujuh turunan
Rasulullah Muhammad.
Sulaiman Al Basri
menetap di Parsi (Iran), mempunyai anak beberapa orang. Salah seorang di
antaranya Abu Zain Al Basri.
Abu Zain Al Basri
mempunyai anak Ahmad Al Baruni.
Ahmad Al Baruni
mempunyai anak Sayid Idris Al Malik.
Sayid Idris Al Malik
mempunyai anak Muhammad Makdum Sidik.
Sayid Muhammad Makdum
Sidik mempunyai anak Sayid Hibatullah.
Sayid Hibatullah
mempunyai anak Sayid Maimun.
Sayid Maimun mempunyai
anak Fatimah, diperisteri oleh Sayid Hassan. la meninggal dunia di Jawa
Timur.
Dari
perkawinannya, Fatimah dengan Syekh Sayid Hassan dari negeri Arab bagian
selatan, mempunyai anak beberapa orang. Salah seorang di antaranya, yaitu Sayid
Abdurrakhman yang menetap di kota Tarim. Sayid Abdurrakhman orang kaya.
Mempunyai anak beberapa orang. Salah seorang di antaranya wanita, yaitu Sarah.
Sarah diperisteri oleh Sayid Abdul Malik. Dari perkawinannya, mempunyai anak
beberapa orang.
Sayid
Abdul Malik, dari Tarim pindah ke India bersama anak isterinya. Oleh karena
itu, Sayid Abdul Malik mempunyai isteri lagi, kepada puteri pejabat daerah
negeri India. Dari sejak itulah, Syekh Abdul Malik mendapat sebutan Asamat
Khan.
Adapun Abdul Malik,
anak Alwi Amir Pagih.
Alwi Amir Pagih anak
Muhammad.
Muhammad anak Ali AI
Ghayam.
Ali AI Ghayam anak
Sayid Alwi.
Sayid Alwi anak
Muhammad.
Muhammad anak
Ubaidillah.
Ubaidillah anak Ahmad
Al Muhajir.
Ahmad AI Muhajir anak
Isa Al Basri.
Isa
Al Basri anak Muhammad Anaghib, yaitu adik dari Sulaiman Al Basri. Kedua‑duanya,
sama-sama generasi ketujuh keturunan Rasulullah Muhammad. Sebab, Sayid Abdul
Malik dengan isterinya Sarah, asalnya merupakan satu keluarga.
Riwayat
selanjutnya, Sayid Abdul Malik dengan puteri India, mempunyai anak beberapa
orang. Salah seorang di antaranya, bergelar Al Amir Abdullah Khannudin atau
Maulana Abdullah nama lainnya.
Abdullah
Khannudin, mempunyai anak beberapa orang. Salah seorang di antaranya: Al Amir
Ahmad Syah Jalaluddin, disebut juga Zainal Abidin Al Kabir.
Kemudian
Al Amir Ahmad Syah Jalaluddin, mempunyai anak beberapa orang. Salah seorang di
antaranya: Imam Jamaluddin Al Husein, atau disebut juga Jamaluddin Al Kabir.
Dari
India, Imam Jamaluddin Al Husein pindah ke Kamboja, yang seterusnya menetap di
sana, sebagai guru agama Islam, mengajar penduduk di sana.
Riwayat selanjutnya,
Imam Jamaluddin AI Husein atau disebut Sayid Husein, mempunyai anak beberapa
orang, tiga di antaranya:
1. Ali
Nurul Alim;
2. Barkat
Zainal Alim; dan
3. Ibrahim
Zainuddin Al Akbar.
Ali Nurul Alim, menetap
di negeri Mesir, mempunyai isteri seorang puteri Mesir. Mempunyai anak beberapa
orang, empat di antaranya:
1. Syarif
Sulaiman Al Bagdad; menjadi penguasa di salah satu kota negeri Bagdad, tidak
mempunyai anak.
2.
Syarifah Halimah; yang diperisteri oleh Syekh Datuk Kahfi, menjadi guru agama
Islam di Hujung Mendini (Malaysia).
3. Syarif Abdullah Al Masir; menjadi Walikota di
negeri Mesir, memperisteri Larasantang atau Syarifah Muda'im, puteri Sri Baduga
Maharaja dari Kerajaan Sunda Pajajaran.
4. Syarif
Abubakar; disebut juga Syarif Ungkah Jutra.
Ketika menetap di
negeri Bagdad, Syarifah Halimah dengan Syekh Datuk Kahfi (Syekh Nurjati alias
Syekh Maulana Idlafi), mempunyai anak 4 orang, masing masing ialah:
1. Syarif
Abdurakhman;
2.
Syarifah Bagdad;
3. Syarif
Abdurakhim;
4. Syarif
Hafiddin Abbas.
Keempat
orang anak Syekh Datuk Kahfi dari Syarifah Halimah, menjadi anak angkat uwanya,
yaitu Sultan Sulaiman Al Bagdad, hingga keempat anak itu mencapai usia remaja
(pemuda). Hal itu tetjadi, karena ayahnya (Syekh Datuk Kahfi), pergi ke Jawa
dwipa, dan menetap di Giri Amparan Jati Cirebon.
Riwayat
yang menjadi penyebab, hingga Syekh Datuk Kahfi tinggal di Dukuh Pasambangan,
yaitu ketika Syekh Datuk Kahfi tinggal di Parsi (Iran). Bersama 12 pengikutnya
(I0 laki‑laki dan 2 wanita), ia menjadi duta negeri Parsi, untuk menggalang
persahabatan dengan Ki Gedeng Tapa, Juru Labuan Muara Jati Cirebon.
Syekh
Datuk Kahfi, oleh Ki Gedeng Tapa, diminta untuk menjadi guru agama Islam di
Singapura (Cirebon). Di sanalah Syekh Datuk Kahfi menyebarkan Islam di daerah;
Pasambangan, Junti, Japura, Panjunan dan beberapa desa lainnya. Syekh Datuk
Kahfi menetap di desa Pasambangan, menikah dengan Hadijah, cucunya Haji Purwa
Galuh.
Setelah
menguraikan silsilah keturunan Rasulullah Muhammad sampai kepada Syekh Datuk
Kahfi, pada naskah yang sama ditegaskan pala;
kang sayuktinya sakweh
ing kamastwing athawa
si-
nebut wali / kumwa juga
sunan lawan dan
accarya-
gameslam ri nusannusa i
bhu-
mi nusantara mwang len
naga-
ri yatiku hujung
mendini //
campa / kamboja /
bharata-
nagari / parsi / athawa
sa-
keng masaring tekeng
ma-
gribi mwang lenya waneh
/
hana ta putro pada-
na ning rasul muhammad
mangkana juga sira seh
datuk khahphi lawan
wali‑
wali lenya / kumwa ju‑
ga lawan sira seh le‑
mah abang/ mangkana
pasana‑
kan nira//
Terjemahan:
Sesungguhnya, semua itu
para Kamastu atau disebut Wali. juga semua Sunan dan Guru Agama Islam di
kepulauan Nusantara dan negeri lainnya: Hujung Mendini, Campa, Kamboja,
Bharatanagari (India), Parsi (Iran) atau dari Masrik sampai Magrib dan yang
lainnya lagi, dari setiap turunan Rasul Muhammad. Begitu juga Syekh Datuk Kahfi
dan Wali‑wali lainnya. Begitu juga dengannya Syekh Lemah Abang beserta
keturunannya.
Maka
jelaslah sudah, yang disebut Wall itu adalah: para Kamastu, Sunan dan Guru
Agama Islam, dari setiap keturunan Rasulullah Muhammad.
Selanjutnya,
dalam naskah yang sama diriwayatkan pula silsilah tokoh-tokoh penyebar agama
Islam lainnya, yang ada kaitannya dengan alur keturunan Rasulallah Muhammad,
antara lain sebagai berikut:
Syekh
Abdullah Khanuddin, mempunyai anak beberapa orang, dua orang di antaranya;
pertama, Al Amir Ahmad Syah Jalaluddin, kedua, Syekh Khadir Kaelani.
Selanjutnya, Syekh Kadir Kaelani mempunyai anak Syekh Maulana Isa atau Syekh
Datuk Isa, yang menetap di negeri Malaka.
Syekh
Datuk Isa mempunyai anak beberapa orang, di antaranya:
1. Syekh
Datuk Ahmad; mempunyai anak beberapa orang. Tiga orang di antaranya yaitu; yang
pertama perempuan, yang kedua Syekh Datuk Kahfi, dan yang ketiga Syekh Bayan.
2. Syekh
Datuk Soleh; mempunyai anak Syekh Abdul Jalil atau Syekh Jabaranta alias Syekh
Lemah Abang, mempunyai anak Syekh Datuk Pardun.
Itulah alur turunan
Iman Jamaluddin Al Husein (Jamaluddin Al Kabir atau Sayid Husein), dari garis
putera pertamanya: Ali Nurul Alim. Sedangkan alur garis keturunan dari putera
keduanya (Barkat Zainal Alim), adalah sebagai berikut:
1. Barkat
Zainal Alim mempunyai putera beberapa orang. Dua orang di antaranya, yaitu:
2. Maulana
Abdul Ghafur atau Maulana Malik Ibrahim; dan
3. Ahmad
Syah Zainul Alim
Salah seorang putera
Maulana Abdul Gafur (Maulana Malik Ibrahim), yaitu Maulana Makdur Ibrahim, yang
mempunyai anak beberapa orang.
Dua orang di antaranya,
yaitu:
1. Maulana
Fadhillah Al Paseh atau Wong Agung Paseh Tubagus Paseh; selanjutnya menjadi
Bupati Sunda Kalapa, dengan gelar Fadhillah Khan Al Paseh ibnu Maulana Makdur
Ibrahim Al Gujarat;
2.
Syarifah Habibah binti Maulana Makdur Ibrahim Al Gujarat; kemudian menetap di
Panguragan Cirebon, dengan nama sebutan Nyai Agheng Panguragan.
Putera
Iman Jamaluddin Al Husein yang ketiga, yaitu Ibrahim Zainuddin Al Akbar atau
Maulana Syamsu Tamres, atau lebih dikenal dengan sebutan Syekh Ibrahim Akbar, menetap
di Kamboja. Tokoh inilah yang sempat dikunjungi oleh Pangeran Cakrabuana (Haji
Abdullah Iman), ketika perjalanan pulang setelah menunaikan ibadah haji dari
Mekah.
Ibrahim
Zainuddin Al Akbar mempunyai isteri puteri raja Campa, yaitu Dewi Candrawulan.
Adik Dewi Candrawulan, yaitu Dewi Darawati, tinggal di Pulau Jawa menjadi
isteri Raja Majapahit Brawijaya V atau Prabu Kertabumi.
Dari
perkawinan Ibrahim Zainuddin Al Akbar dengan Dewi Candrawulan, dikaruniai
beberapa orang anak. Dua di antaranya yaitu;
1. Ali AI
Mustada; dikenal dengan sebutan Tubagus Alimin
2. Ali
Rakhmatullah; dikenal dengan sebutan Tubagus Rakhmat.
3. Ali
Rakhmatullah atau Tubagus Rakhmat alias Raden Rakhmat, sejak usia muda sudah
menekuni ilmu agama Islam. la berguru kepada ayahnya di negeri Campa, selesai
berguru ia pergi ke Pulau Jawa.
Dalam
perjalanannya, singgah di Palembang, Sumatera. Di Palembang, Ali Rakhmatullah
tinggal selama 6 bulan, di sana sempat mengajarkan agama Islam kepada penduduk.
Hingga Bupati Palembang yaitu Arya Damar, memeluk agama Islam dengan gelar Arya
Dillah.
Arya
Dillah atau Arya Damar, adalah bupati dari Majapahit untuk Palembang. Karena
pada waktu itu, Palembang merupakan wilayah kekuasaan Majapahit. Arya Dillah
memperisteri seorang puteri Cina, yaitu Siu Ban Ci, dan mempunyai anak Raden
Kusen (yang kelak disebut Dipati Terung).
Ratna
Siu Ban Ci (puteri Tan Go Wat alias Ki Bentong), adalah janda Prabu Kretabhumi
atau Prabu Brawijaya V. Dari perkawinannya dengan Raja Majapahit ini, Siu Ban
Ci dikaruniai anak bernama Jin Bun atau Raden Praba (kelak bernama Raden
Patah).
Setelah
enam bulan di Palembang, Ali Rakhmatullah melanjutkan perjalanannya ke Pulau
Jawa, dan singgah di negeri Banten. Setelah menetap beberapa lama, Ali
Rakhmatullah berangkat kembali, menuju ke Jawa Timur, untuk menemui
uwanya di Keraton Majapahit.
Di
Keraton Majapahit, Ali Rakhmatullah menemui Ratu Darawati, isteri Brawijaya V
Prabu Kertabunu. Ratu Darawati, adalah kakak Candrawulan (ibunda Ali
Rakhmatullah).
Atas
usulan Ratu Darawati, oleh Prabu Kertabumi, Ali Rakhmatullah diberi sebidang
tanah perdikan di Ampel Denta. Kemudian, Ali Rakhmatullah menetap di Ampel
Denta itu (Surabaya).
Ali
Rakhmatullah mengajarkan agama Islam kepada penduduk Ampel Denta. Dalam jangka
3 tahun, semua penduduk Ampel Denta, memeluk agama Rasul Muhammad. Di sanalah
Ali Rakhmatullah atau Tubagus Rakhmat alias Raden Rakhmat, mendapat julukan
Susuhunan Ampel (Sunan Ampel).
Ali
Rakhmatullah atau Sunan Ampel, berjodoh dengan puteri bupati Tuban (Arya Teja),
yaitu Ratnawati alias Nyai Ageng Manila. Dari perkawinannya, dikaruniai anak
beberapa orang, empat orang di antaranya:
1. Maulana
Makdum Ibrahim yang bergelar Sunan Bonang;
2. Maulana
Syarifuddin yang bergelar Sunan Drajat;
3. Nyai
Ageng Maloka atau Nyai Ageng Tendes; dan
4. Puteri,
yang diperisteri oleh Raden Sahid (Sunan Kalijaga), putera bupati Tuban
(Tumenggung Majapahit).
Selain
dengan puteri Sunan Ampel, Raden Sahid alias Sunan Kalijaga berjodoh pula
dengan Dewi Saroh, puterinya Maulana Ishak. Mereka dikaruniai tiga orang anak,
antara lain:
1. Raden
Umar Sahid yang bergelar Sunan Murya (ketika belum dewasa bernama Raden
Prawoto); memperisteri puteri Sunan Undung, yaitu Dewi Sujinah;
2. Dewi
Rukayah;
3. Dewi
Sofiyah.
Perkawinan
Sunan Murya dengan Dewi Sujinah (adik Sunan Kudus), dikaruniai anak laki‑laki,
yaitu Pangeran Santri dengan gelar Sunan Kadilangu.
Sunan
Kudus atau Jafar Syadik, memperisteri puteri Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan
Bonang, yaitu Dewi Rukhil, dan mempunyai anak laki‑laki, yaitu Raden Amir
Hassan.
Dari
isterinya yang lain, yaitu puterinya Pangeran Pecat Tanda Terung, Sunan Kudus
dikaruniai delapan anak laki‑laki dan perempuan. Di antaranya, masing masing:
1. Nyai
Ageng Pembayun;
2.
Panembahan Palembang;
3.
Panembahan Mekaos Hanggakusuma;
4.
Panembahan Kodi;
5.
Panembahan Karimun;
6.
Penambahan Joko;
7. Ratu
Pakoja; dan
8. Ratu
Prodo Binabar, yang berjodoh dengan Pangeran Poncowati yang menjadi Senapatinya
Sunan Kudus.
Selanjutnya,
diriwayatkan silsilah keturunan Ali Rakhmatullah dari isterinya yang kedua,
yaitu Siti Khorimah, puteri Ki Wiryosarojo. Mereka dikaruniai anak perempuan
dua orang, yaitu:
1. Siti
Murtasiyah; berjodoh dengan Raden Paku yang bergelar Sunan Giri;
2. Siti
Mursimah.
Raden
Paku alias Sunan Giri, adalah puteranya Maulana Ishak, dari isterinya yang
berasal dari Blambangan. Sunan Giri berjodoh juga dengan Siti Wardah, puterinya
Ki Ageng Bungkul.
Selanjutnya Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara, parwa II sarga 4, dan Pustaka
Pararatwan i Bhumijawadwipa, parwa I sarga 4, meriwayatkan secara rinci tokoh
Syarif Hidayat, antara lain sebagai berikut:
..//ipa-
sanggaman nira sariph
abdullah
lawan sanphah mudaim
mana-
k ta jala rwang siki/
ya ta
pantaranya
sowangsowang/sya-
riph hidayat lawan
syariph nuru-
llah ngaran nira
Terjemahannya:
Dari perkawinannya,
Syarif Abdullah dengan Syarifah Muda'im (Nyai Larasantang), mempunyai anak dua
orang, di antaranya masing‑masing ialah, Syarif Hidayat dan Syarif Nurullah
namanya.
.. / ing pasanggama-
n nira nay sariphah
mudaim la-
wan syariph abdullah
manak ta
jalu syariph hidayat
ngaran i-
reng saharsa telungatu-
s pitung puluh ikang
saka-
kala //
Terjemahannya:
Dari perkawinannya,
Syarifah Muda'im dengan Syarif Abdullah, mempunyai anak laki‑laki, Syarif
Hidayat namanya. Lahir tahun 1370 Saka (1448 Masehi).
ri sampunya syariph
hidayat yuswa taruna / akara Twang puluh warsya / rasika dharmestha mwang ahyun
dumadyaken accaryagameslam / matangyan lungha to ya ring mekah // ri kanang rasika
maguru ring seh tajuddin al kubri laurasnya rzuang warsya/ irika to ya ringseh
ataullahi sajjilli ngaran aranung panganutanya imam saphii// ring huuncs Twang
warsya / tumuluy rasika lungha ring kitha bagdad/ ng kana magunn tasawwuph
rasul laman tamolah ing pondok unuang pasanak rama nira // tumuluy mulih to ya
ring masimagan // syariph hidayat urns makolih akweh ngaran ira ya to sayid al
kamil seh nurrudin ibrahim ibnu maulana sultan mahmud cl khibti ngaran ira
waneh //
Terjemahan:
Sesudah Syarif Hidayat
menjadi pemuda, baru berusia dua puluh tahun, bersikap saleh dan ingin menjadi
guru agama Islam. Oleh karena itu pergi dari Mekah. Di sana berguru kepada
Syekh 'Tajuddin al Kubri, lamanya dua tahun. Pada waktu itulah, dari Syekh
Athallahi Sajjilli, ia mengetahui nama anutan mazhab Imam Syafi'i. Selesai dua
tahun. Selanjutnya pergi ke kota Bagdad. Di sana berguru Tasawuf Rasul dan
tinggal di pesantren saudara ayahnya. Selanjutnya pulang ke negeri Mesir.
Syarif Hidayat sudah mendapatkan banyak nama, yaitu Sayid Al Kamil, Syekh
Nuruddin Ibrahim ibnu Maulana Sultan Mahmud Al Khibti nama lainnya.
ateher syariph hidayat
lungha ring Jawa dwipa // ikang lampahnya rasika mandeg ring ghujarat tamolah
ri kanang lawasnya telung candra /
Terjemahannya:
Kemudian Syarif Hidayat
pergi ke Pulau Jawa . Dalam perjalanannya, singgah di Gujarat. Tinggal di sana
lamanya tiga bulan.
Ketika singgah di
Gujarat, Syarif Hidayat bertemu dengan Dipati Keling, bersama 98 anak buahnya,
kemudian masuk agama Islam dan menjadi muridnya. Kemudian, mereka berlayar
bersama‑sama, menuju Pulau Jawa . Sebagaimana yang terungkap dalam Pustaka
Pararatwan i Bhumi Jawa dwipa, parwa parwa I sarga 4, antara lain
sebagai berikut:
..//ing lampahira
dipati kheling sakeng bharatanagara lawan wadzuanya sakweh ira sangang puluh
punjul wmalu / sinelamakna de nira syariph hidayat/ dipati kheling lawan
wadruanya manut lawan sayid kamil/
Terjemahan:
Dalam perjalanannya
(Syarif Hidayat), disertai Dipati Keling dari India serta anak‑buahnya, yang
semuanya berjumlah 98 orang, di‑Islam‑kan oleh Syarif Hidayat. Dipati Keling
serta anak buahnya setia (mengabdi) kepada Sayid Kamil.
tumuluy ring pasehnagnri / ngke syariph hidayat tamolah ring
pondok wuang pasanak ira ya to / sayid ishak dumadi accaryagameslam ing pa‑
hvsnltanan Paknnguati C'irebon
sehnagan i swarnadwapa // ing
pasehnagari lawas ira nuan war‑
sya //
Terjemahan:
Selanjutnya, (singgah)
di negeri Pasai. Di sana Syarif Hidayat tinggal di Pesantren saudaranya, yaitu
Sayid Ishak yang menjadi guru agama Islam di negeri Pasai, Sumatera. Di negeri
Pasai (tinggal) selama dua tahun.
Selanjutnya, Syarif
Hidayat alias Sayid Kamil, singgah di Banten (mungkin Banten Pasisir),
mengajarkan agama Islam di sana, berjodoh dengan puteri Adipati Banten, Nyai
Kawung Anten. Sesungguhnya, Syarif Hidayat singgah di Banten, ingin bertemu
dengan Ali Rakhmatullah.
makanimitta sayid kamil
lu‑
ngha ring ngampel lawan
maha
wan prahwanya wwang
Jawa we
tan/ sakamatyan ika
para wali sakwehnya
hana
rikn / sira
sowangsowang wi
neh ta swakarya mawarah
marah agama rmul ring
janma
padaneng desyadesya
kang ma
ngannt syiwabudha //
Terjemahan:
Itulah sebabnya
Sayid Kamil (Syarif Hidayat) pergi ke Ampel, naik perahunya (kapal layar) orang
Jawa timur. Pada waktu itu para Wali semuanya ada di sana. Masing‑masing
diberi pekerjaan (berkewajiban) mengajarkan agama Rasul (Islam) kepada penduduk
desa-desa yang menganut agama Syiwa‑Budha.
Syarif
Hidayat bersilaturakhmi dan berkenalan dengan para Wali yang berada di
Jawa Timur. Selanjutnya, Syarif Hidayat atau Sayid Kamil, bersama Dipati
Keling dan anak‑buahnya, berlayar menuju Cirebon. Kunjungannya ke Cirebon,
untuk menemui uwanya (kakak ibunya), Sang Tumenggung Sri Mangana Pangeran
Cakrabuana Haji Abdullah Iman, penguasa Kerajaan Islam Pakungwati Cirebon.
Di
Kerajaan Islam Pakungwati Cirebon, Syarif Hidayat atau Sayid Kamil, menemui
uwanya, Sang Tumenggung Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman.
Alangkah sukacitanya Sri Mangana, ketika ditemui oleh anak adiknya (suwannya)
itu.
Begitu
pula Syarif Hidayat, sangat gembira, dapat bertemu dengan uwanya, yang telah
berhasil mendirikan Kerajaan Islam pertama, di Kerajaan Sunda. Akhirnya, Syarif
Hidayat bersama Dipati Keling serta 98 anak‑buahnya, menetap di Pakungwati
Cirebon.
Syarif
Hidayat, Dipati Keling serta 98 anak buahnya, ditempatkan di Giri Sembung
Amparan Jati (Gunung Jati). Syarif Hidayat diberi jabatan sebagai Guru Agama
Islam di Pondok Quro Amparan Jati, sebagai pengganti Syekh Datuk Kahfi. Syarif
Hidayat berjodoh dengan kakak sepupunya, Nyai Mas Pakungwati.
sembung syariph hidayat si nebut maulana jati / syeh jati ngaran
ira waneh // tumuluy magawe pondok riknng// datan lawas pantara ning janmapada
akweh ikang maguru ring sayid kamil / hana pwa syariph hidayat ya to sayid al
kamil kang tumuli makanama susuhunan jati / sunan carbon ngaran ira waneh //
sangang warsa ri huwusnya sira tamolah ing Jawa dwipa //
Terjemahan:
Di Giri Sembung, Syarif
Hidayat disebut Maulana Jati atau Syekh Jati sebutan lainnya. Selanjutnya
mengelola (magawe) pesantren itu. Setelah beberapa lama kemudian, semua
penduduk berguru kepada Sayid Kamil. Adapun Syarif Hidayat, yaitu Sayid Al
Kamil, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Susuhunan Jati atau Sunan Cirebon
nama lainnya. Sembilan tahun sudah ia berada di Pulau Jawa .
Sang
Tumenggung Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman, mempunyai
penilaian tersendiri kepada Syarif Hidayat. Demi untuk kepentingan penyebaran
Islam, Sang Tumenggung mewariskan tahtanya, kepada suwan yang sekaligus menantunya,
Syarif Hidayat.
.......//sya_
riph hidayat rinatwaken
to
sira dumadi ratu carbon
de
ning uwa nira pangeran
cakrc
bhuana pinaka
tumenggung
tunggaling rajya carbon
lawan na
masyidam susuhunan jati
//
Terjemahan:
Syarif Hidayat dilantik
menjadi Raja Cirebon oleh uwanya Pangeran Cakrabuana, sebagai Tumenggung
Kerajaan Cirebon, dengan gelar Susuhunan Jati.
.......// rasi‑
ka dumadi ratu
mahardhika
hanging pajajaran
aisyanya
ri sunda i bhumi
Jawa kulwan /
sakamatyan ika para
kama
stwing ikang sangan manungsung
sukha
mwang mangastungkara
ring Pabhiseka
n ira ika / yadyapi
maka
behan ira / sang
pinakadi
slam hanging Jawa dwipa
/
Terjemahannya:
Dia menjadi raja
mahardika (memerdekakan diri) dari naungan Sunda Pajajaran di bumi Jawa
Barat. Pada waktu itu, para Wali Sanga (di Jawa Timur) menyambut gembira,
menyerukan pujian atas penobatannya, dan semua memberikan dukungan, untuk meng
Islanrkan (penghuni) Pulau Jawa.
Semua
pemimpin masyarakat desa di Cirebon sangatlah suka-cita. Pejabat penguasa
daerah, pesta meriah, mengadakan syukuran di Paseban Keraton Pakungwati.
Untuk
mengukuhkan penobatan Susuhunan Jati, dilakukan oleh para Wali dari Jawa
Timur, yang dihadiri pula oleh Raden Patah sebagai Sultan Demak. Mereka hadir
di Keraton Pakungwati Cirebon, disertai armada laut dan balatentara Kesultanan
Demak, yang dipimpin oleh Panglima Fadhillah Khan.
ateher kamasturing ikang sangan manganugrahani ring susuhunan
jati kakawasan dumadi panetep panatagama rat sunda i bhumi Jawa kulwan
ikang tamalah ing kitha carbon.
Terjemahannya:
Kemudian Wali Sanga
menganugerahi gelar kekuasaan kepada Susuhunan Jati menjadi Panetep Panatagarna
rat Sunda i Bhurni Jawa Kulwan (Panetep Panatagama kawasan Sunda di Bumi
Jawa Barat) berkedudukan di negeri Cirebon.
Karena
tanpa persetujuan pemerintahan pusat (Pakuan Pajajaran), Sri Baduga Maharaja
mengutus Tumenggung Jagabaya bersama pasukan pengawalnya, untuk menertibkan dan
mengatasi keadaan di Cirebon. Ketika Tumenggung Jagabaya beserta pasukan
pengawalnya tiba di Cirebon, mereka disergap di Gunung Sembung oleh pasukan
gabungan Cirebon‑Demak yang dipimpin oleh Senapati Demak Fadhillah Khan.
Tumenggung Jagabaya dan pasukan pengawalnya, akhirnya masuk agama Islam.
Karena Tumenggung
Jagabaya serta pasukan pengawalnya, lama tidak kembali ke Pakuan, Sri Baduga
Maharaja segera mempersiapkan angkatan perang besar Kerajaan Sunda Pajajaran.
Akan tetapi, niatnya untuk menyerang Pakungwati Cirebon, dapat dicegah oleh
penasihatnya Ki Purwagalih.
Ki Purwagalih
mengingatkan kepada Prabu Siliwangi, bahwa:
1. Syarif
Hidayat, adalah cucunya sendiri dari Larasantang;
2. Syarif
Hidayat, adalah menantu Walangsungsang, atas pernikahannya dengan Pakungwati;
dan
3.
Penobatan awal Syarif Hidayat, atas kehendak Pangeran Cakrabuana, puteranya sendiri.
"Betapa tidak
terpujinya, Sang Kakek memerangi cucunya," itulah yang dinasihatkan oleh
Ki Purwagalih kepada Sri Baduga Maharaja.
V.
KESULTANAN SURASOWAN BANTEN
A.
SABAKINGKIN ALIAS HASANUDDIN
Dalam
disertasi Sadjarah Banten Hoesein Djajadiningrat (1913), sebutan Sorasowan,
adalah gelar untuk Maulana Hasanuddin:
Hasanuddin, atas usul
orang tuanya, dinobatkan menjadi raja dengan gelar Panembahan Sorasowan, dan
kembali bersama pengantinnya ke Banten (Djajadiningrat,1983: 35).
Walaupun
Sorasowan digunakan untuk nama gelar, karena mengikuti sebutan Panembahan di
depannya, terkesan Surasowan di sana, menunjukkan kata benda atau keterangan
tempat.
Hal
yang hampir sama, dikemukakan oleh Tubagus Haji Achmad (1935), dalam buku Pakern
Banten, antara lain:
Maulana Hasanoeddin di
Demak dirajakan sekali lagi disaksikan oleh Pangeran‑Pangeran karena penerima
kasih semoeanja mendapat gelaran Panembahan Ratoe Soerasoan. Soera artinja
berani, Soan atau Sadji artinja Radja. Soerasoan berarti Radja jang berani (Achrnad,1935:
60‑61).
Sorasowan
atau Soerasowan (Surasowan), tetap berfungsi sebagai kata keterangan benda,
bagi kata yang ada di depannya.
Saleh Danasasmita (1984), dalam buku Rintisan
Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat juga membahas Surasowan sebagai kata
benda, antara lain:
Salah satu penerus
kekuasaan setelah Pajajaran burak ialah kerajaan Surasowan di Banten. Dalam
sebuah prasasti tembaga berhuruf Arab yang dikeluarkan oleh Sultan Abdul Nazar
(1671‑1687), nama resmi yang digunakan adalah Negeri Surasowan. Surasowan
adalah nama keraton Banten yang dibangun oleh Panembahan Hasanudin. Dari nama
keraton itu tampak bahwa secara tradisional ia mengikuti kebiasaan para raja
pendahulunya. Kita ketahui bahwa nama keraton di Kawali adalah Surawisesa dan
keraton induk di Pakuan diberi nama Suradipati. Juga istana di Jayakarta
kemudian mempunyai nama Surakarta. Berdasarkan gejala itu, Ten Dam (1957)
pernah menyatakan bahwa predikat "Sara" merupakan nama
"resmi" keraton keraton Sunda (Danasasmita,1984:44).
Sorasowan dan Surasowan sebagai nama
sebutan gelar, atau Surasowan sebagai nama sebutan negeri, bahkan ada pula yang
menulisnya dengan Surosowan, semua itu menarik untuk dikaji. Mana sebutan yang
paling tepat: Sorasowan, Surasowan, atau Surosowan?
Hal tersebut, terjadi pula pada sebutan
kerajaan Islam di Cirebon. Pada mulanya, Pakungwati adalah nama orang,
puterinya Pangeran Cakrabuana, pendiri kerajaan Islam di Cirebon. Kemudian
digunakan sebagai nama keraton, yang dibangun di Dukuh Cirebon, menjadi Keraton
Pakungwati. Selanjumya berkembang, menjadi sebutan negeri atau negata:
Kesultanan Pakungwati Cirebon. Pada akhirnya berubah sebutan lagi, menjadi
Kesultanan Cirebon. Pakungwati sebagai nama orang, Pakungwati sebagai nama
keraton, Pakungwati sebagai nama kesultanan, teknis penulisannya tetap lama:
Pakungwati.
Agar tidak terjadi kesalah‑pahaman
dalam teknis penulisan: Sorasowan, Surasowan dan Surosowan, sudah tentu harus
dicari pembandingnya.
Dalam
kajian filologi Carita Parahiyangan sarga 3, Karya Tim Pimpinan Pangeran
Wangsakerta, Atja & Edi S. Ekadjati (1989) mengungkapkan sebagai berikut:
Dalam pernikahan Dewi Mayang Sunda
dengan Sri Baduga Ratudewata, berputera beberapa orang, dua orang di antaranya:
1. Prabu
Surawisesa;
2. Sang
Surasowan, menjadi bupati Banten Pasisir. (Atja & Ekadjati,1989:144 dan
153).
Dari
kutipan tersebut di atas, teka‑teki tentang sebutan Surasowan yang sering
dikemukakan, mulai menampakkan cercah‑cercah sinar terang. Jadi dari puteri
Kentring Manik Mayang Sunda (puterinya Prabu Susuktunggal), Sri Baduga Maharaja
mempunyai dua putera; Prabu Sanghiyang Surawisesa dan Sang Surasowan.
Sebagai putera Sri Baduga Maharaja,
juga sebagai Adipati (raja daerah) di Banten Pasisir, Sang Surasowan berkuasa
atas pelabuhan perdagangan laut, dan mampu mendirikan keraton yang memadai.
Sang Surasowan
mempunyai dua orang putera, antara lain ialah;
1. Sang Arya Surajaya;
dan
2. Nyai
Kawunganten.
Sebagaimana
yang dikemukakan dalarn naskah Pustaka Pararatwan i Bhumijawadwipa parwa I sarga 4 halaman 34, pada masa
pemerintahan Sang Surasowan di Banten Pasisir, Islam sudah mulai bersemi.
satuluynya a-
li rakmatullah umareng Ja-
wa dwipa mandeg sawatareng
bantennagari // riking sang ali
mawarawarahaknagarni rasu-
l ring janrnapada // datan lawas pa-
ntara ning rasika lungha ring
jawa wetan anjuju-
g wwang pasanak ireng
wilwati-
kta kedatwan /
Terjemahannya:
Selanjutnya Ali
Rakhmatullah pindah ke Pulau Jawa , singgah sebentar di Negeri Banten. Di sana
Ali Raktmratullah mengajarkan agama Rasul (Islam) kepada penduduk. Tidak berapa
lama dia berangkat menuju ke Jawa Timur untuk menemui saudaranya di
Keraton Majapahit.
Sebagaimana buyut dan ayahnya (Sang
Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dan Sri Baduga Maharaja), Sang Surasowan
bertindak adil dan bijaksana terhadap pemeluk agama Islam. Atas seijin Sang
Surasowan, dalam waktu yang relatif singkat, Islam yang diajarkan Ali
Rakhmatullah, banyak mendapat simpati dari penduduk. Masyarakat Banten Pasisir
banyak yang menjadi murid Ali Rakhmatullah. Kelak, di kemudian hari, masyarakat
Banten Pasisir masih tetap mengenang dan menghormati jasa Ali Rakhmatullah,
dengan memberi gelar Tubagus Rakhmat.
Sepeninggal Ali Rakhmatullah, kerinduan
masyarakat Banten Pasisir terhadap ajaran Islam, terobati dengan kehadiran
Syarif Hidayat, yang singgah di Negeri Banten sesudah singgah di Pasai
(Sumatera).
tumuluy ring jaxuadunpa
ma-
ndeg ing bantennagari// ngke janma-
pacda akweh ikang meku-
lagama rasul/ mapan pa-
warahmarahan ira sayid rakhma-
t sakeng ngampel ghading
ya namasyidam susuhunan a-
mpel juga wwang pasanak ira //
Terjemahannya:
Selanjutnya, di
Pulau Jawa singgah di negeri Banten. Di sana banyak penduduk yang sudah
memeluk agama Islam. Karena berkat binaan Sayid Rakhmat (Ali Rakhmatullah) dari
Ampel Gading yang bergelar Susuhunan Ampel, yang terhitung masih saudaranya
juga
Sang
Surasowan menyambut baik kehadiran Syarif Hidayat di negerinya. Apalagi setelah
diketahui, bahwa Syarif Hidayat itu putera Larasantang, cucu Sri Baduga
Maharaja, masih saudaranya juga. Dalam waktu yang relatif singkat, Syarif
Hidayat mendapat simpati dan dihormati oleh masyarakat Banten Pasisir. Untuk
mempererat kekerabatan, Syarif Hidayat berjodoh dengan Nyai Kawung Anten,
puterinya Sang Surasowan.
Dari pernikahan Nyai Kawung Anten
dengan Syarif Hidayat, pada tahun 1478 Masehi, Sang Surasowan mempunyai cucu
laki‑laki. Oleh Sang Surasowan, bayi laki‑laki itu diberi nama Sabakingkin.
Oleh Syarif Hidayat, diberi nama Hasanuddin.
Sesunguhnya, riwayat legalitas
Sabakingkin (Hasanuddin) sebagai putera Syarif Hidayat, sudah banyak
terkisahkan dalam naskah‑naskah yang lebih muda. Hanya saja, para penulis
Babad, lebih mengutamakan bumbu daya pikat sastranya, dari pada substansi
historisnya.
Dalam Sajarah Banten Hoesein
Djajadiningrat (1913), tentang "orang tua" Hasanuddin, dikisahkan
sebagai berikut:
Diceritakan sekarang
tentang seorang yang keramat, yang bapaknya berasal dari Yamani dan ibunya dari
Banisrail. Dari Mandarsah ia datang di Jawa , yaitu Pakungwati, untuk
meng-Islam‑kan daerah ini. la mempunyai dua orang anak; seorang perempuan (yang
tua), dan seorang laki-laki bernama Molana Hasanuddin. Dengan anaknya yang laki‑laki
ia berangkat ke arah barat, tiba di Banten Girang, lalu terus ke selatan, ke
Gunung Pulosari (Djajadiningrat, 1983: 33).
Tentang "seorang yang keramat,
yang bapaknya berasal dari Yamani dan ibunya dari Banisrail, kemudian
dijelaskan, bahwa "seorang yang keramat" itu, dari Mandarsah ia
datang di Jawa, yaitu Pakungwati, untuk meng‑Islamkan daerah ini. Secara
tersamar, penulis Babad Banten yang dibahas Hoesein Djajadiningrat, nampak
ingin meriwayatkan orang tua Hasanuddin. Akan tetapi, pengetahuan penulis Babad
Banten tentang silsilah Syarif Hidayat, sangat terbatas. Sehingga sebutan
"orang yang keramat" itulah yang muncul, untuk menyatakan bahwa orang
tua Hasanuddin adalah "tokoh penting".
Dalam Pakem Banten Tubagus Haji Achmad
(1935), legalitas Hasanuddul sebagai putera Syarif Hidayat, dikemukakan antara
lain sebagai berikut:
Maka terseboetlah pada
masa dahoeloe, koerang lebih hidjrah Nabi 887, tahoen Belanda k.l. 1472,
Maulana Machdoem Sarif Hidajatoellah, Kangdjeng Soenan Goenoeng Djati di
Tjirebon, mengoetoes anakda Baginda Pangeran Hasanoeddin, soepaja datang ke
negeri Banten, pertama disoeroeh menjebarkan agama Islam, kedoea mena'loekkan
radja-radja di Banten, karena telah diketahoeinja bahwa Pangeran Hasanoeddin
lajak dan pantas, akan bisa mentjapai maksoed hingga mendjadi Radja di Banten
kelak sampai ketoeroen‑toeroenannja (Achmad,1953: 24).
Pakem
Banten, menurut penyusunnya Tubagus Haji Achmad, menggunakan sumber
"Parimbon Banten,
yang hampir malah sudah musnah, karena dilalaikan oleh yang dipusakainya".
Berdasarkan kutipan tersebut di atas, para penulis Parimbon Banten, cukup
menjelaskan posisi Hasanuddin sebagai putera Syarif Hidayat. Hanya saja, pada
kalimat selanjutnya, terjadi "plot less" (simpang siur) siapa yang
mempunyai peranan penting, dalam proses meng-Islam‑kan Banten. Sebagaimana
umumnya penulis Babad Banten, "raja-raja Banten non Islam" selalu
diperankan sebagai antagonis (peran lawan), untuk menonjolkan semangat
penyebaran Islam di kemudian hari. Sedangkan, kekerabatan Sang Surasowan dengan
Syarif Hidayat, sangat gelap (peteng), tidak terjangkau oleh pengetahuan para
penulis babad.
Berdasarkan kaol
Cibeber, yang berhasil dirangkum dan didokumentasikan oleh Yayasan Ujung
Wahanten (1996), mengemukakan hal yang sama, antara lain:
Pada abad 15, disaat
Kg. Maulana Hasanudin pertama kali masuk ke Negri Banten, dimana pada waktu itu
rakyat Negri Banten masih menganut agama kepercayaan Animisme dan masih di
pimpin oleh Kerajaan Pajajaran dan Pakuan, Kg. Maulana Hasanudin berhasil
menaklukan raja‑raja Pajajaran dan Pakuan berserta rakyat dan pengikutnya, maka
Kg. Maulana Hasanudin di tantang mengadu kekuatan kesaktian oleh salah seorang
sesepuh di Negri Banten yang bernama Pucuk Umun, di Tegal Papak Waringin Kurung
Banten. Kg. Maulana Hasanudin adalah putra pertama Seh Syarif Hidayatullah
seorang ahli yang menurunkan raja‑raja di Cirebon, Banten dan Demak. Sang Ayah
tinggal di Gunung Jati Cirebon yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Mengenal
Hasanuddin sebagai putera Syarif Hidayat, sudah tidak diragukan lagi. Akan
tetapi, pernyataan selanjutnya, "pada waktu itu rakyat Negri Banten masih
menganut agama kepercayaan Animisme dan masih di pimpin oleh Kerajaan Pajajaran
dan Pakuan", patut dicermati. Kerajaan Pajajaran serta Pakuan‑nya, kembali
disudutkan ke dalam peran antagonis. Tuduhan terhadap Pajajaran menganut
"agama kepercayaan Anirnisme", tidak mendasar. Adanya acuan naskah
kuna Sanghiyang Siksakandang Karesian, Amanat
Dari Galunggung, Carita Parahiyangan, dan Agama
Sunda Wiwitan di
"Baduy", sudah cukup memberikan gambaran agama orang Sunda Pajajaran.
Tuduhan Animisme, seharusnya dialamatkan kepada Manusia Purba, jauh sebelum
Kerajaan Sunda Pajajaran berdiri.
Dalam
Riwayat Kesultanan Banten Th. Hafidz Rafiuddin, S.Ag. (2000), mengemukakan hal
yang hampir sama, antara lain sebagai berikut:
Pada kenyataannya
sebelum Sulthan Maulana Hasanuddin ditugaskan oleh Ayahandanya Syarif
Hidayatullah untuk mengembangkan Islam di Banten, pada waktu itu masyarakat
Banten yang dipimpin oleh Raja Saka Domas (Pucuk Umun) dibantu oleh Maha
patihnya Ajar jong dan Ajar jo sebagal pemeluk Animisme.
Maulana
Hasanuddin. Dilahirkan pada tahun 1479 di Cirebon dan wafat pada tahun 1570 di
Banten. Pada 1525 Maulana Hasanuddin mengIslarnkan Banten Utara secara
berangsur‑angsur, yang tidak masuk Islam mengungsi ke Parahiyangan
(Cibeo/Kanekes Banten) (Rafiuddin, 2000: i & 9).
Dengan adanya hal‑hal semacam itu,
sulitlah bagi kita untuk menentukan, apa sesungguhnya agama orang Pajajaran
itu. Carita Parahiyangan menunjukkan adanya para wiku "nu ngawakan Jati
Sunda", yaitu para pendeta yang khusus mengamalkan "agama Sunda"
dan memelihara "kabuyutan parahiyang". Sisa dari kabuyutan Jati Sunda
atau parahiyang seperti itu, adalah Mandala Kanekes yang dihuni "orang
Baduy" sekarang. Leluhur mereka dalam jaman kerajaan, mengemban tugas
memelihara mandala atau kabuyutan `Jati Sunda", yang dewasa ini disebut
Sasaka Domas.
Orang Tangtu ("Baduy dalam")
adalah keturunan "Para Wiku", orang panamping ("Baduy Luar)
merupakan keturunan "Kaum Sangga". Mereka bertugas, melakukan
"Tapa di Mandala", dan sudah menjalankan tugas tersebut secara turun
temurun. Jauh sejak masa sebelum Kerajaan Pajajaran berdiri (Danasasmita,1984:
41).
Bangunan megalit Kosala dan Arca Domas
memperlihatkan adanya hubungan dengan orang‑orang Baduy yang kini hidup
mengisolir diri di daerah Banten Selatan. Monumen‑monumennya berupa bangunan
batu berundak lima tingkat, dan pada setiap undak terdapat menhir (Soejono et
al., 1984: 219). Dalam kompleks tersebut dijumpai batu berbentuk segi lima, di
bagian bawah yang tertanam dalam tanah terdapat sejumlah batu bulat bergaris
tengah antara 10-15 cm.
Di situs ini pula terdapat arca
kecil melukiskan tokoh yang duduk bersila, ditemukan dekat bangunan berundak.
Kedua tangan arca ini digambarkan dilipat ke depan, dan salah satu tangannya
mengacungkan ibujari. Arca Domas memiliki 13 undakan batu, dan undak paling
atas didirikan sebuah menhir berukuran besar. Menurut kepercayaan orang Baduy,
menhir ini merupakan lambang dari Batara Tunggal sang pencipta roh, dan
kepadanya pula roh‑roh tersebut kembali.
Peninggalan megalit Lebak Sibedug
berupa bangunan berundak empat, yang seluruhnya setinggi 6 meter. Di depan
undakan batu ini terdapat lahan datar dan di sini pula terdapat sebuah menhir
yang ditunjang batu-batu berukuran kecil.
Bangunan berundak di Kosala, Arca
Domas dan Lebak Sibedug tersebut, masih dipuja dan dikeramatkan, dan karenanya
bangunan‑bangunan megalit di Banten Selatan ini termasuk kategori living
megalithic culture, yang berarti benda‑benda arkeologi/megalit yang
masih berada dalam konteks sistem perilaku pendukungnya (Michrob,1993: 27).
Kembali kepada proses Islamisasi
di Banten, dalam Carita Parahiyangan sarga 3, Atja dan Edi S. Ekadjati
mengemukakan riwayat selanjutnya, antara lain sebagai berikut:
Dari isteri kedua, Sri
Baduga Maharaja berputera beberapa orang, dua orang di antaranya: (1) Dipati
Suranggana, menjadi ratu wilayah Wahanten Girang. Dia kemudian memeluk agama
Islam, dan berganti nama menjadi Ki Bagus Molana. Anak menantu dan hamba
sahayanya, menjadi pemeluk agama Islam; (2) Tumenggung Jayamanggala, menjadi
adipati Pakuan (Atja & Ekadjati,1989 :144).
Dari kutipan tersebut di atas, nampak
sekali tidak ada istilah "pemaksaan", "dipaksa",
"takluk" atau "ditaklukkan", sebagaimana yang sering
diungkapkan oleh para penulis Babad maupun "penulis sejarah" Banten
masa kini. Dipati Suranggana alias Ki Bagus Molana, anak, menantu, serta hamba
sahayanya, dengan ikhlas "beralih agama", sebagai penganut agama
Rasul Muhammad. Dialah putera Sri Baduga Maharaja, pembesar Pajajaran kedua
yang memeluk agama Islam, setelah Pangeran Cakrabuana (Cirebon).
Dari
bahasan Atja & Edi S. Ekadjati, diketemukan dua sebutan: "Banten
Pasisir" dan "Wahanten Girang". Boleh jadi, memang ada perbedaan
antara sebutan Banten Pasisir dengan Wahanten Girang. Akan tetapi, sebutan
wahanten menjadi banten, maksudnya itu‑itu juga, hanya pelafalan yang berbeda.
Hal tersebut mengingatkan kembali
kepada berita Cina (1430 Masehi), tentang Kerajaan Sunda dan Bantennya, bahwa
"Banten dinamakan Sunda selama empat abad berturut‑turut, baik oleh orang
Cina, maupun oleh orang Arab pada awal abad ke‑16. Hendaknya digarisbawahi,
bahwa dalam naskah inilah (berita Cina) nama tempat "Banten" (wan‑tan),
muncul untuk pertama kali dalam sumber tulisan, apapun bahasanya
(Guillot,1996:119).
Portugis pun melakukan hal yang sama,
menyebut "Wahanten" dengan "Bantam". Secara lingual,
sebutan "wantan" dalam lafal Cina, bunyinya hampir sama dengan
"bantam" dalam lafal Portugis. Jika terdapat perubahan lafal, dapat
dimaklumi, karena Wahanten Pasisir sudah menjadi "pelabuhan
internasional".
Mecermati fakta seperti itu, para
penafsir sejarah tidak usah dipusingkan untuk mencari-cari dan mengada‑ada
Banten melalui bahasa kirata (dikira‑kira, tapi nyata). Sungai yang mengalir
sepanjang kurang‑lebih 30 kilometer, dari hulu Gunung Karang Pandeglang,
berkelok melalui wilayah Banten Girang, membelah kota Serang, dan bermuara di
Banten Pasisir, sudah merupakan petunjuk tersendiri. Bahwa, penamaan
"Wahanten" Girang dan "Wahanten" Pasisir, tentunya
berdasarkan nama sungai "Ciwahanten" yang mengalir melaluinya.
Gambaran semakin jelas. Di masa
Kerajaan Sunda (Pajajaran), terdapat dua negeri Wahanten. Wahanten Girang
dipegang oleh putera Sri Baduga Maharaja, Sang Adipati Surangggana; Wahanten
Pasisir dipegang oleh putera Sri Baduga Maharaja lainnya, Sang Adipati
Surasowan. Oleh karena itu, dalam kajian ilmiah, perbedaan anggapan
"Banten Lama" untuk Banten Girang, dan "Banten Baru" untuk
Banten Pasisir, sudah tidak tepat lagi. Sebab, antara Wahanten Girang dan
Wahanten Pasisir, kedua‑duanya sejaman.
Kembali kepada tokoh Sang Surasowan,
ayahanda Nyai Kawung Anten, mertua Syekh Syarif Hidayat, kakeknya Pangeran
Sabakingkin atau Maulana Hasanuddin. Ketika Sang Surasowan wafat, dalam usia
terhitung masih muda, tahtanya diwariskan kepada puteranya, Sang Arya Surajaya.
Pada
masa pemerintahan Sang Arya Surajaya di Wahanten Pasisir, Syarif Hidayat sudah
menjadi penguasa kedua, di Kesultanan Pakungwati Cirebon. Oleh karena itu,
Sabakingkin atau Hasanuddin, menjadi penerus ayahnya, menjadi Guru Agama Islam
di Wahanten Pasisir. Pada waktu itu, Pangeran Sabakingkin, lebih dikenal dengan
sebutan Syekh Maulana Hasanuddin.
Ketenaran nama Syekh Maulana
Hasanuddin, telah mengalahkan kharisma uwanya, Adipati Arya Surajaya. Sehingga,
hubungan kekerabatan dengan uwanya itu, menjadi tidak harmonis lagi.
Ketika menjadi penyiar agama Islam di
Wahanten Pasisir, Syekh Maulana Hasanuddin menikah dengan puteri raja
Indrapura, serta memperoleh putera laki‑laki, diberi nama Yusuf.
Untuk jaringan politik, antara
Kesultanan Pakungwati Cirebon dengan Kesultanan Demak, Syekh Maulana Hasanuddin
berjodoh dengan Ratu Ayu Kirana (Ratu Mas Purnamasidi), puteri sulung Raden
Patah. Dari perkawinannya, lahir pertama Ratu Winahon, kelak menjadi isteri
Tubagus Angke Bupati Jayakarta (Jakarta). Putera kedua, Pangeran Arya (Pangeran
Japara), yang menjadi anak angkat Ratu Kalinyamat dari Japara.
Pasangan Pakungwati‑Demak lainnya yang
dijodohkan: Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun; Pangeran Bratakelana
dengan Ratu Nyawa (Ratu Ayu Wulan); dan Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor
(Adipati Yunus Abdul Kadir).
B.
WAHANTEN BANGKIT
Pada permulaan tahun 1444 Saka (1522 Masehi),
pasukan bersenjata Kerajaan Sunda Pajajaran yang sangat kuat, dipimpin langsung
oleh Prabu Sanghiyang Surawisesa, menyerang kerajaan-kerajaan daerah yang
dianggap tidak setia lagi kepada Pakuan.
Serangan pasukan Kerajaan Sunda
Pajajaran, telah menaklukkan 16 Ratu dan Adipati bawahannya. Mereka dapat
ditaklukkan, karena pasukan Kerajaan Sunda Pajajaran sangat besar, terdiri dari
pasukan gabungan dari raja daerah, yang setia kepada Prabhu Sanghiyang
Surawisesa. Sedangkan raja‑raja daerah yang diperanginya, kekuatannya tidak
seberapa, dan persenjataannya pun tidak lengkap. Itulah sebabnya, Ratu‑Ratu
wilayah dapat dikalahkan, dan pasukan yang tersisa melarikan diri, meminta
perlindungan kepada Kesultanan Pakungwati Cirebon.
Adapun kesatuan pasukan bersenjata
Pakuan Pajajaran, tidak berani menyerang Kesultanan Pakungwati Cirebon. Karena
Pakungwati, memiliki kesatuan pasukan bersenjata yang lengkap, juga dibantu
oleh pasukan armada tempur Demak.
Beberapa orang Raja daerah yang kalah
perang, semua pejabat serta kesatuan bersenjata yang ditawan, dibebaskan oleh
Prabu Sanghiyang Surawisesa, dengan janji akan setia dan berbakti kepada
Kerajaan Sunda Pajajaran.
Adapun raja‑raja daerah
(Ratu) dan adipati (Bupati), yang dikalahkan oleh kesatuan pasukan bersenjata
Prabu Sanghiyang Surawisesa, adalah:
1.
Nyai Aryya Baroh (Puteri Sariyah), Ratu Sunda Kalapa Dalam (Kalapa Kulon);
2.
Kyai Wudhubasuraga, Raja Daerah Tanjung
3.
Nyai Ngajirasa, Ratu Ancol;
4.
Adhipati Suranggana, Raja Daerah Wahanten Girang;
5.
Sang Aryya Suraprasa, Raja Daerah Simpang;
6.
Aryya Pulunggana, Raja Daerah Gunung Batur;
7.
Ratu Hyang Banaspati, Raja Daerah Saung Agung
8.
Aryya Sukara, Raja Daerah Rumbut;
9.
Tumenggung Linggageni, Raja Daerah Gunung Ageng;
10. Sang Adhipati
Patala, Raja Daerah Padang
11. Prabhu
Yasanagara, Raja Daerah Pagawok;
12. Sang Aryya
Wirasakti, Raja Daerah Muntur;
13. Aryya
Senapati Bhimajaya, Raja Daerah Hanum;
14. Sang Aryya
Wuludada, Raja Daerah Pager Wesi;
15. Pradharmaya,
Raja Daerah Medang Kahiyangan;
16. Sang Prabhu
Walahar, Raja Daerah Gunung Banjar.
Pada
saat itu, jalur perdagangan perairan Selat Sunda dan perairan Selat Malaka,
dikuasai oleh Kerajaan Sunda Pajajaran dan Portugis. Jelas, jalur perdagangan
Demak di wilayah barat, tersumbat. Oleh karena itu, Sultan Demak (Raden Patah),
berambisi merebut wilayah pantai utara Kerajaan Sunda.
Kekhawatiran Sultan Demak, kesatuan
angkatan bersenjata Prabu Sanghiyang Surawisesa, akan menyerang Pakungwati
Cirebon. Karena sudah tersiar berita, bahwa tidak lama lagi, akan tiba armada
tempur Portugis, untuk memberi bantuan kepada Prabu Sanghiyang Surawisesa.
Oleh
sebab itulah, Sultan Demak memerintahkan adik iparnya, Panglima Bintoro alias
Fadhillah Khan, untuk memata-matai Sunda Kalapa dan Wahanten Pasisir. Tak lama
kemudian, Panglima Fadhillah Khan bersama para pengiringnya, tiba di Banten
menyamar sebagai pedagang.
Sebagairnana yang diamanatkm oleh
Sultan Demak, Fadhillah Khan terlebih dahulu menemui Syekh Maulana Hasanuddin,
guna meminta bantuan mengenai siasat untuk merebut Wahanten Pasisir. Setelah
bertemu dengan Syekh Maulana Hasanuddin, barulah Fadhivah Khan bersama
pengiringnya, menyusup berkehling kota, perdukuhan, bandar, desa, sambil
menjajakan bermacam‑macam barang, aneka macam perhiasan dan yang lainnya.
Beberapa bulan kemudian, Fadhillah Khan
bersama pengiringnya, kembah ke Demak. Singgah di Pakungwati Cirebon,
memberitahukan hasil penyelidikannya kepada mertuanya, Susuhunan Jati.
Sekaligus menyampaikan kehendak Sultan Demak, untuk menyerang wilayah
daerah-daerah tertentu di pantai utara Kerajaan Sunda Pajajaran. Setelah itu,
barulah Panglima Fadhillah Khan, kembali ke Demak.
Sebagaimana yang telah dikemukakan,
bahwa Fadhillah Khan berasal dari negeri Pasai di Sumatera sebelah utara. Dia
memperisteri puteri Susuhunan Jati, Ratu Ayu, janda Pangeran Sabrang Lor.
Pangeran Sabrang Lor, adalah putera mahkota Demak, yang bergelar Adhipati Yunus
Abdul Kadir (Dipati Unus). la gugur pada usia muda, dalam pertempuran dengan
Portugis di perairan Selat Malaka.
Pada tahun 1448 Saka (1526 Masehi),
pasukan gabungan angkatan bersenjata Pakungwati‑Demak, dibantu pasukan
simpatisan dari berbagai daerah, terdiri dari 1.967 tentara, bergerak menuju
perairan Wahanten Pasisir. Kekuatan pasukan gabungan, dipimpin langsung oleh
Panglima Besar Fadhillah Khan, didampingi oleh Adipaf Keling dan Adipati
Cangkuang.
Ketika Syekh Maulana Hasanuddin sedang
berada di Wahanten Pasisir menerima "berita rahasia" dari kurir
ayahnya. Susuhunan Jati Cirebon Syekh Syanf Hidayat memberitakan, bahwa pasukan
gabungan Pakungwati‑Demak yang dipimpin oleh Panglima Fadhillah Khan, sedang
dalam pelayaran, ditugaskan untuk merebut wilayah Wahanten (Banten) Pasisir.
Sebelum armada laut gabungan Pakungwati‑Demak
tiba, Pangeran Sabakingkin atau Syekh Maulana Hasanuddin, mengerahkan
"pasukan gerilya" yang sudah dipersiapkan secara diam‑liam. Kemudian
mengadakan gerilya, di berbagai tempat di wilayah Wahanten Pasisir, sebagai
"gerakan pendahuluan".
Adipati
Sang Arya Surajaya, mengerahkan pasukan Wahanten Pasisir, untuk menumpas huru‑hara
tersebut. Akan tetapi, "pasukan gerilya" Maulana Hasanuddin, lebih
siap untuk bertempur. Secara diarn‑diam, beberapa orang pasukan Wahanten
Pasisir, sempat dibinasakan.
Ketika Sang Adipati Arya Surajaya
dengan pasukan Wahanten Pasisir disibukkan oleh "pasukan gerilyawan",
tibalah serangan mendadak, pasukan gabungan Pakungwati‑Demak. Serangan dahsyat,
secepat kilat telah membinasakan pasukan Adipati Arya Surajaya, dan berhasil
menduduki Keraton Wahanten Pasisir.
Adipati Arya Surajaya sangat cemas.
Korban di pihaknya sudah tidak terhitung. Pihak penyerang sudah tidak bisa
dibendung. Akhirnya, Sang Adipati Surajaya dan keluarganya, serta sebagian
pembesar kerajaan Wahanten Pasisir yang masih hidup, menyelamatkan diri,
menerobos hutan lebat, bergegas menuju Pakuan (Bogor).
Sang Adipati Arya Surajaya, memerintah
Wahanten Pasisir hanya 7 tahun, dari tahun 1441 Saka (1519 Masehi) hingga tahun
1448 (1526 Masehi). Kemungkinan, Adipati Wahanten Pasisir inilah, yang dimaksud
oleh Museum Peninggalan Sejarah dan Purbakala Banten Lama di Serang, dalam
tutisan besar pada dinding ruang depannya: ";Setelah takluknya penguasa
Hindu‑Budha Prabu Pucuk Umun di Banten Girang kepada Maulana Hasanuddin pada
tahun 1526 Surosowan (Banten Lama) segera menjadi pusat pemerintahan
Banten".
Untuk mengangkat kebesaran Maulana
Hasanuddin, sebenarnya tidak perlu menyudutkan "penguasa Hindu‑Budha Prabu
Pucuk Umun", sebelum dapat dibuktikan kebenarannya. Karena hal ini, tidak
sesuai dengan kajian arkeologi, dengan ditemukannya penafsiran arsitektur dan
batu‑batu nisan yang memiliki pertanggalan yang lama abad ke‑16 (Ambary,1988:
8). Juga tidak sesuai dengan kronik‑kAonik yang berkembang di Banten, bahwa
pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriyah atau bertepatan dengan tanggal 8 Oktober
1526 Masehi, pusat pemerintahan Banten, yang tadinya berada di pedalaman yakni
di Banten Girang dipindahkan ke dekat pelabuhan Banten (Michrob,1993: 68).
Sesuai rencana, setelah Wahanten
Pasisir berhasil direbut, atas nama Susuhunan Jati Cirebon penguasa Kesultanan
Pakungwati Cirebon, Panglima Fadhillah Khan menobatkan Pangeran Sabakingkin
atau Syekh Maulana Hasanuddin menjadi Adipati Wahanten Pasisir (Bupati Banten
Pasisir), dalam usia 48 tahun.
Di balik peristiwa itu, sesungguhnya,
"pasukan gerilya" Syekh Maulana Hasanuddin, mendapat bantuan pasukan
Kerajaan Wahanten Girang. Sangat masuk akal. Sebab, penguasa Wahanten Girang,
Sang Adipati Arya Suranggana yang bergelar Ki Bagus Molana, telah lebih dahulu
masuk agama Islam. Kemudian, Sang Adipati Suranggana alias Ki Bagus Molana,
pernah merasa sakit hati oleh Prabu Sanghiyang Surawisesa, yang pernah
menyerang Wahanten Girang pada tahun 1522 Masehi. Secara kekerabatan, Sang
Adipati Arya Suranggana atau bergelar Ki Bagus Molana, masih kakeknya Syekh
Maulana Hasanuddin.
Kemungkinan besar, Sang Adipati Arya
Suranggana atau Ki Bagus Molana, setelah wafat dimakamkan di Tempat Suci situs
Banten Girang. Sayangnya, di komplek makam Tempat Suci itu, masyarakat
disilapkan oleh dua makam keramat "Mas Jong" dan "Agus Jo".
Sehingga makam Ki Bagus Molana sulit untuk dilacak, "terhapus" oleh
mitos "Mas Jong" dan “Agus Jo”.
Akan tetapi, dengan
hadirnya Sang Adipati Arya Suranggana, yang bergelar Ki Bagus Molana, dalam
panggung sejarah Banten yang sesungguhnya, anggapan "Mas Jong dan Agus Jo
sebagai orang Banten pertama yang masuk Islam", sulit dibenarkan.
Hoesein Djajadiningrat (1913) secara
kritis, meragukan keberadaan tokoh Ki Jong dan Ki Jo, antara lain sebagai
berikut:
Jongjo rupanya nama
seorang dari kedua ponggawa itu karena selanjutnya nama itu digunakan sebagai
nama seorang saja. Tradisi yang kemudian telah menceraikan nama itu dan
menyebut berturut‑turut sebagai Ki Jong dan Ki Jo (Djajadiningrat,1983: 34).
Berdasarkan
kutipan tersebut, rupanya telah terjadi manipulasi, dari seorang tokoh,
kemudian berkembang menjadi dua orang. Selanjutnya Hoesein Djajadiningrat
membahasnya, antara lain:
Apabila Ki Jongjo,
seorang dari Pakuwan, yang dengan sukarela telah memeluk agama Islam dan
menyatukan diri dengan Hasanuddin, mengemukakan usulnya kepada panembahan,
yaitu Hasanudin, maka Molana Yusuplah, anak Hasanuddin, yang meminta kepadanya
keterangan‑keterangan selanjutnya, makaYusuplah lagi ‑ dalam kedua redaksi
termuda disebut hanya dengan Molana dalam redaksi tertua dengan namanya ‑ yang
menjanjikan kepada Ki Jongjo hadiah yang diminta. Perhatikanlah baik‑baik: di
hadapan ayahanda beliau seorang anak menjanjikan kepada seorang yang diperhamba
ayahanda beliau, akan memerdekakannya! Keanehan ini tidak dilenyapkan, bahkan
tidak dilemahkan, oleh pernyataan, bahwa setelah selesainya ekspedisi, Jongjo
menerima hadiahnya dari tangan panembahan. Maka bertanyalah kita apakah penulis
kronik itu tidak mencampuradukkan dua kisah: suatu kisah yang lebih tua yang
benar tentang direbutnya Pakuwan di masa pemerintahan dan oleh Molana Yusup,
yang tentangnya kita di sini dan di dalam sangkala mempunyai peninggalan‑peninggalannya,
yang memberikan kenyataan itu kepada Hasanuddin; atau penulis itu sendirikah
barangkali yang mengubah kisah asli itu menjadi kisah yang kemudian? Karena
adalah dalam garis tradisi, yang memandang Hasanuddin sebagai penyiar Islam di
Banten dan sebagai raja Islam yang pertama di sana, untuk menggambarkan baginda
sebagai orang yang menghancurkan kafir, sebagai penakluk Banten Girang dan
Pakuwan (Djajadiningrat,1983:149‑150).
Terkesan
tokoh Ki Jong dan Ki Jo, oleh penulis Babad disudutkan dalam posisi "kambing
hitam", demi kebesaran Panembahan Hasanuddin. Setelah makamnya
dikeramatkan, dua tokoh tersebut diberi gelar Jawaisme "Mas" Jong dan
"Agus" Jo. Konon menurut dongeng, Ki Jong dan Ki Jo itu kakak
beradik. Pertanyaannya, kenapa harus memakai gelar Jawa isme? Kenapa gelarnya
berbeda?
Siapa tahu, gelar "Agus" itu,
sesungguhnya harus dialamatkan kepada "Ki Bagus" Molana, seorang
Adipati (Bupati) Wahanten Girang, putera Sri Baduga Maharaja, yang terlebih
dahulu masuk Islam.
Mencermati naskah kuna Sunda Kropak 406 Carita
Parahiyangan, Kropak 632Amanat
Dari Galunggung Kropak
630 Sanghiyang Siksakandang Karesian, Kropak 410 Carita
Ratu Pakuan, Kropak 408 Sewaka Darma, tidak pernah ditemukan motif
nama yang pendek, sependek nama Jong dan Jo. Jika Ki Jong dan Ki Jo "orang
penting" dari Sunda Pajajaran, seharusnya, di depan namanya menggunakan
gelar "Rakeyan".
Seandainya, tokoh Ki Jong dan Ki Jo
(atau Ki Jongjo saja) itu benar-benar pernah ada, sebagai patriot yang pernah
berjasa kepada Kesultanan Surasowan, mereka tidak akan dimakamkan di
"Banten Girang". Setidaknya, harus satu komplek dengan makam
junjungannya (yang dipertuan): Panembahan Hasanuddin. Oleh karena itu, makam
kerainat "Mas Jong" dan "Agus Jo" di situs Banten Girang,
perlu kiranya diteliti lebih lanjut.
Kembali ke Wahanten Girang. Atas
inisiatif Ki Bagus Molana, akhirnya Wahanten Girang bergabung dengan Wahanten
Pasisir. Dengan demikian, Pangeran Sabakingkin Adipati Syekh Maulana
Hasanuddin, berkuasa atas dua wilayah kerajaan: Wahanten Pasisir dan Wahanten
Girang. Akhirnya Pangeran Sabakingkin dinobatkan kembali, dan memperoleh gelar
Panembahan. Pengertian panembahan, adalah tokoh ulama besar Islam yang sangat
dihormati, merangkap jadi penguasa. Gelar itu, lebih dikenal secara umum oleh
masyarakat Muslim, dengan sebutan Sultan.
Seorang
Panembahan kelahiran Wahanten (Banten), beralur darah trah Rasul Muhammad,
berbaur dengan alur darah trap Sri Baduga Maharaja, melalui ketawakalan dan
perjuangan yang berat, akhirnya berhasil mendirikan monumen Islam yang kokoh di
Bumi Wahanten. Sebagian besar penduduknya, menjadi pemeluk setia agama Rasul
Muhammad.
Untuk memperkuat posisi
pemerintahannya, Panembahan Hasanuddin mendirikan keraton yang indah dan megah,
terletak di jantung wilayah Wahanten Pasisir. Untuk mengenang kakeknya yang
tercinta, keraton ia dirikan, diberi nama Keraton Surasowan.
Sebutan Surasowan sebagai nama keraton,
akhirnya berkembang menjadi sebutan wilayah kekuasaan. Sejalan dengan isi
prasasti tembaga berhurup Arab, yang dibuat oleh Sultan Haji atau Sultan Abdul
Nasr (1683‑1687), nama resmi kerajaan Islam di Banten adalah Negeri Surasowan.
Setahun kemudian, sebanyak 1.452
personal angkatan perang gabungan Pakungwati‑Demak, di bawah komando Panglirna
Fadhillah Khan, menyerang Sunda Kalapa (Jakarta). Dalam pertempuran itu,
Adipati Sunda Kalapa Sang Arya Sutakreta, Permaisuri, dan para pengiringnya,
tewas binasa. Sisa yang masih hidup, menyelamatkan diri ke ibukota Pakuan
Pajajaran. Sang Arya Surakreta, menjadi penguasa "kadipatian" Sunda
Kalapa, hanya 6 tahun lamanya, dari tahun 1443 Saka (1521 Masehi) hingga tahun
1449 Saka (1527 Masehi).
Sebagai catatan, kakaknya Sang Arya
Surakreta, yaitu Nyai Arya Baroh, adalah penguasa Sunda Kalapa Dalam (Kulon).
Ia puteri Adipati Kranda, Raja Daerah Kalapa Pasisir (Sunda Kalapa). Nyai Arya
Baroh, diperisteri oleh Kyai Arya Baroh, saudagar kaya dari Perlak. Kemudian,
setelah memeluk agama Islam, Nyai Arya Baroh bergelar Puteri Sariyah.
Setelah Sunda Kalapa dikuasai pasukan
gabungan Pakungwati‑Demak, Panglima Fadhillah Khan, ditunjuk menjadi Adipati
(Bupati) Sunda Kalapa (Jakarta), oleh Susuhunan, Jati Cirebon.
Beberapa bulan kemudian, armada
Portugis berangkat dari negeri Pasai, tiba di perairan Sunda Kalapa. Mereka
tidak mengetahui, bahwa wilayah Sunda Kalapa, sudah diduduki oleh pasukan
gabungan Pakungwati‑Demak. Selanjutnya, pecahlah pertempuran antara pasukan
armada Portugis dengan pasukan gabungan Pakungwati‑Demak, di Pelabuhan Sunda
Kalapa. Armada Portugis dipukul mundur, terdesak dan menderita kekalahan, sehingga
banyak tentaranya yang tewas. Anggota pasukan yang tersisa, menyelamatkan diri,
kembali berlayar menuju perairan Selat Malaka.
Di belahan timur Kerajaan Sunda
Pajajaran, telah terjadi perubahan situasi politik, akibat melemahnya
pemerintahan pusat di Pakuan. Penguasa Kerajaan Galuh Prabu Jayaningrat,
memanfaatkan situasi seperti itu, bagi kepentingan Kerajaan Galuh untuk
mengembangkan diri.
Prabu Jayaningrat, adalah putera Prabu
Ningratwangi, cucu Prabu Dewa Niskala. Prabu Ningratwangi, adalah adik Sri
Baduga Maharaja, yang menjadi penguasa Kerajaan Galuh, bawahan Kerajaan Sunda
Pajajaran. Prabu Jayaningrat, menggantikan posisi ayahnya, menjadi penguasa
Kerajaan Galuh, pada tahun 1501 Masehi.
Berdasarkan riwayat hak waris, wilayah
Pakungwati Cirebon, adalah merupakan bagian dari kekuasaan Kerajaan Galuh. Oleh
karena itu, Prabu Jayaningrat segera mengirimkan surat kepada Susuhunan Jati
Cirebon, yang isinya "Agar Pakungwati Cirebon, kembali mengirirnkan upeti
ke ibukota Kerajaan Galuh, seperti kebiasaan di masa silam. Kalau tidak, akan
digempur".
Akan tetapi, oleh Susuhunan Jati
Cirebon, permintaan penguasa Kerajaan Galuh itu ditolak. Susuhunan Jati
Cirebon, segera mengirimkan kabar kepada Fadhillah Khan, untuk datang dengan
pasukannya ke Pakungwati Cirebon.
Penolakan Susuhunan Jati Cirebon,
membangkitkan amarah Prabu Jayaningrat. Pada tahun 1450 Saka (1528 Masehi),
pasukan bersenjata Kerajaan Galuh, bergerak menuju wilayah perbatasan
Pakungwati Cirebon. Serangan, dipimpin langsung oleh Prabu Jayaningrat,
didampingi Adipati Rajagaluh Sang Arya Kiban.
Adipati Kuningan Sang
Suranggajaya, oleh Susuhunan Jati Cirebon, diserahi tugas melindungi pondok
pesantren, yang tersebar di perbatasan Cirebon-Galuh. la. adalah putera Ki
Gedeng Luragung Jayaraksa, yang diangkat anak oleh Arya Kamuning (Bratawiyana),
sekaligus sebagai menantu Ratu Selawati.
Oleh karena itu, pasukan
penyerang dari Kerajaan Galuh, dihadang oleh pasukan Sang Suranggajaya, di
dekat Bukit Gundul. Akan tetapi pasukan Kerajaan Galuh, jumlahnya banyak, dan
terlalu kuat untuk dihadapi oleh pasukan Sang Suranggajaya. la. terdesak,
segera mengirimkan berita ke Pakungwati, memohon bala bantuan.
Bala bantuan pasukan gabungan
Pakungwati‑Demak-Kuningan tiba, dipimpin oleh "panglima perang senior"
Sri Mangana Pangeran Cakrabuana, pendiri Kesultanan Pakungwati Cirebon.
Pertempuran sengit itu terjadi di
palagan bukit Gula Sagandu. Dalam pertempuran ini, pasukan Demak memiliki
kelebihan tersendiri, dilengkapi senjata meriam. Pasukan Kerajaan Galuh
menyebutnya "panah yang berbunyi seperti guntur, mengeluarkan asap hitam,
sambil memuntahkan logam panas".
Pasukan Kerajaan Galuh terlesak.
Mereka mengundurkan diri ke benteng pertahanan tetakhir di Talaga (Majalengka).
Kerajaan Galuh yang didirikan oleh Prabu Wretikandayun pada tahun 612 Masehi
itu, runtuh dalam pertempuran di Bukit Gundul, Palimanan. Sejak itulah, wilayah
utara Kerajaan Galuh berada di bawah kekuasaan Kesultanan Pakungwati Cirebon.
Setahun setelah berhasil mengalahkan
pasukan Kerajaan Galuh, Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman
wafat (1529 Masehi). Segenap keluarga keraton Pakungwati Cirebon dilanda
dukacita, kehilangan tokoh penting yang disegani, pendiri Kerajaan Islam
pertama di Kerajaan Sunda.
Pada tahun 1452 Saka (1530
Masehi), pasukan gabungan Pakungwati, Demak, dan Kuningan, melakukan
"pembersihan" terhadap sisa‑sisa pasukan Kerajaan Galuh yang bertahan
di Talaga. Akhirnya Talaga, dapat ditaklukkan, berada di bawah kekuasaan
Pakungwati Cirebon. Hingga tahun 1453 Saka (1531 Masehi), beberapa wilayah
bawahan Kerajaan Sunda Pajajaran lainnya, berhasil direbut, oleh pasukan
Pakungwati Cirebon.
Pada saat itu, Pangeran Pasarean
diangkat oleh ayahnya (Susuhunan Jati), menjadi pembesar kerajaan, sebagai
Patih Pakungwati Cirebon, yang mewakili Susuhunan Jati. Kebijakan itu
dilakukan, agar Pangeran Pasarean, dapat berperan penting dalam menghadapi
Kerajaan Sunda Pajajaran.
Akan tetapi, permusuhan Pakungwati‑Pajajaran
dapat dihentikan. Kedua belah pihak menempuh jalan damai, mengadakan perjanjian
pada tanggal 14 paro terang bulan Asadha tahun 1453 Saka (29 Juni 1531 Masehi).
Antara Sang Prabu Surawisesa dengan
Susuhunan Jati Cirebon, menyepakati, bahwa:
1.
Kedua belah pihak mengakui kedaulatan masing-masing;
2.
Tidak saling menyerang;
3.
Silih asih (saling menyayangi), atuntunan tangan (kerjasama), karena kita
sedarah (sama‑sama keturunan Sri Baduga Maharaja), janganlah putus.
Peristiwa
tersebut, tersirat dalam Kropak 406 Carita Parahiyangan,
berupa penilaian terhadap Prabu Sanghiyang Surawisesa, dengan kalimat yang
sangat singkat: "kadiran, kasuran, kuwanen.
Prangrang lirnawelas kali henteu eleh" (perwira, perkasa,
pemberani. Perang lima belas kali, tidak kalah). Maksud "tidak kalah"
tersebut, mungkin karena diakhiri dengan jalan damai.
Berdasarkan perjanjian Pakungwati‑Pajajaran,
Prabu Sanghiyang Surawisesa mempunyai kesempatan untuk membenahi situasi di
dalam negerinya. Dalam suasana tenang dan damai, ia merenungi hidupnya, betapa
merasa kecil dirinya jika dibandingkan dengan kebesaran ayahnya, Sri Baduga
Maharaja. Rasa hormat dan kekaguman itu, dibuktikan dengan mengadakan upacara
penyempurnaan sukma (sraddha)
ayahnya, pada tahun tanggal 7 paro gelap bulan Bhadrawada 1455 Saka (14
September 1533 Masehi). Pada kesempatan itu, Prabu Sanghiyang Surawisesa
membuat tanda peringatan (prasasti), tanpa segorespun membubuhkan identitas
dirinya.
C.
KALIYUGA BUNGA PRALAYA
Dua
tahun kemudian (1535 Masehi), Prabu Sanghiyang Surawisesa wafat. la digantikan
oleh puteranya, Prabu Ratudewata. Prabu Ratudewata memperisteri Ratu
Sanghiyang, adik Ratu Wiratala, putera Adipati Surakerta (Sunda Kalapa). la
menjalankan kehidupan seperti Rajaresi. Berpuasa, hanya meminum susu (lumaku ngarajaresy tapa pwah susu).
Pada
masa pemerintahannya, sudah tidak lagi menghargai keagamaan. Pendeta sakti di
Sumedang, dianiaya. Pendeta di Ciranjang, dibunuh tanpa dosa. Pendeta di
Jayagiri, mati ditenggelamkan ke dasar laut. Akan tetapi, ada pendeta sakti,
Munding Rahiyang namanya, ditenggelamkan ke dasar laut, tapi tidak mati. la
tetap hidup, menghilang tanpa meninggalkan jejak.
Sang
Prabu Ratudewata, tidak memperdulikan perjanjian Pakungwati-Pajajaran, yang
telah disepakati ayahnya. Beberapa wilayah bawahan yang telah dikuasai oleh
Pakungwati Cirebon, direbutnya kembali. Bahkan banyak tajug (masjid) yang
dirusak dan pondok (pesantren) yang dirampok.
Pasukan
bersenjata Sang Prabu Ratudewata, senantiasa menciptakan huru‑hara, keonaran,
dan melakukan kejahatan terhadap masyarakat. Mereka sudah mengingkari etika
purbatisti‑purbajati Sunda, Sanghiyang Siksakandang Karesian, yang diamanatkan
oleh Sri Baduga Maharaja.
Oleh
karena itulah, tibalah bencana serangan musuh "kasar" (nampak nyata),
tidak diketahui asal‑usulnya (datang
na bancana musuh ganas tambuh sangkane). Perang di Buruan Ageung
(Alun‑alun) (prangrang di
buruan ageung).
Pada
tahun 1465 Saka (1543 Masehi), pasukan bersenjata Surasowan Wahanten, di bawah
komando Panembahan Hasanuddin, didampingi puteranya (Panglima Maulana Yusuf),
menyerang ibukota Pakuan Pajajaran.
Serangan
laskar Surasowan Wahanten, sangat beralasan. Karena, karakter penguasa Sunda
Pajajaran yang mereka hadapi, sudah jauh mengingkari karakter leluhurnya, Sri
Baduga Maharaja. Sesungguhnya, berdasarkan hak historis alur darah keturunan,
Panembahan Hasanuddin adalah cicitnya Sri Baduga Maharaja. la pun akhli waris
tahta Sunda Pajajaran.
Dalam
pertempuran sengit di Alun‑alun kota Pakuan, Sang Prabu Ratudewata, Adipati
Wiralaya (Rata Sanghiyang), Adipati Dharmabhuwana (Ratu Sarendet), pejabat,
perwira, pengawal raja, ponggawa‑ponggawa kerajaan, tewas berjatuhan.
Kemungkinan, serangan
laskar "tambuh sangkane" (tanpa identitas resmi) itu, tidak sungguh‑sungguh,
hanya sebagai "pemanasan" laskar Surasowan. Mengingat, ayahnya, Susuhunan
Jati Cirebon, masih terikat oleh perjarijian Pakungwati‑Pajajaran.
Atau boleh jadi,
serangan kilat ke kota Pakuan itu, sekaligus merupakan "unjuk rasa",
akibat tidak langsung dari peristiwa penobatan Pangeran Pasarean. Sebagai anak
sulung dari isteri pertama Susuhunan Jati (Kawung Anten), Panembahan Hasanuddin
lebih berhak atas tahta Pakungwati Cirebon. Sebab, setelah puas melakukan
serangan kilat ke kota Pakuan, laskar Surasowan Wahanten ditarik mundur,
melanjutkan gerakannya ke arah utara. Serangan terjadi ke wilayah Sumedang,
Ciranjang dan Jayagiri.
Penulis
naskah kuna Kropak 406 Carita Parahiyangan,
menyindir tajam kelakuan Prabu Ratudewata "Ya, berhati‑hatilah orang‑orang
yang hidup di kemudian hari, janganlah engkau kalah perang karena rajin berpuasa"
(nya iyatnayatna sang
kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan). Prabu Ratudewata menjadi
Raja Sunda Pajajaran, selama 8 tahun. Dari tahun 1457 Saka (1535 Masehi),
hingga tahun 1465 Saka (1543 Masehi).
Selanjutnya
Prabu Ratudewata digantikan oleh menantunya, Sang Prabu Sakti Sang Mangabatan.
Prameswari Sang Prabu Sakti adalah Dewi Sekarwangi, puteri Prabu Ratudewata.
Jika
mertuanya bersikap pura‑pura alim (lumaku
ngarajaresi), Sang Prabu Sakti bertindak sangat kejam. Ketika
situasi Kerajaan Sunda Pajajaran sudah kian memburuk, ia bertindak sesuka
hatinya, tidak lagi mentaati norma pemerintahan. la membunuh orang tidak
berdosa, merampas tanpa rasa malu, tidak hormat terhadap yang tua, dan
menghinakan para pendeta (mati‑mati
wong tanpa dosa, ngarampas tanpa prege, lan bakti ring wong atuha, asampe ring
sang pandita).
Puncak
kebiadabannya, Sang Prabu Sakti memperisteri estri larangan, dan memperisteri
ibu tirinya, janda dari ayahnya, Prabu Ratudewata. Prabu Sakti diturunkan dari
tahtanya, akibat perilaku buruk seorang raja, terkena bencana oleh wanita
terlarang dari luar dan oleh ibu tiri (kenana
ratu twahna kabancana ku estri larangan ti kaluaran deung kana arnbu tere).
Prabu
Sakti masih beruntung. Pada masa pemerintahannya, sebagian besar pasukan
Surasowan Wahanten, tahun 1546 Masehi sudah berada di Jepata. Keberadaannya di
sana, atas permohonan bantuan Sultan Trenggono, untuk ikut menyerang Pasuruan.
Keberangkatannya
ke Demak, Panembahan Hasanuddin mengikutsertakan armada Portugis, yang dipimpin
oleh Fernao Mendes Pinto atau Tome Pinto. la salah seorang penandatangan
perjanjian Pajajaran‑Portugis 21 Agustus 1522 Masehi di Pakuan. Dalam buku
Peregrinacao (Penjelajahan), Fernao Mendes Pinto (1510‑1583), mencatat semua
kejadian, sejak ia berangkat dari Goa memakai jung (kapal layar) Fedro de
Faria.
Sebagian dari catatan
perjalanannya, adalah sebagai berikut:
E partindo da guy para a cumda, em dezassete dias chequey ao
porto de Banta, que he onde comummente os Portugueses fazem sue fazenda. E
porque neste tempo a terra estaua muyto falta da pimenta que hiamos buscar, nos
foy forcado inuernarmos aly aquelle anno;com determinacao de para o outro
seguinte nos irmos para a China.
E suendo ja quasi dour mews qestauamos neste porn fazendo
pacifiamente nossas mercancias na terra, veyo tera ella por mandado del Rey de
Damrna, Emperador de toda a illla da Iaoa, Angenia, Bale, I Madura, cotodas as
mail ilhas deste arapelago, hue moltrer que se charnaua Nhay Pombaya; Bona
viuua de quasi sessenda annos de idade, aqual vinha de sua pane dar recado ao
Tagaril Rey da cmnda, que tambem era seu vassafo como os mais Reys desta
monarchia, paraque pessoalmete, em termo de mes I meyo fosse ter com elle a
cidade de lapara onde entao se fazia prestes para yr sobre o reyno de Passeruao.
Terjemahannya:
Begitu berangkat (dari
Malaka) menuju Sunda, dalam jangka tujuh belas hari saya sampai di pelabuhan
Banta (Banten), tempat orang Portugis biasanya berdagang. Akan tetapi, karena
negeri pada saat itu mengalami penipisan persediaan lada yang kami cari, maka
kami terpaksa melewatkan musim hujan tahun ini di sana, dengan maksud
perjalanan ke Tiongkok pada tahun berikutnya.
Tatkala kami sudah
berada di pelabuhan ini selama hampir dua bulan, dan dengan tenang berdagang di
pasar setempat, seorang wanita bernama Nyai Pombaya tiba di sana sebagai duta
sultan dari Demak. Dialah kaisar Pulau Jawa, Kangean, Bali, Madura dan semua
pulau lain di kepulauan ini. Dialah seorang janda berusia menjelang enam
puluhan. Dia diutus untuk menyampaikan suatu pesan atas nama kaisar kepada
Tagaril, Raja Sunda, ‑yang juga menjadi bawahannya, sama seperti semua raja
lain dalam kekaisaran ini. Maksudnya, supaya dalam jangka waktu satu setengah
bulan ia hendak menghadapnya secara pribadi di kota Japara, tempat ia sedang melakukan
persiapan untuk menyerang Kerajaan Pasuruan (Heuken,1999: 90).
Ketika
ia datang di pelabuhan Banten, raja sendiri yang datang menjemputnya dan
menyertainya ke tempat peristirahatan besar di istana lalu diterima oleh
isterinya dan raja sendiri kemudian pergi ke bangunan lain.
Raja‑raja
di sini telah biasa menyerahkan urusan kerajaan yang penting ditangani para
wanita terutama bila kelancaran urusan tergantung kepada mereka. Hal demikian
itu tidak saja mengenai permohonan bantuan urusan pribadi raja dan para
perunding wanita umumnya telah berumur dan pandai menimbang-nimbang, serta
memiliki beberapa persyaratan lainnya lagi.
Setelah
Niay Pombaya menyampaikan pesan yang dibawanya kepada raja Sunda, bertolaklah
ia dari kota Banten dan raja menyediakan tandu untuknya. la membawa armada yang
terdiri atas 30 calalulez dan 10 jurupango diperlengkapi dengan keperluan
perjalanan dan peralatan perang. Dalarn 40 kapal itu terdapat 7.000 orang,
tidak terbitung para pendayung.
Dari
46 orang Portugis yang kebetulan sedang berusaha di Banten, 40 orang ikut serta
dan dengan kejadian ini raja berjanji akan membantu perdagangan Portugis di
Banten. Dengan demikian, pergi mengikuti ekspedisi perang ini (merupakan
kesempatan yang) tak dapat dilewatkan.
Raja
Sunda bertolak dari pelabuhan Banten pada tanggal 5 Januari 1546 dan tiba pada
tanggal 19 bulan itu di kota Jepara. Di sana peralatan perang sedang disiapkan
(Danasasmita, 1984: 46‑47).
Fernao Mendes Pinto, tidak mengetahui
kekerabatan utusan Niay Pombaya dengan Bupati Hasanuddin. Niay Pombaya yang
dimaksud Fernao Mendes Pinto, adalah Nyai Pembayun, isterinya Fadhillah Khan,
adik Sultan Trenggono.
Tagaril
yang dimaksud Fernao Mendes Pinto, adalah Ki Fadil, panggilan Fadhillah Khan
sehari‑hari. Berdasarkan pendengaran, masyarakat Sunda Kalapa sendiri, menyebut
Fadhillah Khan menjadi "Palatehan", dan menyebut Fadhillah menjadi
"Patahilah"
Ketika
Fernao Mendes Pinto mencatatnya, Fadhillah Khan sedang berada di Surasowan
Wahanten (Banten). Dari pendengaran, ia beranggapan bahwa "Adipati Sunda
Kalapa" Fadhillah Khan itu adalah "raja Sunda". Adanya anggapan
seperti itu, dikuatkan oleh peran Fadhillah Khan, nampak lebih menonjol jika
dibandingkan dengan Maulana Hasanuddin. Sebab, selain menjadi Bupati Sunda
Kalapa, Fadhillah Khan berperan pula sebagai menantu Susuhunan Jati Cirebon,
karena pernikahannya dengan Ratu Ayu janda Pangeran Sabrang Lor.
Fadhillah
Khan, mempunyai kedudukan penting lainnya, yaitu sebagai panglima angkatan
perang di Demak yang diperbantukan pula di Pakungwati Cirebon. Di dalam
pemerintahan Pakungwati Cirebon, Fadhillah Khan merupakan "orang
ketiga", setelah Susuhunan Jati dan Pangeran Pasarean. Sedangkan Maulana
Hasanuddin, baru berperan sebagai Adipati Wahanten, berada di bawah kekuasaan
Pakungwati Cirebon. Oleh karena itu dapat dimaklumi, kalau Fernao Mendes Pinto
menyangka "raja" Wahanten dan Sunda adalah di bawah kekuasaan
Fadhillah Khan (Tagaril).
Dari
catatan Fernao Mendes Pinto, yang penting diperhatikan, adalah tentang adanya
hubungan multilateral, antara Wahanten ‑ Sunda Kalapa ‑ Pakungwati ‑ Demak ‑
Portugis. Portugis yang semula dimusuhi, bagi kepentingan mitra dagang,
akhirrrya menjadi "negara sahabat". Bahkan, Portugis diijinkan
membuka kantor dagang di pelabuhan Wahanten Pasisir, serta menempatkan armada
lautnya di sana. Portugis menerima kenyataan seperti itu, karena semua
pelabuhan milik Kerajaan Sunda (Pajajaran), dianggap sudah berada "di
bawah pengaruh" Demak. Sehingga Fernao Mendes Pinto mencatatnya, bahwa
raja Demak penguasa seluruh Pulau Jawa, Bali, Madura, Angenia.
Kembali
kepada Prabu Sakti, penerus tahta Kerajaan Sunda Pajajaran. Penulis Kropak 406 Carita
Parahiyangan, memperingatkan: Jangan ditiru oleh mereka yang
kemudian, kelakuan raja ini (aja
tirut de sang kawuri, polah sang nata). Prabu Sakti menjadi Raja
Sunda Pajajaran selama 8 tahun, dari tahun 1465 Saka (1543 Masehi), hingga
tahun 1473 Saka (1551 Masehi). la wafat di Pengpelangan.
Sang
Prahu Sakti digantikan oleh puteranya, Sang Prabu Nilakendra, yang dikenal pula
dengan sebutan Sang Penguasa di Majaya (Tohaan di Majaya). Pada masa
pemerintahannya, keadaan Kerajaan Sunda (Pajajaran) sudah demikian rusak.
Sehingga penulis Kropak 406 Carita Parahiyangan,
mencatat pada masa pemerintahannya, dianggap sudah tibanya kaliyuga (jaman kali). Jaman yang sudah berada
di ambang pralaya (kiamat, kehancurarr), yang hanya
menampilkan kejahatan dan kemaksiatan.
Pemerintahan
Prabu Nilakendra dijadikan pertanda, bahwa tidak akan lama lagi, Kerajaan Sunda
(Pajajaran) akan pralaya, akibat angkara‑murka penguasanya. Petani menjadi
serakah akan makanan, tidak merasa puas dengan tanaman yang sudah ada (wong
huma darpa mamangan, tan igar yan ta pepelakan).
Pada
masa pemerintahan Prabu Nilakendra, keagamaan Sunda (purbatisti‑purbajati
Sunda), sudah dicampakkan jauh-jauh. Prabu Nilakendra "memuja bendera
keramat, memperindah keraton dengan membangun taman berbalai tanah diperkeras
dengan batu, yang mengapit gerbang terlarang. Yang mendirikan bangunan megah 17
baris, dilukis dengan emas, menggambarkan bermacam-macam dongeng mitos (nu
ngibuda sanghiyang panji, mahayu na kadatwan, dibalay manelah taman mihapikeun
dora larangan. Nu migawe bale bobot pitu welas jajar tinulis pinarada warnana
cacaritaan).
Setiap
saat, keraton Pakuan Pajajaran, dimeriahkan oleh pesta pora. Makan enak, sambil
minum‑minum "air yang memabukkan sebagai penyedap makanan" (cai
tiningkalan nidra wisaya ning baksakilang) sampai mabuk. Bagi Prabu Nilakendra,
tidak ada ilmu yang disukainya, kecuali perihal makarran lezat yang sesuai
dengan kekayaannya (tatan agama gyan kwaliya rnarnangan sadrasa nu surup ka
sangkan beunghar).
Prabu
Nilakendra adalah penganut Tantrayana, yang sangat percaya kepada khasiat
rnantera dan ajimat. Tantrayana, adalah kepercayaan mistis sinkretis, yang
mengadopsi spiritual Budha dan Hindu. Akan tetapi, Tantrayana yang dianut oleh
Prabu Nilakendra, telah,jauh mengingkari agama Budha dan Hindu yang
sesunggulmya. Makan minum sampaimabuki, itulah, untuk mempercepat proses tak
sadarkan diri, dalam mendahului upacara Tantrayana. Pikukuh (ajaran) Sunda
tentang "makan sekedar pelapas lapar, minum tuak sekedar pelepas
dahaga" (nyatu tamba ponyo, nginum tuak tamba hanaang) telah ditinggalkan
lama sekali. Semua itu dilakukan oleh Prabu Nilakendra, dalam keadaan Kerajaan
Sunda Pajajaran terancam musuh, serta dihantui bencana kelaparan. Itulah bunga
pralaya yang disebut kaliyuga. Kerajaan Sunda Pajajaian telah berada di ambang
pintu kiamat.
Pada
tahun 1567 Masehi, serangan besar‑besaran laskar Surasowan Wahanten tiba,
menembus jantung ibukota Pakuan. bendera keramat, jimat-jimat, mantera-mantera
Tantrayana, tidak sanggup menahan gema "Allahhu Akbar" laskar
Surasowan Wahanten. secepat kilat, pertahanan pasukan Pakuan Pajajaran
dilumpuhkan.
Serangan
laskar Surasowan Wahanten kali ini, sangat menarik untuk dicermati. Manakala
tahta Kerajaan Sunda Pajajaran, sudah tidak lagi dipegang oleh keturunan Sri
Baduga Maharaja. Sebab, ayahnya Prabu Nilakendra, yaitu Prabu Sakti, adalah
menantu Prabu Ratudewata.
Panembahan
Hasanuddin sebagai cicit Sri Baduga Maharaja, mempunyai hak yang sama, dengan
para penerus tahta Kerajaan Sunda Pajajaran. Selain itu, ia telah membuktikan,
bahwa Surasowan Wahanten, adalah negeri yang kuat. Untuk melumpuhkan Kerajaan
Sunda Pajajaran, tidak memerlukan bantuan Pakungwati atau pun Demak.
Tidak
direbut dan tidak didudukinya kota Pakuan secara total, hanya disebabkan oleh
rasa hormat kepada orang tuanya, Susuhunan Jati Cirebon, sebagai penanda‑tangan
perjanjian Pakungwati‑Pajajaran. Persoalan merebut wilayah Kerajaan Sunda
Pajajaran, hanya tinggal menunggu waktu yang tepat. Berita tentang serangan
kedua laskar Surasowan ini, dalam Kropak 406 Carita Parahiyangan, hanya
tertulis secara singkat; Tohaan di Majaya kalah perang, karena itu tidak
tinggal di Keraton (tohaan di majaya alah prangrang mangka tan nitih ring
kadatwan). Tidak pernah ada berita, di mana Prabu Nilakendra dipusarakan.
Mungkin dia tewas di pengungsian. Prabu Nilakendra berkuasa selama 16 tahun,
dari tahun 1473 Saka (1551 Masehi), hingga tahun 1489 Saka (1567 Masehi).
Kerajaan Sunda Pajajaran telah ditinggalkan oleh rajanya. Nasib kehidupan kota
Pakuan, hanya dipercayakan kepada para pembesar yang tersisa, yang tidak
menyertainya ke pengungsian.
D.
WAHANTEN MAHARDHIKA
Susuhunan
Jati wafat pada tanggal 12 bagian terang bulan Badra tahun 1490 Saka (19
September 1568 Masehi). Pada mulanya, calon pengganti Susuhunan Jati,
diharapkan oleh puteranya, yaitu Pangeran Muhammad Arifm yang bergelar Pangeran
Pasarean. Pangeran Muhammad Arifin atau Pangeran Pasarean, adalah putera
Susuhunan Jati, dari Nyai GedengTepasan. Akan tetapi harapan itu tidak
tetpenuhi, karena "putera mahkota" Pangeran Pasarean, wafat dalam
usia muda.
Latar
belakang tragedi, diawali terbunuhnya Sultan Trenggono, oleh bocah
pengiringnya, ketika mengadakan penyerangan ke Pasuruan. Kemudian, terjadilah
huru‑hara di kalangan kerabat keraton Kesultanan Demak. Calon pengganti Sultan
Trenggono adalah puteranya, Sunan Prawoto. Kekosongan tahta Demak, dimanfaatkan
oleh Arya Penangsang, Bupati Jipang, putera Pangeran Sekar (putera Raden
Patah). Pangeran Sekar, adalah tokoh yang dibunuh oleh Sunan Prawoto, untuk
memperlancar kenaikan tahta ayahnya, Sultan Trenggono. Atas restu gurunya,
Sunan Kudus, Jipang menyerang Demak, dan Prawoto tewas di tangan Arya Penangsang.
Pangeran Hadiri (suami Ratu Kalinyamat), adiknya Prawoto, tewas pula. Pada saat
peristiwa itu terjadi, putera mahkota Cirebon, Muhammad Arifin (Pangeran
Pasarean), sedang berada di Demak, ia pun tewas di tangan Arya Penangsang,
karena berupaya membela Prawoto. Peristiwa itu sangat melukai hati Susuhunan
Jati Cirebon.
Calon
pengganti Susuhunan Jati lainnya, diharapkan adalah cucunya, yang bergelar
Pangeran Suwarga. Pangeran Suwarga, adalah putera Pangeran Pasarean dari Ratu
Nyawa. Ratu Nyawa atau Ratu Ayu Wulan, adalah janda dari almarhum Pangeran
Bratakelana. Sedangkan Pangeran Bratakelana, adalah putera Susuhunan Jati, dari
Syarifah Bagdad atau Syarifah Fatimah. Syarifah Fatimah, adalah puterinya Syekh
Datuk Kahfi dan Hadijah.
Pangeran
Suwarga, berkedudukan sebagai Pangeran Dipati (putera mahkota) Pakungwati
Cirebon. Akan tetapi ia wafat tahun 1565 Masehi, mendahului kakeknya, Susuhunan
Jati.
Calon
pengganti Susuhunan Cirebon lainnya, adalah Pangeran Emas atau Panembahan Ratu,
putera Pangeran Suwarga dari Wanawati Raras. Wanawati Raras, adalah puterinya
Fadhillah Khan dari Ratu Ayu. Karena Pangeran Emas, pada waktu itu masih kanak‑kanak,
pemerintahan Pakungwati Cirebon, untuk sementara ditangani oleh Fadhillah Khan.
Fadhillah
Khan alias Maulana Fadhillah Al Paseh alias Wong Agung Paseh alias Tubagus
Paseh, menjadi penguasa ketiga Pakungwati Cirebon, dengan gelar penobatan:
Fadhillah Khan Al Paseh ibnu Maulana Makdur Ibrahim Al Gujarat. Kedudukan
tertinggi itulah, yang menyebabkan adanya anggapan di kemudian hari, bahwa
"Sunan Gunung Jati" (Susuhunan Jati) itu adalah
"Fatahillah" (Fadhillah Khan).
Tampilnya Fadhillah
Khan sebagai Sultan Pakungwati Cirebon, secara terselubung, menjadi masalah
kerabat keraton lainnya. Naik tahtanya Fadhillah Khan, sebagai Susuhunan
Cirebon, dianggap tidak semestinya. Mengingat, Fadhillah Khan adalah orang
Pasai Sumatera, juga warga Demak. Sedangkan pada waktu itu, masih ada calon
pengganti yang lebih berhak, yaitu:
Pangeran
Cirebon atau Pangeran Carbon, putera Pangeran Cakrabuana (pendiri dan penguasa
pertama Pakungwati Cirebon), yang saat itu berkedudukan sebagai Senapati
Pakungwati Cirebon; dan Pangeran Sabakingkin atau Panembahan Maulana
Hasanuddin, putera Susuhunan Jati dari Nyai Kawung Anten.
Melihat
kenyataan seperti itu, Sang Adipati Wahanten Syekh Maulana Hasanuddin, akhirnya
memproklarnirkan Kesultanan Surasowan Wahanten (Banten), sebagai negara yang
mahardhika (merdeka), berdaulat, melepaskan diri dari kekuasaan Pakungwati
Cirebon. Sekaligus, melepaskan diri dari pengaruh politik Demak. Wahanten
Pasisir, sudah berubah menjadi purasaba (pusat pemerintahan) Kesultanan
Surasowan, perkembangan dunia perdagangannya semakin pesat. Sendi‑sendi Islam,
telah mewarnai kehidupan kenegaraan Surasowan. Sebagaimana yang dicontohkan
Rasulullah Muhammad, martabat pedagang bukan lagi pekerjaan "kasta kelas
tiga Waisa". Surasowan, berhasil menjadi negari niaga maritim, mampu
berdiri sendiri, sebagai pusat niaga di kawasan Nusantara.
Pada
tahun 192 Saka (1570 Masehi), Panembahan Hasanuddin Sultan Surasowan Wahanten
watat, digantikan oleh puteranya. Pangeran Yusuf: Pada tahun yang sama,
Sultan Pakungwati Cirebon Fadhillah Khan pun wafat, digantikan oleh Pangeran
Ernas atau Panembahan Ratu.
Pangeran
Yusuf, adalah putera Panembahan Hasanuddin dari permaisuri puteri Indrapura.
Sedangkan dari isterinya yang kedua, Ratu Ayu Kirana atau Ratu Mas Purnamasidi
(puteri sulung Raden Patah Sultan Demak), Panembahan Hasanuddin memperoleh
beberapa orang putera: Ratu Winahon, - kelak menjadi isteri Tubagus Angke,
Bupati Jayakarta (Jakarta); dan Pangeran Arya, - yang diangkat anak oleh Ratu
Kalinyamat, kemudian ia dikenal sebagai Pangeran Japara.
Panembahan
Hasanuddin, dipandang oleh masyarakat Banten, seperti tokoh Siliwangi oleh
orang Sunda lainnya di Priangan. Hampir segala hal yang "aneh" atau
"ajaib", bila tidak dikenal asal‑usulnya, dialamatkan kepada
Panembahan Hasanuddin. Misalnya, kisah tentang watu
gilang, yang ditempatkan di depan Istana Surasowan. Menurut
"Serat Banten", batu itu bekas sajadah yang digunakan oleh
Hasanuddin, ketika ia bersalat di permukaan laut. Permukaan batu yang mula‑mula
kasar itu, dengan "doa" Hasanuddin, mendadak berubah menjadi licin,
mengkilap dan berseri. Itulah kisah watu gilang sriman sriwacana yang
sebenarnya diboyong oleh Panembahan Yusuf dari Pakuan. Bagi penulis "Serat
Banten", bukan Maulana Yusuf yang "menaklukkan" Pakuan,
melainkan Hasanuddin. Karena Yusuf hanyalah menjalankan tugas dari ayahnya.
Karena itulah, pada saat Pakuan jatuh tahun 1579 Masehi, dalam kisah
"Serat Banten", Panembahan Hasanuddin dibiarkan "tetap
hidup", walau sesungguhnya tokoh tersebut, telah wafat tahun 1570 Masehi
dalam usia 92 tahun (Danasasmita,1964: 48).
Sejak
Pangeran Yusuf menjadi Panembahan Surasowan, telah berhasil memperluas wilayah
kekuasaannya. Satu persatu dari raja daerah bawahan Kerajaan Sunda (Pajajaran),
berhasil ditundukkan. Panembahan Yusuf menjadi penguasa kedua Kesultanan
Surasowan, dalam tahun yang sama dengan Panembahan Ratu, di Pakungwati Cirebon.
Dari
segi hubungan kerabat, Panembahan Ratu adalah suan (anak adik) Panembahan
Yusuf. Panembahan Ratu, tidak berusaha menjalin kekerabatan dengan Panembahan
Yusuf. la lebih mencurahkan perhatiannya ke Pajang, kesultanan yang baru
sebagai pengganti Kesultanan Demak. la murid dan sekaligus menantu Adiwijaya,
penguasa Kesultanan Pajang.
Selain
ditinggallcan oleh Surasowan, Panembahan Ratu Pakungwati Cirebon, kelak
ditinggalkan pula oleh Sumedanglarang, yang memisahkan diri sebagai negara
merdeka. Pakungwati Cirebon di bawah pemerintahan Panembahan Ratu, sudah
demikian menurun kharismatiknya.
Tokoh‑tokoh
yang menandatangani perjanjian Cirebon‑Pajajaran semua telah meninggal.
Panembahan Yusuf lebih leluasa untuk menentukan masa depan Kesultanan
Surasowan. Untuk melanjutkan perjuangan ayahnya, ia menyusun rencana matang
selama 9 tahun, untuk mengambil alih sisa dari kekuatan Kerajaan Sunda
Pajajaran.
Pada
masa pemerintahan Maulana Yusuf, perdagangan sudah demikian maju sehingga
Banten merupakan tempat penimbunan barang‑barang dari segala penjuru dunia yang
nantinya disebarkan ke seluruh kerajaan di Nusantara (Sutjipto,1961:13; dalam
Michrob,1993: 81).
Situasi
perdagangan di Karangantu, sebagai salahsatu pelabuhan Surasowan, digambarkan
sebagai berikut:
1.
Pedagang‑pedagang dari Cina, berdagang uang kepeng (uang yang terbuat dari
logam), porselen, sutra, beludru, benang emas, kain sulaman, jarum, sisir,
payung, selop, kipas, kertas, dan sebagainya. Ketika kembali ke negerinya,
mereka membeli lada, nila, kayu cendana, cengkeh, buah pala, kulit penyu dan
gading gajah;
2.
Orang Arab dan Persia, berdagang permata dan obat-obatan;
3.
Orang Gujarat, menjual kain dari kapas, sutera, dan kain putih dari Coromandel.
Ketika
mereka kembali, membeli rempah‑rempah; Sedangkan orang Portugis berdagang aneka
kain dari Eropa & India.
Barang-barang
dari luar negeri ini diambil oleh pedagang‑pedagang dari Jawa, Makasar,
Sumbawa, Palembang dan lainnya. Ke Banten pedagang-pedagang ini membawa garam
dari JawaTimur, gula dari Jepara dan Jayakarta, beras dari Makasar dan Sumbawa,
ikan kering dari Karawang, Banjarmasin dan Palembang. Minyak kelapa dari
Belambangan, rempah‑rempah dari Maluku, lada dan Lampung dan Solebar, kayu
cendana dan kepulauan Sunda kecil, gading gajah dari Andalas, tenunan dan Bali
dan Sumbawa, timah putih dan timah hitam dan Perak, Kedah dan Selong di Malaka,
besi dari Karimata, damar dari Banda dan Banjarmasin (Pane, 1950:182).
Dari
awal dinasti Maulana Yusuf inilah Banten menjadi ramai, baik oleh penduduk
pribumi maupun pendatang. Oleh karenanya dibuatlah aturan penempatan penduduk
sesuai dengan keakhlian dan asal daerah penduduk itu (Ambary,1977: 448).
Sehingga tumbuhlah perkampungan untuk orang India, perkampungan orang Pegu,
orang Arab, Turki, Persia, Siam, Cina, dan sebagainya. Di samping ada pula
perkampungan untuk orang Melayu, Ternate, Banjar, Bugis, Makasar, Bali
(Tjandrasasmita, 1975: 160).
Tembok
keliling kota diperkuat dan dipertebal, demikian juga tembok benteng di
sekehling istana. Tembok benteng diperkuat dengan lapisan luar bata dan batu
karang dengan parit-parit di sekelilingnya (Michrob,1983: 31).
Di
samping mengembangkan pertanian yang sudah ada, Maulana Yusuf pun mendorong
rakyatnya untuk membuka daerah‑daerah baru bagi persawahan, sehingga sawah di
Banten bertambah luas sampai melewati daerah Serang sekarang. Sedangkan untuk
memenuhi kebutuhan air bagi sawah‑sawah tersebut, dibuatlah terusan‑terusan
irigasi dan bendungan-bendungan (Djajadiningrat,1983: 38 dan 59).
Bagi
persawahan yang terletak di sekitar kota, dibangun satu danau buatan yang
dinamakan Tasikardi. Air dan sungai Cibanten dialirkan melalui terusan khusus
ke danau ini, yang kemudian dibagi ke daerah-daerah di sekitar danau. Tasikardi
juga digunakan bagi pemenuhan kebutuhan air bersih bagi kebutuhan masyarakat di
kota. Dengan melalui pipa‑pipa yang terbuat dan terakota, setelah
dibersihkan/diendapkan di pengindelan abang dan pengindelan putih, air yang
sudah jernih tersebut dialirkan ke keraton dan tempat‑tempat lain di dalam
kota. Di tengah danau buatan tersebut terdapat pulau kecil yang digunakan untuk
tempat rekreasi keluarga keraton (Michrob,1981: 56‑58).
Pada
masa Maulana Yusuf, strategi pembangunan lebih dititikberatkan pada
pengembangan kota, keamanan wilayah, perdagangan dan pertanian. Dengan
demikian, gangguan keamanan, dapat diatasi dengan baik.
Setelah
keadaan dalam negerinya dibenahi, rencana untuk rnemperluas wilayah
kekuasaannya, mulai dipersiapkan. Panembalran Yusuf memobilisasi pasukan besar
angkatan perang Surasowan. Sasaran utama penyerangan, adalah Pakuan, ibukota
Kerajaan Sunda Pajajaran.
Laskar
Surasowan Wahanten, dari sejak pemerintahan ayahnya, terkenal kemampuannya
dalam melakukan serangan kilat, bergerak cepat dari satu wilayah ke wilayah
lainnya. Catatan VOC dalam bagian kedua abad ke‑17 penuh dengan istilah rover,
yang semuanya dialamatkan kepada laskar Banten, karena mereka dianggap sebagai
pengganggu ketertiban di daerah kekuasan Kompeni.
Situasi
di Kerajaan Sunda Pajajaran, setelah Sang Prabu Nilakendra wafat, digantikan
oleh puteranya, Nusiya Mulya atau Prabu Ragamulya Suryakancana. Pada masa
pemerintahannya, Prabu Ragamulya Suryakancana, tidak tinggal di ibukota Pakuan
Pajajaran, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itulah, ia lebih dikenal
dengarr sebutan Pucuk Umun Pulasari. Disebut demikian, karena ia memilih
tinggal di lereng gunung Pulasari (Pandeglang). Di sanalah ibukota Kerajaan
Sunda Pajajaran ditempatkan, sebagai pusat pemerintahan yang baru.
Prabu
Ragamulya Suryakancana, menjadi raja Sunda (Pajajaran) sudah tidak lagi
mengenakan mahkota. Karena mahkota turun‑temurun dari Sri Baduga Maharaja,
diamankan oleh panglima perang Jayaprakosa, beserta ketiga saudaranya, dibawa
mengungsi ke wilayah Sumedanglarang. Kelak, mahkota tersebut dikenakan oleh
Prabu Geusan Ulun sebagai Narendra Sumedanglarang.
Serbuan
laskar Surasowan Wahanten, dipimpin langsung oleh Panembahan Yusuf. Kota Pakuan
Pajajaran, sudah ditinggalkan oleh para pembesar kerajaan. Bila kenyataan yang
terjadi, Keraton Pakuan Pajajaran dibumi‑hanguskan oleh laskar Surasowan
Wahanten, sangat memungkinkan. Bagi Panembahan Yusuf, merupakan upaya
"pembersihan", terhadap kedzaliman. la tidak menghendaki, kebesaran
dan nama baik Sri Baduga Maharaja, dinodai oleh para penerus tahta Kerajaan
Sunda Pajajaran.
Dari
peninggalan yang ada, laskar Surasowan Wahanten, tampaknya tidak menggangu
"tempat keramat" di dalam kota. Terbukti masih tersisanya prasasti
Batutulis Kota Bogor. Hanya kepala patung Ki Purwagalih yang ditanggalkan.
Kemudian
mereka memboyong Batu Gilang atau Palangka batu Sriman Sriwacana ke ibukota
Surasowan. Dengan diboyongnya batu tersebut, maka di kota Pakuan, tidak mungkin
lagi dinobatkan raja baru. Palangka itu, menjadi tanda "keabsahan"
Panembahan Yusuf, sebagai ahli waris dan penerus kekuasaan raja‑raja Pajajaran.
Watu Gilang Sriman Sriwacana tersebut, terbuat dari batu andesit ukuran: 200 x
160 x 20 centimeter. Sekarang, Watu Gilang "tanda keabsahan Panembahan
Yusuf sebagai penerus tahta Kerajaan Sunda Pajajaran", tergeletak
terlantar di bekas halaman keraton Surasowan. Padahal, batu tersebut mempunyai
nilai spiritual, yang dahulu digunakan untuk upacara penobatan Raja‑Raja Sunda.
Akibat
serangan laskar Surasowan Wahanten, sebagian penduduk kota Pakuan yang tersisa,
mengungsi ke pantai selatan, di Cisolok dan Bayah. Sampai sekarang,
keturunannya masih merupakan kaum‑adat, dan menamakan pemukimannya: Kampung
Ciptarasa. Menurut cerita leluhurnya, mereka meninggalkan kota Pakuan, ketika
kota itu diserang laskar Surasowan Wahanten. Jejak peristiwa itu, secara samar‑samar,
dikisahkan Ki Baju Rambeng, dalam Pantun Bogor.
Sesungguhnya,
kota Pakuan telah "berhenti berfungsi" sebagai ibukota kerajaan,
sejak Prabu Nfakendra meninggalkarmya. Raja Kerajaan Sunda Pajajaran yang
terakhir, beribukota d.Puasari, Pandeglang. Prabu Ragamulya Surya Kancana,
tentunya tidak membuat babak baru, untuk membangun Kerajaan Sunda Pajajaran. la
hanya berlindung dan mempertahankan hidupnya di salah satu kerajaan daerah
bawahannya. Namun mengapa ia justeru lari ke arah barat, ke suatu daerah yang
lebih dekat ke sarang musuhnya?
Mungkin
Pucuk Umun Masari tidak memposisikan dirinya sebagai raja "pemimpin
pemerintahan". la hanya sebagai "rajaresi", neangan marga
lantaran (mencari keutamaan jatidiri yang sesungguhnya), sambil menyongsong
ajal tiba. Mungkin ia pergi ke Pulasari, hanya berdasarkan getaran
"panggilan masa silam", bahwa di sanalah, di Pulasari "dangiang
Sunda wiwitan" (kekuatan Sunda awal) tersimpan. Semua atribut kebesaran
kerajaan sudah ditanggalkan. la hanya seorang "raja pendeta"
bersahaja, yang meninggalkan urusan duniawi.
Prabu
Ragamulya Suryakancana, bersama pembesar dan pengikutnya yang setia, hanya
berusaha mempertahankan diri, menangkis serangan laskar Surasowan Wahanten.
Akan tetapi, "Pajajaran napak uga" (tiba saat berakhir). Sisa
kekuatan Kerajaan Sunda Pajajaran di purasaba Pulasari, dibinasakan.
Sekelompok
kecil yang bernasib baik, menyelamatkan diri ke Pegunungan Kendeng di Banten
Selatan, bergabung bersarna masyarakat "Sunda Wiwitan" di Mandala
Kanekes. Di sanalah yang sesungguhnya "Tanah Suci" religi Sunda, satu‑satunya
pilihan untuk menemukan ketentraman hidup yang hakiki.
Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa
saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala (Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan
Wesaka tahun 1501 Saka). Peristiwa runtuhnya Kerajaan Sunda Pajajaran,
bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul `awal 987 Hyriyah, atau tanggal 8 Mei 1579
Masehi.
Sang
Prabu Ragamulya Suryakancana alias Pucuk Umun Pulasari, belum tentu mengetahui
riwayat Sang Panghulu Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya, penguasa masyarakat Sunda
pertama. Akan tetapi, napas tertua bentuk kerajaan, terlahir dan berawal di
bumi Pulasari Pandeglang. Setelah riwayatnya mengalami pasang‑surut selama 1450
tahun, akhirnya berpusara di tempat lahir.
Prabu
Ragamulya Suryakancana atau Pucuk Umun Pulasari, menjadi penguasa Kerajaan
Sunda Pajajaran selama 12 tahun, dari tahun 1489 Saka (1567 Maselv) hingga
tahun 1501 Saka (1579 Masehi). Sedangkan Panembahan Yusuf, menjadi penguasa
Surasowan Wahanten selama 10 tahun, dari tahun 1492 Saka (1570 Masehi), hingga
tahun 1502 Saka (1580 Masehi).
D. SULTAN AGENG
TIRTAYASA
PENYELAMAT TAHTA
Di bawah pemerintahan Panembahan Yusuf,
Kesultanan Surasowan Wahanten (Banten), semakin berkembang pesat, terutama
dalam hal pembangunan kota, pengembangan areal pertanian, niaga maritim,
keamanan dan perluasan daerah kekuasaan. Sejak direbutnya Pakuan (ibukota
Kerajaan Sunda Pajajaran) pada tahun 1579, wilayah tersebut sudah menjadi
bagian dari Kesultanan Surasowan Banten. Panembahan Yusuf, berhasil menjadi
pewaris sekaligus penerus tahta Kerajaan Sunda Pajajaran.
Dari permaisuri Ratu
Hadijah, Maulana Yusuf mempunyai dua orang putera, antara lain:
1. Rata Winahon;
dan
2. Pangeran
Muhammad.
Ketika
Maulana Yusuf sakit keras, Pangeran Arya bersama pasukan pengawalnya, di bawah
pimpinan Ki Demang Laksamana, sudah berada di Kesultanan Surasowan Banten.
Pangeran Arya, adalah putera Maulana Hasanuddin dari isterinya yang kedua, Ratu
Ayu Kirana (puteri Raden Patah). Sejak kecil, Pangeran Arya dijadikan anak
angkat oleh Ratu Kalinyamat (adik Ratu Ayu Kirana), tinggal di keraton Japara.
Oleh karena itu, ia dikenal juga dengan sebutan, Pangeran Japara.
Pada tahun 1580, Maulana Yusuf
meninggal dunia. Ketika itu, putera mahkota Pangeran Muhammad, baru berusia 9
tahun. Melihat kenyataan seperti itu, beberapa pembesar kerajaan (termasuk
Mangkubumi Jayanagara), berniat menyerahkan tahta Kesultanan Surasowan, kepada
Pangeran Japara. Akan tetapi, Panghulu Negara (Kadhi), melindungi dan
mempertahankan Pangeran Muhammad, sebagai penerus tahta Kesultanan Surasowan
Banten, sesuai dengan amanat Panembahan Yusuf.
Alangkah kecewanya Pangeran Japara.
Konflik tidak dapat dihindari lagi. Maka terjadilah pertempuran sengit di luar
benteng istana Surasowan. Pangeran Japara bersama pasukannya, terdesak oleh
pasukan Surasowan Banten. Dalam pertempuran itu, Ki Demang Laksamana tewas di
tangan Mangkubumi Jayanagara, yang akhirnya ikut melindungi din mempertahankan
Pangeran Muhammad. Ambisi Pangeran Japara untuk merebut tahta Kesultanan
Surasowan, tidak tercapai, dan akhirnya diusir dari Banten.
Setelah persitiwa itu, Maulana Muhammad
dinobatkan menjadi Sultan Surasowan Banten yang ketiga. la lebih dikenal dengan
sebutan Kanjeng Ratu Banten. Untuk menjalankan pemerintahan sehari‑hari,
Mangkubumi Jayanagara, bertindak sebagai walinya.
Seperti halnya ayah dan kakeknya,
Maulana Muhammad pun terkenal sebagai Sultan Banten yang saleh. la banyak
menyusun kitab‑kitab hukum Islam dan mendirikan masjid, hingga ke
pelosok-pelosok desa. Masjid Agung yang terletak di tepi alun‑alum diperindah,
temboknya dilapisi porselen, dan tiangnya dibuat dari kayu cendana
(Michrob,1993: 89).
Pada tanggal 2 April 1595 berlayarlah
empat buah armada dagang Belanda milik "Compagnie
van Verre'; di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dan Pieter de
Keyser. Bersama 249 pasukannya, mereka berangkat dari pangkalan Tessel, di
bagian utara Kerajaan Belanda. Rupa‑rupanya, mereka telah mencium wangi rempah‑rempah
Nusantara, dari berita pedagang Portugis. Melalui Tanjung Harapan, pada tanggal
22 Juni 1596, mereka berlabuh di pesisir Kesultanan Surasowan Banten.
Dalam pelayarannya, disertai juru tulis
Willem Lodewycksz, sebagai pencatat perjalanan. la melukiskan keadaan
perdagangan di Kesultanan Surasowan Banten, antara lain sebagai berikut:
Di sebelah timur kota,
yaitu daerah Karangantu, terdapat sebuah pasar yang pagi maupun siang terdapat
pedagang‑pedagang dari Portugis, Arab, Turki, Cina, Keling, Pegu, Malaya,
Bengali, Gujarat, Malabar, dan Abesinia. Juga terdapat pedagang‑pedagang dan
Nusantara, seperti dari Bugis, Jawa, dan lain‑lain. Pasar kedua terletak di
Paseban, yang memperdagangkan keperluan sehari‑hari. Dan pasar yang ketiga,
terletak di Pacinan, yang dibuka sebelum dan sesudah pasar‑pasar lain tutup.
Barang‑barang yang diperdagangkan di pasar ketiga ini bermacam ragam, mulai
dari kain sutra dari Cina dan Gujarat sampai sisir dan kipas. Diceritakan pula,
bahwa barang‑barang tekstil dari Gujarat ini 20 jenis. Transaksi perdagangan di
pasar ini berjalan mudah, karena mata uang dan pertukaran mata uang (money changer) sudah
dikenal (Michrob,1993: 89).
Sikap
Cornelis de Houtman, yang kasar dan tidak bijaksana, membuat kunjungannya di
Banten (22 Juni 3 Juli 1596), tidak menghasilkan apa‑apa. Bahkan, karena
kecongkakannya, ia sempat ditahan oleh Penguasa Surasowan Banten. Armada dagang
yang dipimpinnya, diusir dan pelabuhan Kesultanan Surasowan Banten.
Setelah terusir dari negeri Surasowan
Banten, Cornelis de Houtman bersama pasukannya, melanjutnya perjalanan ke
Jayakarta. Mereka tiba di sana, pada tanggal 13 November 1596. Kemudian, ia
melanjutkan perjalanan, menuju negeri Aceh Darusalam (1599). Karena sikap
congkaknya, di negeri rencong itu, ia tewas terbunuh.
Sementara itu, penguasa Kesultanan
Surasowan Banten Maulana Muhammad, pada tahun 1596 melancarkan aksi penyerangan
ke Palembang. Peristiwa ini berawal dari hasutan Pangeran Mas, putera Aria
Pangiri, cucu Sunan Prawoto Demak, yang ingin menguasai penguasa di Palembang.
Menurut catatan Hoesein Djajadiningrat
dan Hamka yang dikutip oleh Halwany Michrob, penyerangan Sultan Maulana
Muhammad ke Palembang, menggunakan kapal perang Kesultanan Surasowan Banten. la
memimpin langsung pasukannya, didampingi Mangkubumi dan Pangeran Mas.
Pertempuran sengit, berlangsung di
sekitar Sungai Musi, hampir memukul mundur pasukan Palembang. Akan tetapi,
Sultan Maulana Muhammad tertembak dan gugur di atas kapal Indrajaladri.
Akhirnya, armada Kesultanan Surasowan Banten, ditarik mundur. Sultan Maulana
Muhammad meninggal dalam usia 25 tahun.
Dari permaisuri Ratu Wanagiri (puteri
Mangkubumi Jayanagara), Sultan Maulana Muhammad, berputera Abdulmafakhir, yang
baru berusia 9 bulan. Akhirnya Abdulmafakhir diangkat sebagai pengganti
ayahnya, melanjutkan tahta Kesultanan Surasowan Banten. Sultan yang masih bayi
itu, didampingi oleh kakeknya, Mangkubumi Jayanagara, sebagai Wali Kesultanan.
Akan tetapi, pada tahun 1602, Mangkubumi Jayanagara meninggal dunia.
Selanjutnya, jabatan Wali Kerajaan,
diserahkan kepada adiknya Mangkubumi Jayanagara. Kedudukan Mangkubumi yang baru
ini tidak berlangsung lama. Sebab, sikap dan tindakannya tidak sesuai dengan
jabatannya. Akhirnya, pada tanggal 17 Nopember 1602, ia diturunkan dari
jabatannya.
Perwalian, terpaksa dipegang langsung
oleh ibunda Sultan, Ratu Wanagiri. Akan tetapi Ratu Wanagiri yang berstatus
janda, menikah lagi dengan seorang bangsawan keraton. Suaminya diangkat menjadi
Mangkubumi.
Sementara
itu, pada tahun yang sama (1602), di Belanda terjadi peristiwa penting. Sejak
pelabuhan‑pelabuhan di Nusantara ramai oleh kapal‑kapal dagang dari Eropa,
terjadi persaingan ketat perdagangan memperebutkan rempah‑rempah dari negeri
timur, yang ternyata merugikan perdagangan Belanda. Melihat kondisi seperti
ini, Kerajaan Belanda membentuk Vereenigde Oost Indische Campagnie
(VOC). Kongsi dagang tersebut, oleh penduduk Nusantara, dikenal sebagai
Kompeni atau Kumpeni.
Sementara itu, di kalangan Keraton
Surasowan Banten, sikap Mangkubumi sangat mengecewakan. la terlalu sibuk dengan
urusan pribadi, yang mengabaikan kepentingan negara dan rakyat, menimbulkan
rasa ketidakpuasan para pembesar kerajaan. Rasa ketidakpuasan itu, mencapai
puncaknya, pada tahun 1604. Putera Maulana Yusuf dari isteri kedua, yaitu
Pangeran Mandalika, mengadakan huru‑hara di pelabuhan, sebagai unjuk rasa atas
kekecewaan terhadap Mangkubumi yang baru itu. Pangeran Mandalika bersama
adiknya, Pangeran Arya Ranamanggala, didukung oleh pangeran‑pangeran lainnya,
mendirikan benteng pertahanan di luar kota.
Melihat situasi seperti itu, Mangkubumi
merninta bantuan Pangeran Jayakarta untuk menghentikan aksi Pangeran Mandalika.
Didukung pula oleh pihak Inggris, akhimya pasukan Pangeran Mandalika
tersingkir.
Huru‑hara untuk sementara dapat
diredam. Akan tetapi, situasi di Kesultanan Surasowan Banten tidak semakin
membaik. Bahkan, pada bulan juli 1608, terjadi kembali huru‑hara besar.
Peristiwa tersebut, terkenal dengan sebutan Peristiwa Pailir. Pada
tanggal 23 Oktober 1608, Mangkubumi terbunuh. Akhirnya, tugas perwalian
Kesultanan dan jabatan Mangkubumi, dipegang oleh Pangeran Arya Ranamanggala.
Langkah pertama Pangeran Arya Ranamanggala,
menindak tegas pejabat kerajaan yang melakukan penyelewengan. Mangkubumi
Ranamanggala berusaha keras, agar Sultan Abdulmafakhir, untuk sementara tidak
mencampuri urusan pemerintahan. Demikianlah cara Pangeran Arya Ranamanggala,
menyelamatkan Kesultanan Surasowan Banten dari bencana perpecahan dan
kehancuran.
Atas bantuan Kompeni lnggris East
India Compagnie (EIC),
pada tanggal 30 Mei 1619, Kompeni Belanda (VOC berhasil mengalahkan Jayakarta.
Di sana mereka membangun sebuah benteng, yang diberi nama Batavia, sebagai
peringatan terhadap nenek moyang bangsa Belanda, yaitu suku Bataav.
Pada tanggal 13 Mei 1626, Pangeran Arya
Ranamanggala meninggal dunia. Kekuasaan sepenuhnya, diserahkan kepada Sultan
Abdulmafakhir. Sebagaimana ayah dan kakek buyutnya, Sultan Abdulmafakhir pun
seorang ulama yang saleh. Dia banyak menyusun kitab‑kitab ilmu agama Islam, di
antaranya Insan Kamil, yang kelak
diambil oleh Dr. Snouck Hurgronje (Roesjan, dalam Michrob,1993:127).
Sultan Abdulmafakhir, adalah penguasa Kesultanan
Surasowan Banten pertama yang dikukuhkan oleh Syekh Mekah, dan mendapat gelar
Sultan Abdulmufakhir Mahmud Abdulkadir. .Gelar ini diperolehnya, ketika ia
mengutus putera mahkota dan beberapa pembesar negara, menunaikan ibadah haji ke
Tanah Suci Mekah. Begitu juga dengan putera mahkotanya, mendapat gelar Sultan
Abdulma'ali Ahmad. Oleh masyarakat Kesultanan Surasowan Banten, Sultan
Abdulmafakhir mendapat sebutan Sultan Agung Kanari.
Pemerintahan Sultan Abdulmafakhir,
merupakan masa kemakmuran. bagi Kesultanan Surasowan Banten. Tidak hanya
perdagangan internasionalnya saja yang semakin meningkat, akan tetapi, sektor
pertanian dalam negeri juga mengalami kemajuan yang pesat. la seorang Sultan
yang cepat tanggap, sering "terjun ke lapangan", menyaksikan sendiri
apa yang diperlukan oleh rakyatnya.
Dalam melaksanakan perniagaan
antarbangsa, Sultan Abdulmafakhir, bersikap bebas. Pada tahun 1645, ia mencapai
perjanjian perdagangan, dengan pimpinan Kompeni Belanda di Batavia. Kesepakatan
perdagangan, tidak sedikitpun memberikan hak monopoli kepada Kompeni Belanda.
Perjanjian itu, sepuluh tahun kemudian (1655) akan "diperbaharui".
Pada tahun 1640, putera mahkota,
Abdulma'ali, diangkat menjadi Sultan Anom. Akan tetapi, pada tahun 1650, ia
meninggal dunia dalam usia muda. Dari permaisuri Ratu Martakusuma (puteri
Pangeran Jayakarta), Sultan Anom Abdulrna'ali mempunyai anak, antara lain:
1. Ratu
Pembayun;
2.
Pangeran Surya;
3.
Pangeran Arya Kulon;
4.
Pangeran Lor; dan
5.
Pangeran Raja.
Selanjutnya,
kedudukan Sultan Anom, diserahkan kepada Pangeran Surya.
E.
SULTAN ABULFATH ABDULFATAH
Satu
tahun setelah pengangkatan Pangeran Surya menjadi Sultan Anom (tahun 1651),
penguasa Kesultanan Surasowan Banten, Sultan Abdulmafakhir Abdulkadir meninggal
dunia. Tahta Kesultanan Surasowan Banten, dilanjutkan oleh cucunya, Pangeran
Surya alias Pangeran Ratu.
Pangeran
Surya, melanjutkan hubungan internasional dengan dunia luar, terutama dengan
kekhalifahan Islam yang berpusat di Mekah. Pangeran Surya mengutus beberapa
pembesar kerajaan, untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah, sambil memberitakan
pergantian pimpinan di Kesultanan Surasowan Banten dan dunia perdagangan di
Nusantara. Sepulang dari Tanah Suci Mekah, delegasi Kesultanan Surasowan Banten,
membawa gelar dari Syekh Mekah untuk Pangeran Surya atau Pangeran Ratu, dengan
sebutan Sultan Abulfath Abdulfatah.
Dalam menjalankan roda pemerintahan
sehari‑hari, Sultan Abdulfatah dibantu oleh saudara‑saudara dan kaum
kerabatnya, sebagai pejabat tinggi negara. Antara lain, empat orang saudara
kandungnya, yaitu:
1.
Pangeran Kilen;
2.
Ratu Kulon;
3.
Pangeran Lor; dan
4.
Pangeran Raja.
Serta empat orang
saudara seayah, yaitu:
1. Pangeran
Wetan;
2.
Pangeran Kidul;
3.
Ratu Inten; dan
4.
Ratu Tinumpuk.
Sebagaimana
kakeknya (Sultan Abdulmafakhir), Sultan Abdulfatah sangat besar perhatian
terhadap kesejahteraan hidup rakyat, sehingga ia sering berkeliling ke daerah‑laerah,
untuk melihat sendiri kehidupan penduduknya. Begitu juga dalam menghadapi
pedagang asing, Sultan Abdulfatah bersikap sama dengan para pendahulunya, yang
selalu tegas menolak setiap tuntutan monopoli. Meskipun Pelabuhan Banten
terbuka bagi semua pedagang, dari manapun asalnya, akan tetapi kegiatan perdagangan
harus dilakukan dengan jujur.
Terhadap Kompeni Belanda, Sultan
Abdulfatah bersikap tegas dan keras. Dengan berpegang pada "amanat"
kakek dan ayahnya, bahwa "menyerang langsung sarang Kompeni Belanda ke
Batavia, seperti yang pernah dilakukan oleh Mataram, merupakan pekerjaan yang
sulit, bahkan kemungkinan besar akan gagal". Oleh karena itu, Sultan
Abdulfatah menggariskan strategi: Menghancurkan Kompeni Belanda di luar
sarangnya, baik orang-orangnya, maupun sandaran ekonominya:
1. Kompeni
Belanda, harus dipancing keluar dari sarangnya;
2.
Perkebunan tebu beserta kilang‑kilang penggilingannya harus dimusnahkan; dan
3.
Jalur angkutan laut, yang membawa keperluan Kompeni dari arah timur, harus
dipotong.
Untuk memenuhi strategi
itu, Sultan Abdulfatah membentuk kekuatan:
1.
Di laut, satuan‑satuan armada kecil; dan
2.
Di darat, satuan-satuan tempur yang terdiri dari berbagai suku bangsa, dilatih
bergerak cepat sebagai "satuan mobil", tanpa basis yang tetap
(gerilya).
Mengenai
satuan tempur di darat, mengingatkan pada strategi yang pernah dilakukan oleh
leluhurnya, Panembahan Hasanuddin, ketika merebut Wahanten Pasisir dan
menyerang kota Pakuan Pajajaran. Pasukan "gerak cepat" itulah, yang
ditakutkan oleh Kompeni Belanda. Pasukan gerak cepat Kesultanan Surasowan
Banten, dalam satuan‑satuan kecil, beroperasi di belakang garis pertahanan
Belanda, yaitu sebelah Timur Cisadane. Sebagai catatan, menurut perjanjian
1645, antara Kesultanan Surasowan Banten dengan Kompeni Belanda, disepakati
bahwa batas wilayah kekuasaan, antara Kesultanan Surasowan Banten dengan
Kompeni Belanda, adalah sungai Tangerang atau sungai Cisadane.
Di wilayah perbatasan, pasukan gerak
cepat Kesultanan Surasowan Banten, memusnahkan tanaman tebu, dan menghancurkan
kilang penggilingan gula. Hal iru memaksa pihak Kompeni Belanda untuk
mengadakan patroli terus menerus. Akan tetapi, setiap ada kesempatan, pasukan
patroli Kompeni Belanda, disergap oleh pasukan gerak cepat Kesultanan Surasowan
Banten. Demikian pula halnya di perairan Ciasem dan Karawang, kapal‑kapal
pengangkut dari arah Timur, dihadang oleh armada kecil pasukan Banten.
Tujuannya, supaya kapal‑kapal itu, tidak akan pernah sampai ke Batavia.
Dari sistem strategi dan aksi‑aksi yang
dilakukan, terlihat watak maritim Banten murni, yang dimiliki oleh Sultan
Abdulfatah, yaitu: lincah dan tidak senang menunggu. Semua aksi‑aksinya,
dilakukan dengan tujuan untuk bisa mencegah "pembaharuan perjanjian",
yang tidak diinginkannya. Setidaknya, dapat menekan pihak Kompeni Belanda, agar
bersikap "lebih lunak" dalam meja perundingan.
Kompeni Belanda, yang semula bersikap
"tenang" menghadapi Sultan Abdulmafakhir, hingga "berhasil"
mengadakan perjanjian 1645, kini "dipusingkan" oleh kelincahan dan
ketegasan Sultan Abdulfatah. Padahal Kompeni Belanda berharap, dalam
"pembaharuan perjanjian", pihaknya tidak akan mengalami hambatan dan
kesulitan.
Sultan Abdulfatah, telah memusnahkan
segala harapan Kompeni Belanda, mengenai "keuntungan" dagangnya dari
Kesultanan Surasowan Banten. Kompeni Belanda harus berhadapan dengan seorang
penguasa Banten, yang tangguh dan berwibawa
Sementara itu, pada tahun 1653, dalam
tubuh Kompeni Belanda terjadi pergantian pimpinan. Johan Maetsuycker diangkat
menjadi Gubernur Jenderal, menggantikan Carel Reynierszoon. Maetsuycker, adalah
tenaga akhli dalam bidang hukum, yang membantu Dewan Hindia Belanda, sejak masa
GJ. Anthony Van Diemen (1636 ‑1645). la terkenal cerdas, ulet, dan pandai
bergaul.
Sebagai ahli hukum, Maetsuycker sangat
mentaati aturan-aturan, yang telah digariskan oleh atasannya di Netherland.
"Statuten Van Batavia", yang memuat peraturan‑peraturan tentang tata
tertib kehidupan di Batavia, adalah hasil dari buah tangannya. Para Direktur
Kompeni di tanah airnya, sangat puas atas prestasi Maetsuycker, sehingga
jabatan Gubernur Jenderal yang hanya berlaku 4 tahun, dipercayakan kepadanya
sampai 7 kali (1653 ‑1678).
Maetsuycker tidak senang bertualang,
selama 25 tahun menjadi Gubernur Jenderal, ia belum pernah meninggalkan
Pelabuhan Batavia, kecuali untuk berburu di luar tembok kota. Untuk ukuran VOC
yang bertugas di Nusantara, sikap Maetsuycker dinilai terlalu "halus"
dan "hati‑hati". Akan tetapi, ia mempunyai dua orang kawan, yang
sekaligus menjadi penasihatnya, yaitu: Rijcklof Volckertsz van Goens dan
Cornelis Speelman. Keduanya adalah orang Kompeni "tulen", yang
menjabat sebagai anggota Dewan Hindia. Menurut standar Jan Pieterszoon Coen,
kedua penasihat Maetsuycker, telah memenuhi persyaratan, yaitu: mahir menjadi
pedagang, merangkap Laksamana dan sekaligus Jenderal.
Baik van Goens maupun Speelman, telah
mengamati nasib "Imperium Portugis" di kawasan Asia, yang tidak
bertahan lama, karena bersifat "imperium laut murni" (hanya menguasai
pelabuhan‑pelabuhan penting). Menurut pandangan mereka, pelabuhan harus
memiliki daerah pedalaman dan pinggiran yang luas, sebagai sumber pangan,
sekaligus menjadi pelindung terhadap ancaman serbuan musuh dari darat. Mereka
mendorong, agar Maetsuycker bertindak lebih berani dan "lebih keras".
Untuk mencapai tujuannya, Maetsuycker, van Goens, dan Speelman, saling mengisi
dalam watak dan pendapat. Trio itulah, yang harus dihadapi oleh Sultan
Abdulfatah, selanu 30 tahun.
Kembali
ke Kesultanan Surasowan Banten. Gangguan gerilya Kesultanan Banten, baik di
darat maupun di laut, dijawab oleh Kompeni Belanda dengan memblokade Pelabuhan
Banten. Terhadap tindakan itu, Sultan Abdulf'atah mengadakan tekanan balasan di
sektor darat, dengan menarnbah kekuatan pasukan di daerah Angke Tangerang.
Ancaman dari darat inilah, yang sangat ditakuti oleh Kompeni Belanda. Sebab di
laut, Kompeni Belanda merasa lebih sanggup, mengunggudi armada Kesultanan
Surasowan Banten.
Karena merasa lemah di sektor darat,
Kompeni Belanda mencontoh strategi pasukan Kesultanan Surasowan Banten, derigan
membentuk pasukan "pribumi", yang berdasarkan kelompok etluk. Untuk
memenuhi keperluan tersebut, banyak "budak" yang dibebaskan atau
ditebus oleh Kompeni, dengan catatan bersedia menjadi tentara Kompeni Belanda.
Menjelang akhir masa perjanjian, Kompeni
Belanda mengambil prakarsa, mengirim perunding untuk menghadap Sultan
Abdulfatah, sambil membawa usul‑usul baru dari mereka. Dua kali Kompeni Belanda
mengirimkan utusannya, dua kali pula Sultan Abdulfatah menolaknya. Sebab secara
pribadi, Sultan Abdulfatah, tidak pernah mempercayai "niat baik"
Kompeni Belanda. Sampai akhir tahun 1656, perundingan itu belum juga dapat
dilaksanakan. Akan tetapi, sikap hati-hati yang dimiliki oleh Maetsuycker,
membuat Kompeni Belanda "tetap bersabar". Padahal, van Goens dan
Speelman, menginginkan Maetsuycker, agar ia bertindak lebih keras.
Pada tahun 1657, sikap "kehati‑hatian"
Maetsuycker, hampir berhasil. Kesultanan Surasowan Banten, bersedia membuka
jalur perundingan. Pertukaran nota, dilakukan sampai beberapa kali. Pada
tanggal 29 April 1658, utusan Kompeni Belanda, membawa usul
"perdamaian", sebanyak 10 pasal:
1.
Kedua belah pihak, harus mengembalikan tawanan perangnya masing‑masing.
2.
Banten harus membayar kerugian perang, berupa 500 ekor kerbau dan 1500 ekor
sapi.
3.
Blokade Belanda atas Banten akan dihentikan, setelah Sultan Banten menyerahkan
pampasan perang.
4.
Kantor perwakilan Belanda di Banten harus diperbaiki, atas biaya dari Banten.
5.
Sultan Banten harus menjamin keamanan dan kemerdekaan perwakilan Kompeni di
Banten.
6.
Karena banyaknya barang‑barang Kompeni dicuri dan digelapkan oleh orang Banten,
maka kapal‑kapal Kompeni yang datang di Banten dibebaskan dari pemeriksaan.
7.
Setiap orang Banten yang ada di Batavia, harus dikembalikan ke Banten, demikian
juga sebaliknya
8.
Kapal‑kapal Kompeni yang datang ke Pelabuhan Banten, dibebaskan dari bea masuk
dan bea keluar.
9.
Perbatasan Banten dan Batavia, ialah garis lurus dari Untung Jawa hingga ke
pedalaman dan pegunungan.
10. Untuk menjaga
hal‑hal yang tidak diingini, warga kedua belah pihak dilarang melewati batas
daerahnya masing‑masing.
(Michrob,1993:137).
Dengan tegas, Sultan Abdufatah menolak
usulan tersebut, yang dinilai sangat tidak adil. Sultan Abdulfatah menegaskan,
bahwa jika Kompeni Belanda menuntut perlakuan istimewa dari Banten, maka
sebagal imbalannya, pihak Kompeni Belanda pun harus memberikan perlakuan
istimewa terhadap Kesultanan Surasowan Banten. Oleh karena itu, sebagai
imbalan, Sultan Abdulfatah menuntut:
1.
Menuntut, agar orang Banten, secara bebas dapat membeli meriam, peluru dan
mesiu di pelabuhan Batavia,
2.
Menuntut, agar orang Banten, diijinkan langsung membeli rempah-rempah dan timah
dari daerah produsen.
Sultan
Abdulfatah sangat faham, bahwa kedua tuntutan itu tidak akan diluluskan oleh
Kompeni Belanda, karena:
1.
Tuntutan yang pertama, artinya sama dengan menyuruh Kompeni Belanda, agar
"bunuh diri". Sebab, peralatan‑peralatan yang dimaksud, pasti
digunakan untuk menghadapi Kompeni Belanda.
2.
Tuntutan yang kedua, merupakan pelanggaran terhadap hak monopoli Kompeni, yang
telah diperolehnya, dengan mengorbankan jiwa dan biaya yang cukup banyak.
Seperti
yang telah diduga sebelumnya, pihak Kompeni Belanda di Batavia menolak kedua
usul Sultan Abdulfatah itu. Sebagai jawabannya, pada tanggal 11 Mei 1658,
Sultan Abdulfatah membalasnya melalui surat, yang menyatakan bahwa
"perundingan tidak mungkin dilalksanakan". Penolakan tersebut,
berarti menyulut sumbu perang terbuka.
Pasukan‑pasukan
Kesultanan Surasowan Banten, sebelumnya sudah dipersiapkan dengan matang. Para
komandan tempur dari berbagai tingkat, telah ditunjuk untuk menempati pos‑posnya
masing masing.
1.
Arya Suryanata, di perairan Tangerang;
2.
Tumenggung Wirajurit, di perairan Karawang;
3.
Ratu Bagus Singandaru, di perairan Tanara;
4.
Ratu Bagus Wiranatapada, di perairan Pontang;
5.
Suranubaya, di perairan Labuhan Ratu; untuk mencegah pendaratan pasukan Kompeni
Belanda di pantai Selatan.
Selain
itu, sebuah satuan tempur darat, ditempatkan di pantai Caringin, perairan Selat
Sunda, di bawah pimpinan Wirasaba dan Purwakarti.
Pasukan tempur darat dengan kekuatan
5,000 orang, segera dikirimkan ke daerah perbatasan Angke Tangerang, di bawah
komando Senapati Ingalaga (nama ini sebenarnya berarti: Panglima Perang). la
didampingi oleh Rangga Wirapata sebagal Wakil Panglima, dan Haji Wangsareja
sebagal Imam Pasukan. Dengan melalui jalan darat, selama 9 hari, pasukan tempur
itu berangkat dari Ibukota Surasowan ke daerah Angke‑Tangerang.
Sedangkan satuan Artileri Banten,
khusus ditugaskan melindungi ibukota Surasowan, dengan kekuatan 60 meriam.
Sepuluh di antaranya, jenis canon (meriam besar), yang masing-masing diberi
nama. Di antara meriam‑meriam itu: Si Jaka Pekik, Si Muntab dan Si Kalantaka,
yang terkenal paling ampuh dan paling banyak mengenai sasaran.
Pertahanan ibukota, dipusatkan di
sekitar pelabuhan, untuk menjaga serangan dari laut. Hal ini dilakukan, karena
dalam rangka blokadenya, Kompeni Belanda menempatkan satuan armada, yang
terdiri dari 11 kapal di kawasan Teluk Banten. Kapal‑kapal milik Kompeni
Belanda itu, selalu "berkeliaran", di sekitar Pulodua dan Pulolima.
Oleh karena itu, Sultan Abdulfatah memerintahkan, agar semua moncong meriam diarahkm
ke pantai Teluk Banten.
Ketika Kompeni Belanda menyerang
Surasowan dari taut, berhasil digagalkan oleh pasukan tempur Kesultanan
Surasowan Banten, setelah melalui pertempuran sengit artileri sehari penuh.
Kapal-kapal Kompeni Belanda, mulai memuntahkah tembakan salvo. Akan tetapi,
balasan dari pasukan ardleri Banten, yang menyebar di sekitar pelabuhan, tidak
memberi peluang kepada kapal‑kapal Kompeni Belanda untuk mendekati garis
pantai. Pertempuran sengit itu, berlangsung sampai senja hari.
Sebelum malam tiba, armada Kompeni
Belanda, mundur dari garis pantai pertahanan pasukan Kesultanan Banten, menuju
ke laut lepas. Pasukan‑pasukan itu tidak kembali lagi, selama perang antara
Kesultanan Surawowan Banten dengan Kompeni Belanda, yang berlangsung hampir
satu tahun lamanya.
Sementara itu, di garis depan Angke‑Tangerang,
terjadi stagnasi. Pertempuran yang sudah berlangsung hampir satu tahun, belum
ada pihak yang mendahului maju atau mundur. Padahal, dari kedua belah pihak,
telah banyak korban yang jatuh. Melihat kenyataan ini, Sultan Abdulfatah
mengambil keputusan, untuk mengadakan penyegaran pasukan.
Pimpinan baru, Arya Mangunjaya dan Arya
Wiratmaja, ditunjuk untuk mengganti Senapati Ingalaga dan Rangga Wirapata.
Kemudian Sayid Ali, ditunjuk menggantikan kedudukan Haji Wangsareja. Mereka
dibekali pasukan baru, untuk menggantikan sebagian pasukan lama, yang sudah
memerlukan istirahat.
Strategi militer Sultan Abdulfatah ini,
dipandang sebagai ancaman baru, oleh Kompeni Belanda. Sebab, dengan kekurangan
tenaga cadangan dan sulit mengganti maupun menambah pasukan, Kompeni Belanda
hanya mampu bertahan. Di Batavia, Gubemur Jenderal bersama 9 orang anggota
Dewan Hindia, mengambil keputusan untuk mengajukan usul perdamaian kepada
Sultan Banten, melalui jasa baik Sultan Jambi sebagai perantara. Akhirnya, pada
tanggal 10 Juli 1659, di bawah pimpinan Kiai Demang Dirade Wangsa dan Kiai
Ingali Marta Sidana, bertindak atas nama Sultan Jambi. Perundingan berlangsung
di Batavia. Sultan Abdulfatah sendiri hadir, untuk menghadapi Gubernur Jenderal
Maetsuycker.
Sultan Abdulfatah, menyetujui dan
menandatangani perjanjian "perdamaian” itu, karena pihak Kompeni Belanda,
tidak menuntut hak monopoli. Oleh karena itu, Kesultanan Surasowan Banten pun
menarik kembali tuntutannya, tentang hak membeli senjata dari Batavia, dan hak
memperoleh rempah‑rempah (pala dan cengkeh) serta timah secara langsung dari
produsen. Kompeni Belanda, diperlakukan sama dengan kongsi‑kongsi dagang
lainnya, dan Kesultanan Surasowan Banten, tetap harus membeli bahan rempah‑rempah
dan timah, dari pasar Batavia.
Sebetulnya, titik berat dari perjanjian
itu, adalah: pengukuhan garis perbatasan, sepanjang sungai Cisadane. Setiap
pelanggar batas dari kedua belah pihak, tanpa alasan yang sah, akan ditangkap.
Bagi orang Kompeni Belanda, yang membelot ke Kesultanan Surasowan Banten,
kemudian memeluk agama Islam, dalam jangka waktu tiga bulan sebelum perjanjian
ditandatangani, harus dikembalikan ke Batavia.
Sebagai
catatan, Sultan Abdulfatah sangat menghargai orang asing, terutama bagi yang
memiliki keterampilan di bidang teknologi. Sultan Abdulfatah akan menawarkan
pekerjaan, dengan bayaran tinggi. Kemudian, bila teknisi yang bersangkutan
bersedia masuk Islam, Sultan Abdulfatah akan memberi jabatan resmi kepadanya.
Bahkan bila dianggap layak, akan diberi gelar kebangsawanan.
Kemudian, Kesultanan Surasowan Banten
harus membayar harga ternak, yang telah dirampas oleh pasukan gerilya Banten,
dari para kawula Kompeni Belanda di sekitar Batavia. Kelak terbukti, bahwa para
gerilyawan Banten, mengalihkan operasi "penyergapan ternak", ke
daerah pedalaman Cileungsi dan Cianjur.
Sedangkan konsesi bagi Kompeni Belanda,
adalah kantor perwakilannya di ibukota Surasowan Banten, tetap diperbolehkan
dibuka. Bahkan, biaya pemeliharaan kantor tersebut, menjadi tanggungan
pemerintah Kesultanan Banten. Strategi Sultan Abdulfatah ini, bertujuan agar
dapat mengawasi kegiatan Kompeni Belanda secara lebih ketat. Sebab, kantor
perwakilan Kompeni Belanda di ibukota Surasowan Banten, sekaligus berfungsi
sebagai "sarang mata‑mata".
Adapun keringanan lain
yang diperoleh oleh Komperri Belanda, antara lain sebagai berikut:
1.
Bila kapal Kompeni yang masuk pelabuhan Banten, atas permintaan kepala
perwakilannya, atau terpaksa singgah karena memerlukan air, tidak dikenakan bea
pelabuhan.
2.
Bila dalam kapal Kompeni itu, ada barang yang dianggap terlarang, petugas
pemeriksa dari pihak Banten, dapat menyitanya. Kemudian barang tersebut
dikirimkan ke Jakarta.
Di balik masa jeda "gencatan senjata" itu,
sesungguhnya kedua belah pihak "memerlukan istirahat". Perang selama
11 bulan dengan keadaan "seimbang", telah ikut memperlancar
tercapainya perdamaian, antara Kompeni Belanda dengan Kesultanan Surasowan
Banten.
F.
NEGERI PERDAGANGAN MARITIM
Sultan
Abdulfatah tidak pernah lengah akan kelicikan Kompeni Belanda, yang selalu
memanfaatkan kesempatan, dengan cara mencari setiap kelemahan, untuk mencapai
tujuannya, yaitu menanamkan hak monopoli atas perniagaan di Kesultanan Banten.
Dalam masa damai di bawah perjanjian 10 Juli 1659, Sultan Abdulfatah mengisinya
dengan memperbaiki keadaan dalam negeri. Sebab selama perang berlangsung, telah
banyak hal yang terabaikan.
Salah satunya, Sultan Abdulfatah
memecahkan persoalan di pos pertahanan perbatasan di sebelah timur. Posko
pertahanan sebelah timur ini, banyak mernakan biaya yang amat tinggi. Hal ini
disebabkan, selain letaknya yang jauh, juga sarana perhubungannya sulit.
Sehingga tempat itu baru bisa dicapai dari ibukota Surasowan, dalam tempo 9
hari perjalanan. Pada saat perang berlangsung, sepertiga dari pasukan yang
dikirimkan ke perbatasan, ditugaskan untuk mengangkut dan mengelola perbekalan.
Kondisi ini mengakibatkan daya guna pasukan relatif rendah, karena beban
logistik yang terlalu berat.
Oleh karena itu, Sultan Abdulfatah
mengambil tindakan dengan dua cara, antara lain sebagai berikut:
Pertama. Dibangun saluran
secara berantai, dari Pontang ke daetah Angke‑Tangerang. Saluran itu, dibuat
sepanjang jalan lama, dan dapat dilalui perahu‑perahu kecil. Dengan demikian,
penggunaan tenaga manusia untuk angkutan barang, dapat dikurangi dan angkutan
pasukan dapat dipercepat. Jalur itupun aman dan gangguan armada Kompeni
Belanda, karena terletak cukup jauh dari pantai. Dari catatan Kompeni Belanda
dapat diketahui, bahwa pembuatan saluran tersebut, dimulal tahun 1660 dan
memakan waktu kira‑kira 10 tahun.
Kedua. Sultan Abdulfatah
memindahkan penduduk sebanyak kira‑kira 6.000 jiwa, untuk dimukimkan di
tempat-tempat tertentu, sepanjang saluran yang baru. Di sebelah kiri dan kanan
saluran, masyarakat dianjurkan mencetak sawah. Strategi ini, bukan saja
memperbanyak penduduk di sekitar wilayah timur, tetapi lebih mendekatkan sumber
logistik ke daerah perbatasan.
Persiapan‑persiapan
matang yang dilakukan oleh Sultan Abdulfatah, tidak Iuput dari intaian dan
penilalan Kompeni Belanda yang semakin cemas dan gemas. Kompeni Belanda
menyadari, tujuan Sultan Banten yang tangguh itu. Kecemasan dan kegemasan
Kompeni Belanda, tampak dalam laporan Rijcklof Volckertsz van Goens, ketika ia
telah menjabat kedudukan Gubemur Jenderal, kepada atasannya di Netherland, pada
tanggal 31 Januari 1679, bahwa "Banten harus ditundukan, bahkan
dihancur-lumatkan, atau. Kompeni yang akan lenyap".
Kesultanan
Surasowan Banten, dianggap sebagai saingan utama oleh Kompeni Belanda. Selain
karena letaknya berdampingan dengan pusat kekuasaan Batavia, Banten pun
merupakan sebuah negara maritim, dengan tulang punggung ekonominya mengandalkan
perdagangan internasional. Terbukti, negara yang terletak di ujung barat Pulau
Jawa itu, telah berhasil mengimbangi kekuatan militer Kompeni Belanda.
Kecemasan pihak Kompeni Belanda,
ditambah lagi dengan tindakan Mataram pada tahun 1661, yang mengirimkan koloni
petaninya, sebanyak 500 orang ke Muara Beres, sebuah tempat di pinggiran Sungai
Ciliwung. Di Muara Beres, yang terletak di antara Jakarta dengan Bogor, koloni
Mataram ditugasi mencetak sawah baru. Muara Beres, pernah dijadikan pangkalan
"pasukan rakit", ketika Sultan Agung Mataram mengerahkan tentaranya,
untuk mengepung benteng Batavia.
Peristiwa ini pun turut diperhitungkan
oleh Sultan Abdulfatah. Sebab, Muara Beres terletak sejauh 4 jam perjalanan, ke
sebelah timur dari Wales, pos terdepan pasukan Banten, dengan kekuatan 4.000
orang. Dari Wales, terdapat sebuah jalan darat melalui Pagutan (sebelah barat
Ciputat), yang menuju Batavia, atau ke arah tenggara Muara Beres. Mata‑mata
Banten mendapatkan, bahwa pemukiman orang Mataram itu, dihuni petani biasa
(bukan tentara). Banyak di antaranya, orang Paledang (pembuat alat‑alat
tembaga), dan mereka dianggap "tidak berbahaya".
Selain pembangunan fisik, Sultan
Abdulfatah, dengan jiwa "Maritim Banten"‑murninya mempererat hubungan
dagang internasional, dengan kongsi‑kongsi dagang Eropa yang bukan Belanda.
Dengan demikian, dapat diraih tiga macam keuntungan sekaligus, yaitu:
1.
Peningkatan ekspor;
2.
Hubungan persahabatan dengan saingan‑saingan Kompeni Belanda;
3.
Alih teknologi.
Melalui
Kompeni Inggeris EIC (East Indie Compagnie), Sultan Abdulfatah, mengadakan
kontak diplomatik dengan kerajaan Inggeris. Dari orang EIC, ia memperoleh
informasi rahasia, tentang keadaan organisasi induk VOC di Netherland.
Ketika pecah perang, antara Belanda
dengan Inggeris dan Perancis pada tahun 1672, peristiwa itu segera diketahui
oleh Sultan Abdulfatah, dari para pelaut Inggeris dan Perancis yang datang di
pelabuhan Banten.
Dalam
jalinan persahabatan internasional ini, Sultan Abdulfatah, mengundang para
teknisi Eropa. Mereka dilibatkan dalam pembangunan kapal-kapal niaga, yang
memiliki daya jangkau jauh, mampu berlayar hingga mencapai Philipina, Macao,
Benggala dan Persia (Iran).
Sebagian besar para teknisi Eropa itu,
dilibatkan pula dalam perbaikan komplek keraton Surasowan. Istana yang megah itu,
dibuat lebih indah dan lebih tahan dari serangan. Keraton Surasowan, dilengkapi
pancuran dan danau buatan. Seluruh komplek, dilindungi tembok terbuat dari bata
merah, yang cukup tebal. Pada sudut‑sudut benteng, ditempatkan menara jaga.
Jalan masuk menuju komplek Istana, berbentuk busur, diberi dinding bata pada
kedua tepinya, untuk menghindari pengintaian dari luar. Di sekitar tembok
benteng, dibuat pula saluran yang cukup lebar. Jejak-jejak tangan teknisi
Eropa, tampak berbaur dengan arsitektur tradisional.
Selain Istana Surasowan di pusat
ibukota, Sultan Abdulfatah pun membangun keraton baru di sebelah tenggara
Pontang, tidak jauh dari pantai. Dalam sumber Belanda yang sejaman, keraton itu
dilaporkan bercorak modern. Keraton dibangun untuk tempat tinggal Sultan
Abdulfatah, dan berfungsi sebagai benteng cadangan, bila terjadi hal darurat di
ibukota Surasowan. Karena keistimewaan sistem saluran airnya, keraton baru itu
dinamai Tirtayasa. Dari nama keraton itulah, kelak Sultan Abdulfatah dikenang
oleh rakyat Banten, sebagai Sultan Ageng Tirtayasa.
Salah satu teknisi Eropa itu adalah
Henrik Lucaszoon Cardeel, seorang "tukang batu" kelahiran Steenwijk,
Negeri Belanda. Setelah Henrik Lucaszoon Cardeel masuk Islam, Sultan Abdulfatah
memberikan gelar kebangsawanan, dengan nama Tubagus Wiraguna. Kelak, ia
dihadiahi sebidang tanah di Batavia (daerah Ragunan, sekarang). De Haan
berpendapat, bahwa nama tempat itu (Ragunan), merupakan singkatan dari Wiraguna
(Lombard, 1996: 303).
Upaya hubungan diplomatik dilakukan
pula dengan Denmark. Melalui kongsi dagangnya, perjanjian dagang antara Banten‑Denmark,
dapat ditandatangani tahun 1670. Hal tersebut, dapat dilihat dalam surat dinas
Sultan Abdulfatah, yang ditulis menggunakan bahasa Melayu beraksara Arab. Surat
tersebut ditujukan kepada Raja Christian V Denmark, pada tahun 1671, yang
isinya sebagai berikut:
Ini surat menyatakan tulus dan ikhlas
daripada Paduka Seri Sultan Abu'l‑Fath di Banten yang mengempukan tahta
pekerjaan (sic) dalam negeri Banten khallada'llahu mulkahu wa‑sayyara a'naka
a'adihi milkahu datang kepada raja Danamarka yang bernama Raja Kerristian anak
Raja Parraiderrai yang mengempukan tahta pekerjaan dalam negeri Dananarka raja
yang termashur gagah berani dalam segala negeri atas angin dan negeri bawah
angin ialah raja yang amat bangsawan serta setiawan dan yang bijaksana pada
memerintah segala pekerjaan di darat dan di laut serta mengelakukan isti'adat
raja‑raja dalam negeri Danamarka.
Adapun kemudian daripada itu bahwa
surat dan bingkis daripada raja Kerristian itu telah sampailah kepada Raja
Paduka Serri Sultan di Banten dengan sempurnanya. Maka apabila dibukalah surat
itu daripada meterainya semerbaklah bau‑bauwan yang amat harum daripada kasturi
dan `anbar akan mengatakan perkataan tulus dan ikhlas dan hendak berkasih‑kasihan.
Sahdan barang maksud Raja Kerristian yang tersebut dalam kitabat itu telah
diketahuilah oleh Paduka Seri Sultan di Banten, maka Paduka Seri Sultan pun
terlalulah sukacita sebab mendengar perkataan Raja Kerristian yang tersebut di
dalam kitabat itu.
Sebermula Paduka Seri Sultan meminta
kepada Raja Kerristian jual-jualan obat bedil pada tiap‑tiap masa kapal
berlayar ke Banten sekira-kira obat bedil itu seratus pikul dan demikian lagi
peluru bedil besar-besar.
Shahdan Paduka Seri Sultan memberi
Ma'lum kepada Raja Kerristian dahulu kala Kapitan Haddelar menitipkan lada
kepada angabehi Cakradana banyaknya lada itu seratus bahara dan tujuh puluh
enam bahara. Tamat (Naerssen,1977: 159).
Sementara itu, di lingkungan Istana Kesultanan
Surasowan Banten, pada tanggal 16 Februari 1671, Sultan Abdulfatah mengangkat
Abdulkahar sebagai Pangeran Gusti atau putera mahkota. Abdulkahar, adalah
putera Sultan Abdulfatah dari permaisuri Ratu Adi Kasum. Peristiwa ini,
bertepatan dengan datangnya surat dari Syekh Mekah, yang memberi gelar kepada
Pangeran Gusti, yaitu Sultan Abu'nasr Abdulkahar, yang kelak lebih dikenal
sebagai Sultan Haji.
Sultan Abu'nasr Abdulkahar, diberikan
tugas dan wewenang untuk mengatur urusan dalam negeri Kesultanan Surasowan
Banten. Sedangkan kekuasaan dan urusan luar negeri, sepenuhnya masih dipegang
oleh Sultan Abdulfatah. Sejak itulah, Sultan Abdulfatah pindah ke kediaman yang
baru, di Istana Tirtayasa
Selanjutnya, pada tahun 1674, putera
mahkota Sultan Haji, diperintahkan oleh ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa, untuk
menunaikan ibadah haji, sekaligus melakukan perlawatannya ke Turki, guna
menjalin persahabatan dengan pusat kekuatan Islam dunia Petjalanan Sultan Haji
dalam perlawatan diplomatik, memerlukan waktu 2 tahun.
Kesultanan Surasowan Banten
memanfaatkan masa yang relatif damai, berdasarkan perjanjian 10 Juli 1659,
untuk mengungguli persiapan Kompeni Belanda. Setiap saat, perang antara
Kesultanan Surasowan Banten dengan Kompeni Belanda, dapat saja meletus.
Hal
yang meredakan ketegangan, di antara kedua belah pihak, adalah sikap Gubernur
Jenderal Johan Maetsuycker. Sikapnya yang sangat hati-hati, membuat ia
mengambil sikap netral, bila terjadi pertikaian di antara kerabat keraton di
Nusantara.
Saran van Goens dan Speeltnan, agar
Kompeni bertindak cepat melumpuhkan Banten, tidak dihiraukan oleh Johan
Maetsuycker. Kekhawatirannya, Kesultanan Surasowan Banten, bersahabat baik
dengan kongsi dagang Inggeris dan Perancis, ketika pecah perang antara Belanda
dengan Inggris‑Perancis tahun 1672.
Sementara itu, untuk mengamankan hak
monopoli rempah‑rempah di wilayah timur, Speelinan berhasil menggulung Ternate
dan menundukkan Makasar. Dalam perjanjian Bongaya (1667), Makasar harus
mengakui keunggulan Kompeni, dan kehilangan kebebasannya. Dalam kejadian ini,
Cornelis Speelinan mengutamakan jasa baik Aru Palaka, Raja Bone yang terusir
oleh Sultan Hasanuddin, ketika kerajaannya ditundukkan oleh Makasar. Tanpa
bantuan Aru Palaka yang hafal keadaan daerah pedalarnan Makasar, belum tentu
Kompeni Belanda berhasil menggulung kekuatan Makasar.
Oleh sebab peristiwa itu, Sultan Ageng
Tirtayasa, kehilangan sekutunya di kawasan timur. Sisa‑sisa laskar Makasar,
banyak yang menyingkir, kemudian bergabung dengan laskar Banten. Dalam laporan
perwakilan Belanda di Banten, diberitakan bahwa selama bulan Agustus dan
September 1671, berturut‑turut telah datang ke Banten, 800 dan 300 orang
Makasar. Mereka ikut memperkuat angkatan perang Banten.
Ketika pecah pemberontakan Trunojoyo,
bukan saja orang Makasar yang ada di Banten, melainkan juga laskar Banten ikut
membantu gerakan bangsawan Madura itu. Bantuan senjata dan perbekalan,
diberikan pula oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Akibat adanya persaingan kekuasaan di
Pulau Jawa, terlebih setelah Sultan Agung Mataram menguasai Priangan, hubungan
Banten dengan Mataram, tidak pernah mulus, cenderung mengarah kepada
permusuhan. Koloni petani Mataram di Karawang, justeru selalu diganggu
keamanannya oleh laskar Banten, bukan oleh Kompeni yang menjadi sasarannya.
Karena persaingan itulah, walaupun
secara resmi tidak pernah berperang, akan tetapi Sultan Ageng Tirtasaya tidak
mau bekerjasama dengan Mataram, dalam perjuangannya ketika mengusir Kompeni
dari Batavia. Kedua belah pihak saling membiarkan, bila salah satu pihak
diancam Kompeni. Terbukti, Sultan Ageng Tirtayasa menempatkan Kesultanan Banten
sebagai pendukung Trunojoyo, dalam pemberontakan melawan Sunan Amangkurat I
Mataram.
Peristiwa
pemberontakan Trunojoyo, telah mempererat hubungan antara Pakungwati Cirebon
dengan Kesultanan Banten. Sebagaimana telah dikemukakan, menurut penuturan
Pangeran Wangsakerta, dalam peristiwa itu, kedua orang kakaknya, yaitu Samsudin
Martawijaya dan Badridin Kartawijaya, tertawan oleh Trunojoyo dan dibawa ke Kediri.
Mereka bersama ayahnya, Panembahan Girilaya, tidak diperkenankan pulang ke
Cirebon oleh Amangkurat I Mataram.
Pemerintahan Pakungwati Cirebon,
diwakili oleh Pangeran Wungsakerta, putera Panembahan Girilaya yang bungsu.
Pangeran Wangsakerta segera pergi ke Banten, merninta jasa baik Sultan Ageng
'Tirtayasa, untuk membebaskan kedua kakaknya dari tangan Trunojoyo.
Melalui sepucuk surat dari Sultan Ageng
Tirtayasa, berangkatlah sebuah kupal perang Banten membawa perlengkapan menuju
perairan Jaw a Timur. Menggunakan kapal itu pula, kedua pangeran Cirebon itu
kembali ke pelabuhan Banten.
Menurut Pangeran Wangsakerta sendiri,
sesungguhnya Sultan Ageng Tirtayasa‑lah, yang melantik resmi (mewisuda) mereka
bertiga, menjadi penguasa Pakungwati Cirebon. Masing‑masing, sebagai Sultan
Sepuh, Sultan Anom dan Wangsakerta sendiri sebagai Panembahan Cirebon.
Menggunakan kapal perang Banten pula, mereka diantarkan ke Pakungwati Cirebon,
untuk memulai tugas sebagai akhli waris Panembahan Girilaya. Peristiwa ini
terjadi pada tahun 1677.
Akibat peristiwa itulah, hubungan
kekerabatan antara Pakungwati Cirebon dengan Surasowan Banten, yang telah lama
retak, dapat dipererat kembali. Sebagai sesama keturunan Susuhunan Jati Cirebon
Syekh Syarif Hidayat, Sultan Ageng Tirtayasa, adalah saudara sepupu jauh ketiga
orang penguasa Cirebon itu.
Hanya saja, Kesultanan Surasowan
Banten, tidak menyukai hubungan akrab antara Pakungwati Cirebon dengan Mataram,
karena alasan politik. Sedangkan pihak Pakungwati Cirebon, mempunyai jalinan kekerabatan
yang lebih dekat, dengan keraton Mataram. Ibunda Amangkurat I, adalah kemenakan
Panembahan Ratu, buyut ketiga orang penguasa Cirebon tersebut. Selain itu, ibu
dan isteri‑isteri mereka, juga puteri Mataram.
Oleh sebab itulah, walaupun para penguasa
Cirebon sangat berhutang budi kepada Sultan Ageng Tirtayasa, permintaan agar
Pakungwati Cirebon memusuhi Mataram, tidak mungkin dipenuhi. Mereka hanya
menjanjikan, akan mengambil sikap netral, bila terjadi perselisihan antara
Banten dengan Mataram. Hal ini merupakan suatu keberhasilan Sultan Ageng
Tirtayasa, bagi kepentingan politik diplomasi Kesultanan Surasowan Banten, yang
telah berhasil menetralkan sekutu utama Mataram di kawasan Tatar Sunda.
Dalam peristiwa Trunojoyo ini, Speelman
mengusulkan agar Kompeni Belanda memulihkan kedudukan penguasa Mataram, dengan
tujuan mendapatkan wilayah, sebagai tebusan biaya perang. Selain itu, Speelinan
pun mengusulkan, supaya Trunojoyo beserta sekutunya, yaitu Kesultanan Surasowan
Banten, segera dilumpuhkan. Akan tetapi, Gubemur Jenderal Maetsuycker, yang
selalu hati‑hati, tidak menerima usul tersebut.
Maetsuycker mengijinkan Speelman
membawa armada Kompeni ke Japara, untuk mengatasi kekacauan di Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Dalam hal ini Johan Maetsuycker berpesan, agar Speelman mendesak
Amangkurat I dan Trunojoyo untuk berdamai kembali. Anjuran Speelman diterima
baik oleh Amangkurat I, namun ditolak oleh Trunojoyo.
Selanjutnya, Speelman segera bertindak
merebut Surabaya, yang telah dikuasai`pasukan Trunojoyo, mengambil alih benteng
pasukan Makasar di Gogodog dan perbatasan Balambangan, dan menyerang Arosbaya
di Madura. Akan tetapi, Speelman kembali ke Japara, tidak meneruskan
gerakannya.
Trunojoyo yang cerdik segera
membuntutinya, menyeberangi Selat Madura. Pada tanggal 2 Juli 1677, langsung
menyerbu ibukota Mataram, serta berhasil merebut dan mendudukinya. Pusaka‑pusaka
Mataram, termasuk mahkota Majapahit, diboyongnya ke Kediri sebagai tempat
kedudukannya.
Akibat serbuan Trunojoyo, Maetsuycker
yang semula bersikap netral, karena menganggap sebagai konflik intern keraton,
akhirnya mengambil sikap memihak Susuhunan Matarain. la berkirim pesan kepada
Speelman, agar mengambil langkah‑langkah untuk pemulihan kedudukan Sunan
Mataram.
Setelah Amangkurat I meninggal dunia,
dalam pengungsian ke benteng Kompeni di Tegal Arum, pada bulan Oktober 1677,
Speelman mengadakan pertemuan dan perjanjian dengan Adipati Anom, putera
mahkota Mataram. Berdasarkan pertemuan itulah, akhirnya perlawanan menghadapi
Trunojoyo tidak dilakukan oleh Mataram, melainkan oleh Kompeni Belanda.
Selanjutnya, setelah Trunojoyo tertawan, ia beserta mahkota Majapahit,
diserahkan oleh Kompeni kepada Sunan Amangkurat II. Karena peristiwa itulah,
Mataram resmi menjadi vazal Kompeni Belanda.
Akan tetapi, penumpasan gerakan
Trunojoyo itu, tidak sempat disaksikan oleh Johan Maetsuycker, yang meninggal
dunia pada tanggal 4 Januari 1678. Sebagai penggantinya, Para Direktur Kompeni
Belanda di Netherland, mengangkat Rijcklof Volckertsz van Goens, orang yang
sepaham dengan Cornelis Speelinan, sama‑sama penganut garis keras.
F. PAHLAWAN
KEPRAJURITAN NASIONAL
Rijcklof
Volckertsz van Goens dan Cornelis Speelman, yang berambisi ingin menghancurkan
Kesultanan Surasowan Banten, namun selalu terhalang oleh kehati‑hatian
Maetsuycker, kini bebas merencanakan dan melaksanakan maksudnya. Sebagai
langkah awal, Kompeni Belanda menggali terusan antara Kali Angke dengan
Cisadane, guna kelancaran angkutan pasukan dan perbekalan ke daerah perbatasan.
Terusan ini dapat diselesaikan oleh Kompeni Belanda, pada tahun 1680.
Menurut
perjanjian Belanda‑Pakungwati Cirebon pada tahun 1677, daerah jajahan Mataram
di Priangan diserahkan kepada Kompeni Belanda, sebagal pembayar hutang biaya
perang. Hal ini menimbulkan gejolak politik yang baru di Tatar Sunda. Sumedang
melihat kesempatan untuk bangkit, karena Rangga Gempol III, Bupati Sumedang,
mendambakan kekuasaan seluruh wilayah yang pernah dikuasai oleh Geusan Ulun.
Selanjutnya,
pada bulan September tahun 1678, ketika Kompeni Belanda sibuk menghadapi
Trunojoyo di Jawa Timur, Rangga Gempol menggempur Sukapura, Parakanmuncung dan
Bandung, sehingga para bupati dari ketiga daerah itu menyingkir ke Kesultanan
Banten, memohon perlindungan kepada Sultan Ageng Tirtayasa.
Rangga
Gempol adalah Bupati Priangan pertama, yang mengadakan hubungan dagang dengan
Kompeni. la mengakui kedaulatan Kompeni Belanda, sehingga memperoleh bantuan
meriam, senapan, peluru dan mesiu. Rangga Gempol juga menyapu daerah Ciasem,
menyingkirkan para kepala daerah setempat, yang merupakan wilayah bawahan
Banten.
Kekosongan
kekuasaan di Mataram itu, dimanfaatkan pula oleh Pakungwati Cirebon, dengan
mengerahkan 300 orang Talaga, di bawah pimpinan Wiratanu, untuk mengisi kawasan
bagian utara Cianjur. Akhir tahun 1678, Wiratanu mendirikan pos baru di Cianjur
dan Cimapag, untuk menguasai lalu-lintas perdagangan yang biasa ditempuh para
pedagang Sumedang. Hubungan dagang Sumedang - Kompeni, sudah mulai dirintis
mulai tahun 1656. Wiratanu yang berstatus resmi berada di bawah Cirebon,
mengadakan hubungan langsung dengan Kompeni, melalui Kapten Hartsinck,
penanggung‑jawab keamanan Kompeni untuk daerah pedalaman Batavia dan Karawang.
Situasi baru ini, telah memecah konsentrasi Kesultanan Banten, dalam upaya
menghadapi Kompeni secara langsung. Sultan Ageng Tirtayasa harus memulihkan
kekuasaan Banten di kawasan Ciasem, dan membantu ketiga orang Bupati Priangan
yang meminta perlindungan, setelah mereka tersingkir oleh Rangga Gempol.
Cakrayuda, salah seorang Bupati Banten di kawasan Ciasem, adalah menantu Bupati
Bandung.
Sultan
Ageng Tirtayasa memprioritaskan untuk mengatasi Sumedang. Pasukan gerak cepat
Kesultanan Banten, yang berkedudukan di Pamanukan, di bawah pimpinan Cili
Widara seorang bangsawan Buton, segera diperintahkan untuk menyerang Sumedang.
Akhirnya, Sumedang berhasil dikalahkan dan diduduki, sehingga Rangga Gempol
harus mengungsi ke daerah Indramayu. Akan tetapi, di daerah Indramayu, pasukan
Banten yang mengejar Raga Gempol, dikalahkan oleh bala bantuan Kompeni Belanda.
Pendudukan
Banten atas Sumedang, hanya berlangsung kurang dari dua tahun. Rangga Gempol
kembali berkuasa, tetapi ia telah kehilangan kekuasannya atas Ciasem dan daerah
Priangan Selatan. Secara politis, peristiwa itu telah menghilangkan sisa‑sisa
pengaruh kekuasaan Mataram di Tatar Sunda.
Sultan
Ageng Tirtayasa, mampu menghadapi tantangan‑tantangan yang timbul di kawasan
Priangan, sebagai akibat kekosongan kekuasaan setelah perjanjian Japara 1677.
Sebab, Kompeni sendiri tidak dapat segera menguasai wilayah yang diterima‑nya
dari Mataram. Kabupaten Cianjur, yang langsung menjadi sekutu Kompeni, justeru
muncul dalam kesempatan tersebut. Potensinya masih kecil, sehingga bukan
merupakan ancaman berarti, bagi kelancaran jalur hubungan pasukan dan
perbekalan Banten di daerah pedalaman.
Sementara
itu, di balik keberhasilan Sultan Ageng Tirtayasa, ia lebih dipusingkan oleh
keadaan intern Istana Kesultanan Sorasowan Banten sendiri, karena ulah putera
mahkota yaitu Pangeran Gusti (Sultan Haji).
Sultan
Haji, mempunyai tabiat yang berbeda sekali dengan ayahnya. la labil dalam
sikap, mudah terpengaruh bujukan orang, tanpa kajian yang mendalam. la senang
meniru perilaku orang Belanda, tetapi rakyat Banten dianjurkannya mengenakan
pakaian Arab, yang menyebabkan ia dibenci oleh ulama dan rakyat. Tetapi yang
paling membahayakan negara, adalah ambisinya terhadap kekuasaan terlalu besar.
la tidak puas dengan kedudukannya sebagai Sultan Anom.
Inilah
celah yang dunanfaatkan secara maksimal oleh perwakilan Kompeni Belmda di
Surasowan Banten. Sultan Haji bergaul akrab dengan W. Caeff, pimpinan kantor
perwailan Kompeni Belanda di ibukota Surasowan Banten, serta orang‑orang
Belanda lainnya. Ambisi Sultan Haji yang amat besar, untuk berkuasa penuh dalam
waktu secepat mungkin, hanya akan dapat diwujudkan dengan dukungan Kompeni
Belanda.
Kompeni
Belanda sudah merasa kesal, karena kekuasaan tertinggi Kesultanan Banten, masih
tetap dipegang oleh Sultan Abdulfatah. Rijcklof Volckertsz van Goens, yang
berambisi menghancurkan Kesultanan Banten, terpaksa menahan diri. la tidak
berani, menghadapi "musuh besar Kompeni Belanda" itu, tanpa persiapan
yang benar‑benar matang. Keamanan kawasan di sekitar Batavia, tetap rawan,
karena gangguan gerilya Banten. la sangat memahami, dalam pertempuran di laut,
Kompeni Belanda akan mampu menghadapi Banten. Akan tetapi di darat, pasukan
Banten masih terlalu tangguh. Akhirnya, van Goens sama sekali tidak sempat
mewujudkan impiannya, karena ia meninggal pada bulan November 1681. Dendamnya
terhadap Sultan Ageng Tirtayasa, terbawa mati.
Pengganti
van Goens adalah "si Jagoan Tempur" Cornelis Speelinan, ia orang
Kompeni Tulen. Ketika diangkat menjadi Gubernur jenderal, Speelman telah 34
tahun mengabdikan dirinya kepada Kompeni. Berkat pengalamannya sebagai
pedagang, perunding dan panglima perang. Belanda kelahiran Rotterdam itu, telah
akrab dengan iklim tropic, dan mengetahui banyak bahasa‑bahasa daerh dan adat
istiadat masyarakat Nusantara. Dialah yang mendiktekan Perjanjian Bongaya untuk
Makasar, dan Perjanjian Japara untuk Mataram.
Dalam
sehari, Cornelis Speelman tahan bekerja selama 16 jam. la cerdas dan cerdik,
tubuhnya kekar, namun lincah dan tak senang diam. Untuk kepentingan Kompeni, ia
berani mempertaruhkan nyawanya, bahkan ia pun tidak pernah ragu‑ragu
mengorbankan nyawa orang lain. Wajar bila Vlekke dalam bukunya, menyebut:
"pedang yang mengubah Kompeni dari penguasa niaga, menjadi penguasa
wilayah".
Dari
"tiga serangkai Kompeni", selama 30 tahun menghadapi Sultan Ageng
Tirtayasa, Cornelis Speelman adalah orang terakhir yang masih hidup. Watak dan
keuletan Speehnan, terlihat dalam laporannya mengenai Perang Makasar. Pada saat‑saat
perang sedang berlangsung, ia menyusun catatan pertempuran, lengkap dengan
keadaan politik, dan tatanan masyarakat Sulawesi Selatan. Banten, menghadapi
ancaman lawan yang tangguh dan licin.
Speelman
mengetahui, bahwa perselisihan antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Sultan
Haji, semakin meruncing. Oleh karena itu, untuk menghadapi Kesultanan Surasowan
Banten, Speelman mematangkan situasi. Sikap licin seorang pedagang ulung,
Speelman berpura‑pura tidak percaya dan menolak desakan Sultan Haji, yang ingin
memperbaharui perjanjian 1645, antara Kesultanan Surasowan Banten dengan
Kompeni Belanda. Oleh karena Sultan Haji ingin segera memegang kekuasaan penuh,
terpaksa ia harus menjanjikan konsesi‑konsesi yang lebih besar kepada Kompeni
Belanda.
Hasrat
menggebu yang dimiliki oleh Sultan Haji itu, terlihat dalam tindakannya pada
bulan Mei 1680, yang mengirimkan utusan ke Gubernur Jenderal VOC di Batavia.
Sultan Haji menawarkan perdamaian, sambil menegaskan bahwa dialah yang berkuasa
di Kesultanan Surasowan Banten. Padahal, saat itu jabatan Sultan Haji hanyalah
sebagai Sultan Anom, yang menempati Istana Surasowan.
Selanjutnya,
Speelman mengutus Jacob van Dijck, sebagai perunding pihak Kompeni untuk
membicarakan "pembaharuan perjanjian" dengan pihak Kesultanan
Surasowan Banten. Padahal Jacob van Dijck mengetahui benar, bahwa Sultan Ageng
Tirtayasa akan menolak "pembaharuan perjanjian" itu. Akan tetapi,
sebagai perunding ulung, van Dijck tidak akan segan melaksanakan tugas
tersebut, dengan sikap "tetap manis dan penuh harap". Jacob van Dijck
adalah orang Kompeni yang telah berhasil menarik Cirebon ke dalam perjanjian
persahabatan, pada tanggal 8 Januari 1681.
Tugas
van Dijck yang sesungguhnya, ialah menghasut Sultan Haji, agar lebih berani
mengadapi ayahnya, dengan janji dukungan dari Kompeni Belanda. Kepada Sultan
Ageng Tirtayasa, Kompeni Belanda menunjukkan sikap ingin "tetap
damai", padahal di benteng "Batavia", komandan-komandan tempur
yang paling berpengalaman telah bersiap. Mereka adalah: Kapten Hartsinck,
Kapten Tack, Van Happel, Sloot, dan Saint Martin. Pertahanan daerah Angke‑Tangerang,
disiapkan di bawah pimpinan Anthony Hurdt, anggota Dewan Hindia Belanda
penakluk Trunojoyo.
Dengan
dalih, Kompeni datang bukan "sebagai penyerang", melainkan sebagai
"penolong", Speelman ingin menciptakan "perang saudara" di
Kesultanan Surasowan Banten. Sistem politik adu domba, oleh Jacob van Dijck dan
Caeff, ditambah dengan sikap Sultan Haji yang ambisius atas kekuasaan, berjalan
mulus. Sehingga, pada malam 26 Februari 1682, Sultan Ageng Tirtayasa
memerintahkan pasukannya menyerang Istana Keraton Surasowan, yang ditempati
oleh Sultan Haji. Ibukota Surasowan diserang dari segala penjuru, dan
perkampungan pinggiran daerah kota habis dibakar. Namun dengan bantuan Kompeni
Belanda, komplek keraton Surasowan tidak berhasil direbut.
Selanjutnya
pada tanggal 6 Maret 1682, pasukan bantuan Kompeni Belanda, di bawah komando
Saint Martin, tiba di Pelabuhan Banten. Disusul kemudian oleh pasukan lainnya,
di bawah komando Kapten Tack. Pertahanan keraton Surasowan makin kokoh.
Sementara
itu, pada tanggal 16 Maret 1682, Kapten Hartsinck dibantu oleh Van Happel,
membawa pasukan campuran sebanyak 680 orang, dengan dukungan tenaga logistik
sebanyak 400 orang, mulai bergerak menuju perbatasan Angke‑Tangerang.
Tangguhnya
pasukan Sultan Ageng Tirtayasa di front Angke‑Tangerang, memaksa Kompeni
Belanda untuk tidak melakukan serangan, sehingga terjadi stagnasi. Hingga bulan
Agustus 1682, hanya terjadi serangan kecil-kecilan dari kedua belah pihak.
Pasukan gerilya Banten, berupaya keras mengganggu garis logistik Kompeni
Belanda.
Akhirnya,
anggota Dewan Hindia Belanda Anthony Hurdt, turun tangan memimpin pasukannya di
garis depan. Pada bulan Oktober 1682, Kompeni Belanda telah selesai membangun
perbentengan di sebelah timur Cisadane. Ketika persiapan Kompeni Belanda telah
rampung, pada bulan November 1682, mereka mulai melakukan gempuran terhadap pasukan
Sultan Ageng Tirtayasa. Tepat pada tanggal 2 Desember 1682, pusat pertahanan
pasukan Banten di Kademangan, jatuh ke tangan Kompeni Belanda. Sultan Ageng
Tirtayasa bersama pasukannya, mundur menuju Tanara.
Di Tanara, pasukan
darat dan laut Banten, mencoba mempertahankan daerah tersebut. Akan tetapi,
melalui pertempuran sengit pada tanggal 16 Desember 1682, Tanara pun jatuh ke
tangan pasukan Hartsinck. Selanjutnya, pasukan Banten mundur menuju daerah
pertahanan terakhir di Tirtayasa.
Sedangkan
di Tanara, Hartsinck mempersiapkan serangan baru. Pada tanggal 28 Desember
1682, armada darat dan laut Kompeni Belanda, bergerak menuju Tirtayasa.
Serbuan pasukan
Hartsinck ini, diikuti oleh Kapten Saint Martin dan Tack, yang berada di
Keraton Surasowan. Dari ibukota Surasowan, mereka bersama‑lama dengan pasukan
Sultan Haji, bergerak menuju ke Tirtayasa. Pasukan gabungan ini, berhasil
merebut Pontang. Saat itu, meriam tempur Hartsinck, mulai menembus keraton
Tirtayasa.
Semakin
mendesaknya pasukan Kompeni Belanda menuju benteng Tirtayasa, dengan
perhitungan yang matang, Sultan Ageng Tirtayasa memutuskan untuk
membumihanguskan keraton Tirtayasa. Bersama dengan para pembesar dan
pengikutnya yang setia, Sultan Ageng Tirtayasa menyingkir menuju kawasan hutan
Keranggan, di sebelah selatan Tirtayasa. Pada awal Maret 1683, pasukan Sultan
Ageng Tirtayasa telah berada di Sajira, daerah perbatasan Tangerang‑Bogor. Di
tempat itulah, ia menerima sepucuk surat dari Sultan Haji, yang berisi bujukan
dan permohonan, agar Sultan Ageng Tirtayasa bersedia kembali ke Istana
Surasowan. Setelah dirundingkan dengan para pembesar dan pembantunya yang
setia, Sultan Ageng Tirtayasa memutuskan untuk kembali ke ibukota Surasowan.
Sementara
yang lain menunggu di Sajira, pada tanggal 14 Maret 1683 malam hari, Sultan
Ageng Tirtayasa bersama para pengawalnya, memasuki keraton Surasowan.
Kedatangan Sultan Ageng Tirtayasa, disambut baik dengan penuh rasa hormat, oleh
Sultan Haji. Beberapa hari kemudian, utusan Kompeni Belanda tiba di Keraton
Surasowan. Pada saat itulah, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap oleh Kompeni
Belanda dan dibawa ke Batavia.
Kemungkinan
besar, bukan maksud Sultan Haji menjebak ayahnya. Karena terbukti, dikemudian
hari Sultan Haji tetap menghormatinya. Penangkapan itu, lebih didasari karena
Kompeni Belanda khawatir, jika Sultan Ageng Tirtayasa dibiarkan tetap berada
dekat puteranya di Surasowan, dapat mempengaruhi dan mengubah sikap Sultan
Haji. Akan tetapi, Sultan Haji tidak berdaya. Ambisinya terhadap tahta
Kesultanan Banten, terlalu besar untuk dikorbankan bagi kebebasan dan
keselamatan ayahnya Bahkan demi kehormatannya sendiri. Karena dialah yang
mengundang dan menjamin keamanan ayahnya di Surasowan.
Mungkin
saja, Sultan Haji hanya sanggup meminta kepada Kompeni Belanda, agar ayahnya tidak
dibunuh atau dibuang. Sultan Ageng Tirtayasa dipenjarakan di dalam benteng
Kompeni belanda dengan "terhormat", di bawah pengawasan dan penjagaan
yang ketat. Sultan Ageng Tirtayasa wafat dalam penjara pada tahun 1692.
Jenasahnya diminta dan dikebumikan di sebelah utara Masjid Agung Banten.
Sebutan Sultan Agung atau Sultan Ageng, yang diberikan rakyat Banten kepadanya,
menunjukkan kebesaran Sultan Abulfath Abdulfatah.
Sultan
Ageng Tirtayasa, ialah musuh besar Kompeni Belanda. Akan tetapi, sumber‑sumber
resmi yang ditulis oleh pihak Belanda sendiri, tidak satupun yang mencela watak
atau perilaku pribadinya. la dihormati dan disegani oleh lawannya. Walaupun
Rijcklof Volckertsz van Goens membencinya, ia tidak pernah mencela sifat‑sifat
Sultan Ageng Tirtayasa. Bahkan, Vlekke menyebutnya: de sluwe Abdoelfatah
(Abdulfatah yang cerdik).
Di
bawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten mencapai masa kejayaan. Tanpa
ragu‑ragu, Vlekke (1947: 193) mengutarakan pujiannya kepada Sultan Ageng
Tirtayasa, sebagai "yang terbesar di antara para Sultan Banten".
Menurut pengamatannya, dalam berbagai sumber, ia menyebutkan, bahwa
"Abdulfatah dengan penuh vitalitas, mencoba memodernkan negaranya, serta
menjadikannya pusat gerakan Islam di Nusantara".
Selanjutnya
dalam catatan Vlekke, dikemukakan pula:
Prestasinya yang
terbesar, adalah keberhasilannya membangun dan mengembangkan perdagangan laut.
Seperti juga raja Makasar, Sultan Banten, telah berhasil memikat para pedagang
Inggris, Denmark, dan Perancis. Sehingga, mereka merasa senang, menjalin
hubungan niaga dengan Pelabuhan Banten.
Atas bantuan orang‑orang
Eropa, mulailah ia membangun kapal‑kapal sendiri. Dalam tahap permulaan,
dipimpin oleh para nakhoda Eropa, melakukan pelayaran ke Philipina, Macao,
Benggala dan Persia. Disertai salah satu kapal milik Banten, putera mahkota
(Sultan Haji), pergi berlayar ke Mekah melakukan ibadah haji.
Para
pedangan India, Cina dan Arab, mengalihkan usaha niaga mereka secara besar‑besaran
ke Banten, setelah terdesak dari Malaka dan Makasar. Harga barang niaga yang
dijual di pasar Batavia, melonjak naik, akibat persaingan dari Pelabuhan
Banten, disebabkan tindakan keniagaan Sultan Abdulfatah. la pun menuntut hak,
atas perniagaan pala di Ambon dan perniagaan timah di Semenanjung Malaka, yang
ditolak secara congkak oleh pimpinan Kompeni Belanda di Batavia.
Orang
berkata, "Tidak pernah terjadi sebelumnya”. Juga dalam zaman puncak
kebesaran pelayaran Nusantara, sebelum kedatangan orang Portugis, ada kegiatan
perdagangan yang demikian besar dan melimpah di pelabuhan-pelabuhan Nusantara,
seperti yang dapat disaksikan di Pelabuhan Banten dalam tahun‑tahun
pemerintahan Sultan Abdulfatah. Hal itu justeru tetjadi, dalam saat‑saat
kekuatan Komperli Hindia Timur, berada pada titik puncaknya.
Sultan Ageng Tirtayasa, adalah penguasa
terakhir Kesultanan Surasowan Banten yang merdeka. la menolak berbagai saham
kekuasaan dengan orang luar, dari manapun asalnya. Kesadaran politik inilah,
yang tidak dimiliki oleh Sultan Abdulkahar (Sultan Haji). Sultan Haji mengira,
Gubernur Jenderal Kompeni Belanda sebagai "bangsawan keraton"
bermoral kesatria, bukan sebagai "bangsawan niaga", yang sopan‑santunnya
ditetapkan oleh norma‑norma perdagangan.
Tentang
tahun kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, terdapat kesimpang-siuran, dari
sumber-sumber yang ada. Muhammad Ismail, dalam buku Petunjuk
Jalan dan Keterangan Bekas Kerajaan Kesultanan Banten (1983), penerbit Saudara, Serang,
sebagaimana yang dikutip oleh Halwany Michrob, menyebut angka tahun 1651 sampai
dengan 1672, untuk tahun kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Padahal, pada tahun
1677, Sultan Ageng Tirtayasa masih melakukan penobatan (wisuda) para Pangeran
Cirebon, dengan kapasitasnya sebagai Sultan Banten. Mungkin penunjukkan tahun
1672, berdasarkan pelantikan Sultan Haji sebagai Sultan Anom pada tahun 1671,
dan penyerahan kekuasaan dalam negeri kepadanya. Oleh sebab itu, kekuasaan
Sultan Ageng Tirtayasa, berakhir pada tahun 1683, ketika terjadi penangkapan
terhadap dirinya, oleh pasukan Kompeni Belanda di Istana Surasowan.
Akibat
peristiwa penangkapan tersebut, para pengikut Sultan Ageng Tirtayasa,
melanjutkan perjuangannya secara gerilya. Satu tahun lamanya, Kompeni Belanda
direpotkan oleh pasukan tempur gerilya di bawah pimpinan Pangeran Purbaya dan
Syekh Yusuf. Adik Sultan Haji, yaitu Pangeran Sake, juga berpihak kepada
Pangeran Purbaya.
Perjuangan
terus dilakukan oleh generasi selanjutnya. Salah satunya, yang sempat
memusingkan Kompeni Belanda pada abad ke‑18, ialah cucu Sultan Ageng Tirtayasa,
putera Pangeran Sake, yaitu Tubagus Mustafa, atau lebih dikenal umum dengan
sebutan Ki Tapa.
G.CATATAN BERHARGA
Peristiwa
sejarah perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa, tercatat sebagai Pahlawan
Keprajuritan Nasional. Karena nilai‑nilai kepahlawanannya, telah memenuhi
kriteria sebagai berikut:
1.
Mengandung semangat keprajuritan nasional Indonesia;
2.
Merupakan perjuangan pembelaan negara (bangsa dan tanah air), termasuk
perjuangan mempertahankan dan memelihara keamanan negara;
3.
Merupakan perjuangan menentang kekuasaan asing yang menjajah;
4.
Meliputi peristiwa yang terjadi dan tokoh yang hidup dalam periode antara abad
ke‑7 sampai dengan abad ke‑19 Masehi;
5.
Hasil pertimbangan yang baik dari segi historis, politis, psikologis, edukatif,
artistik, dan lain‑lain.
Pada
tahun 1985, berdasarkan Surat Perintah Panglima ABRI tanggal 12 Desember 1984,
No. Sprin.'783/P/XII/ 1984 dan Surat Keputusan Panglima ABRI, tanggal 8 April
1985, No. Skep/182/N/1985, dibentuk tim, untuk meneliti, menelaah dan menyusun
peristiwa bersejarah tokoh‑tokoh pejuang di Tatar Sunda. Tim inti itu, terdiri
dari: Prof. Dr. Edi S. Ekadjati (Ketua); Drs. Saleh Danasasmita (Anggota); dan
Drs. Saini K.M. (Anggota).
Penelitian
yang dilakukan oleh para akhli tersebut, berdasarkan; tingkat volume lama perjuangan;
luas wilayah perjuangan; jumlah pasukan pengikut yang dikerahkan; kesulitan
yang dialami; jumlah korban pada pihak musuh; dan dukungan rakyat. Setelah
dilakukan penelusuran, penelitian, dan pembahasan terhadap peristiwa-peristiwa
dari tokoh‑tokoh sejarah di Tatar Sunda, diusulkan 8 tokoh dan peristiwa
keprajuritan nasional, antara lain:
1.
Sri Baduga Maharaja, raja Sunda‑Pajajaran yang hidup pada abad ke‑15/16 Masehi.
la raja yang bijaksana, gagah berani, serta banyak memperhatikan dan berbuat bagi
kesejahteraan rakyatnya. Dalam tradisi masyarakat Jawa Barat, raja ini terkenal
dengan sebutan Prabu Siliwangi;
2.
Perlawanan rakyat Banten, di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa terhadap
Kompeni Belanda (1651‑1683);
3.
Perlawanan rakyat Priangan di bawah pimpinan Prawatasari terhadap Kompeni
Belanda (1703‑1707);
4.
Perlawanan rakyat Banten di bawah pimpinan Kyai Tapa terhadap Kompeni Belanda
(1720‑1723);
5.
Perlawanan Sultan Matang Aji Cirebon terhadap Kompeni Belanda (abad ke‑18
Masehi);
6.
Perlawanan rakyat Majalengka dan Cirebon, di bawah pimpinan Bagus Rangin dan
Bagus Jabin terhadap pemerintahan kolonial Belanda dan Inggris (1802‑1819);
7.
Perlawanan Bupati Sumedang R.T.A. Surianagaca (Pangeran Kornel) terhadap
Gubernur Jendral Daendels (1810);
8.
Perlawanan rakyat Banten di bawah pimpinan Haji Wasid terhadap pemerintahan
kolonial Belanda (1888);
Dari
hasil seleksi pada waktu itu, terpilih 3 tokoh dan peristiwa sejarah, yang
memenuhi kriteria Pahlawan Keprajuritan Nasional, antara lain:
1.
Sultan Ageng Tirtayasa, tokoh pimpinan perjuangan rakyat Banten terhadap
Kompeni Belanda (1651‑1683 Masehi);
2.
Bagus Rangin, tokoh pimpinan perjuangan rakyat Majalengka dan Cirebon, terhadap
pemerintah kolonial Belanda dan Inggris (1802-1819 Masehi); dan
3.
Raden Alit Prawatasari, tokoh pimpinan perjuangan rakyat Priangan terhadap
pemerintah Kompeni Belanda (antara abad ke‑17 sampai dengan abad ke‑18 Masehi).
Ketiga
tokoh tersebut, terukir oleh tinta emas sejarah, sebagai Pahlawan Keprajuritan
Nasional Indonesia. Kini diorama dan patungnya, dipamerkan di Museum
Keprajuritan Nasional Taman Mini Indonesia Indah Jakarta.
***
BAGIAN 4 : MENELUSURI PULASARI - MELACAK
RAJATAPURA
I.
SENTUHAN HINDUISME
Saleh
Danasasmita berpendapat tentang Hinduisme, dalam buku Rintisan
Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat jilid 1(1984), antara lain sebagai
berikut:
Poerbatjaraka
dalam desertasmya Agastya in den Archipel (1921) mengemukakan, bahwa lakon
wayang yang mengisahkan kepergian Bambang Kumbayana dari negeri Atas‑angin ke
Nusa Jawa sebenarnya berkaitan dengan masa awal sentuhan budaya Hindu di
Nusantara. Menurut legenda yang dikenal di India Selatan dan di Bali,
penyebaran agama Hindu di daerah‑daerah seberang (di luar India) dilakukan oleh
Maharesi Agastya alias Resi Kumbayana. Tangan kiri sosok wayang Kumbayana yang
kaku itu adalah tiruan dari tangan kiri patung Agastya yang selalu menating
kendi tempat air suci. Begitu pula halnya bentuk janggut wayang Kumbayana yang
lancip, meniru bentuk janggut patung Agastya. Pada wayang Kumbayana, kendi itu
dihilangkan, untuk keleluasaan gerak (Dana sasmita,1984: 29).
Tentang
adanya sentuhan Hinduisme di Propinsi Banten, Claude Guillot membahas pernah
ditemukannya arca‑arca di kawasan Gunung Pulasari Pandeglang, melalui
pemberitaan Brumund dan Van Hoevel, antara lain sebagal berikut:
Sesungguhnya, pada paro
pertama abad ke‑19, dua pakar yang terkenal, Brumund dan Van Hoevell, menyebut
arca‑arca lama yang menghiasi taman asisten residen di Caringin. Arca itu, yang
menggambarkan Brahma, Siwa, Agastya, Durga dan Ganesha, beberapa tahun kemudian
diangkut ke Museum Bataviaasch Genootschap, yang waktu itu masih bertempat di
anjung sositet Harmonie, dan sekarang berada di Museum Nasional Jakarta.
Beberapa puluh tahun kemudian, asisten residen Caringin itu dalam suratnya
kepada Bataviaasch Genootschap, memberitahukan "bahwa beberapa arca pernah
ditemukan di Cipanas di dekat kawah yang sudah mati; semuanya dikirim ke
Batavia, kecuali satu, yang karena terlalu berat ditinggalkan di tepi Sungal
Labuan dan sekarang masih ada di sana. Lagi pula orang-orang Cina tidak mau
mengangkutnya ke Batavia, karena yakin bahwa barang siapa berani melakukannya
pasti mendapat bencana di laut". Beberapa bulan kemudian arca itu, ternyata
sebuah yoni, diangkut ke museum pula, sekalipun orang Cina berkeberatan, dan
didaftarkan dengan nomor 361 (Guillot,1996:101).
Boleh
jadi, apa yang dikemukakan oleh Poerbatjaraka, ada keterkaitan dengan hasil
temuan arca-arca di Gunung Pulasari, sebagaimana yang dikemukakan oleh Brumund
dan Van Hoevell. Pemujaan terhadap Agastya, adalah merupakan sekte lainnya
dalam agama Hindu. Bila dikaji lebih dalam, kemungkinan besar kedua pemikiran
tersebut, bisa dijadikan acuan bagi penelitian Salakanagara.
Selanjutnya
R Friederich pada tahun 1850 mengemukakan pendapatnya, tentang proses
Hinduisasi sebuah `kerajaan' di pesisir Selat Sunda, antara lain sebagai
berikut:
Lebihjauh lagi bolehlah
kami ajukan hipotesis, bahwa pada masa hutan rimba pegunungan Sunda dihuni
orang-orang biadab yang mirip kera (ingatlah dongeng Raja Lutung Kasarung yang
diringkaskan oleh Raffles), maka sejumlah pendatang Hindu menetap di pantai‑pantai
Sunda yang elok, dan mendirikan sebuah kerajaan yang makmur berkat perdagangan
di Selat Sunda (Friederich, 1850, dalam Guillot, 1996; 104).
Sayangnya,
Friederich terlalu memaksakan temuan Manusia Purba dengan mitos Sunda cerita
Lutung Kasarung. Kedua-duanya, ada di wilayah disiplin ilmu yang berbeda.
Halwany
Michrob, telah mengidentifikasi wilayah pesisir barat Tatar Sunda. Dalam buku Catatan
Masalalu Banten (1993),
mengemukakan pendapatnya, antara lain sebagai berikut:
Pulau Panaltan
merupakan pulau yang langsung berhubungan dengan Selat Sunda yang bersama Pulau
Peucang, luasnya sekitar 17.500 Ha termasuk kawasan pelestarian/suaka alam
Taman Nasional Ujung Kulon. Penelitian geologi di Pulau Panaitan, menunjukkan
bahwa pulau ini telah ada sejak ± 26 juta tahun lain, apabila dilihat dari umur
batuan yang paling tua. Pada berbagai singkapan, tampak bahwa pulau ini
tersusun dari jeris‑jenis batuan andezite, tuffa, gamping dan yang termuda
batuan aluvial (Michrob,1993: 33).
Pada
materi yang sama, Anwas Adiwilaga mengemukakan pendapatnya, kemudian dibahas
oleh Yogaswara, antara lain sebagai berikut:
Di
Pulau Panaitan pada kira‑kira tahun 130 M pernah berdiri satu kerajaan yang
merupakan kerajaan tertua di Jawa Barat Kerajaan ini bernama Salakanagara
(Negeri Perak) dengan pusatnya di kota Rajatapura, yang terletak di pesisir
barat Pandeglang. Raja pertamanya bernarna Dewawarman I (130 ‑168 M). Daerah
kekuasannya mehputi: Kerajaan Agrabinta (di Pulau Panaitan), Kerajaan Agnynusa
(di Pulau Krakatau), dan daerah ujung selatan Surnatera. Dengan demikian,
seluruh Selat Sunda dapat dikuasai Dewawarman I ini, sehingga ia digelan Aji
Raksa Gapurasagara (Raja Penguasa Gerbang Lautan) (Yogaswara, dalam
Michrob,1993: 33),
Selanjutnya,
Anwas Adiwilaga menduga Rajatapura berada di Pulau Panaitan (Pandeglang)
(Yogaswara, 1978: 38), dengan ditemukannya patung Ganesha dan patung Siwa
dengan tanda ardachandra (bulan sabit) di dahinya, di Pulau Panaitan. Padahal
keberadaan patung‑patung itu tidak menolong keadaan, karena ada yang menduga
bahwa patung‑patung itu berasal dari abad ke‑7 Masehi (Danasasrnita, 1984:
3334). Bahkan dalam hasil penelitian lainnya, dua arca tersebut diperkirakan
berasal dari abad ke‑14 atau ke‑15 Masehi (Vorderman,1894 dalam Guillot,1996:
106).
II.
MENELUSURI PULASARI
Sering
disebut‑sebutnya Gunung Pulasari (Pandeglang) dalam berbagai wacana penelitian
sejarah, baik dalam naskah babad maupun hasil kajian para akhli,
mengisyaratkan, bahwa peran Gunung Pulasari memiliki arti penting dalam
sejarah.
Mengacu kepada Pupuh
XVII dalam Babad Banten, seperti yang dibahas oleh Hoesein Djajadiningrat (1913),
memberitakan Gunung Pulasari sebagai berikut:
Molana Hasanuddin
berkelana di hutan‑hutan dan di atas Gunung Pulosari, dan ia pun tibalah di
sebuah pertapaan yang ditinggalkan. Ketika bapaknya datang kepadanya,
dikatakannya kepadanya, bahwa pertapaan itu adalah pertapaan Brahmana Kadali ‑
atau Kandali (Djajadiningrat,1983: 33).
Temuan
arkeologis di sekitar Gunung Pulasari, dikemukakan dalam buku Banten
Sebelum Zaman Islam; Kajaan Arkeologi di Banten Girang 932? 1526, (1996), oleh Claude Guillot dan
kawan‑kawan.
Dalam
pada itu, Tantu Panggelaran mengandung keterangan yang nrenarik, yaitu bahwa
"di ujung barat Pulau Jawa" (nusa Jawa tungtungan kulwan) terdapat
Gunung Mahameru yang bagian atasnya diangkut ke timur, sedangkan bagian
bawahnya bernama Gunung Kailasa ─ yaitu tempat kedudukan Siwa ─ tetap berada di tempatnya. Bahwa dalam naskah itu disebutkan
ternpat di luar daerah kebudayaan Jawa mengherankan Pigeaud (penyunting naskah
tersendiri) yang dalam ulasannya mengemukakan hipotesis ─ meskipun kurang yakin
sendiri ─ bahwa "Nusa
Jawa" itu barangkali terbatas pada daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur saja.
Dan Pigeaud hanya dapat menyatakan bahwa "gunung apa yang dinamakan
Kailasa itu masih harus dicari". Pada hemat kami, Tantu Panggelaran sangat
sesuai dengan infornrasi dalam SB tentang adanya golongan besar pendeta di atas
Gunung Pulasari, oleh karena gunung tersebut memang terletak "di ujung
barat Pulau Jawa". Artinya Gunung Kailasa dapat disamakan dengan Gunung
Pulasari. Kekeramatan itu tidak mungkin termasyhur sampal ke Jawa Timur kalau
di atas gunung itu tidak terdapat tempat pemujaan lama (Guillot,19y6;100).
Berdasarkan
cerita rakyat Desa Cilentung, di sekitar puncak Gunung Pulasari, terdapat batu‑batu
yang dikeramatkan. Untuk membuktikan kebenarannya, Tim berangkat dari Desa
Cilentung Kecamatan Saketi, pada tanggal 8 Oktober 2000 pagi, dipandu oleh 4
orang penduduk Desa Cilentung, Tim mengadakan pendakian menu ju ke puncak
Gunung Pulasari. Sepanjang perjalanan secara berturut-turut, ditemukan batu‑batuan
yang dikeramatkan itu, antara lain:
Batu Sanghiyang Arca. Mengamati bentuk batu Sanghiyang Arca, ada kemiripan dengan
lempeng batu prasasti Kawali II (Ciamis) atau Batu Tulis kota Bogor. Menurut
cerita rakyat Cilentung, dahulu di lokasi Sanghiyang Arca, Maulana Hasanuddin
menyabung ayam dengan Pucuk Umun Pulasari.
Air Terjun Curug Putri. Menurut cerita rakyat, air terjun Curug Putri, dahulunya
merupakan tempat pemandian Nyai Putri Rinak Manik dan Ki Roncang Omas. Di
lokasi tersebut, terdapat aneka macam batuan dalam bentuk persegi, yang
berserak di bawah cucuran air terjun.
Batu Sanghiyang Kotok. Pada salah satu permukaan batu Sanghiyang Kotok, menurut
cerita rakyat, ada semacam "gambar" ayam jantan. Ayam jantan
tersebut, konon milik Maulana Hasanuddin.
Batu Kiara Sarebu. Batu Kiara Sarebu berbentuk empat persegi panjang, pipih,
dengan luas permukaan 80 x 50 centimeter, tebal 10 centimeter. Di lokasi Batu
Kiara Sarebu, dahulu kala banyak terdapat pohon kiara. Menurut cerita rakyat,
diperkirakan merupakan tempat bertapa raja‑raja. Patut disayangkan, dikarenakan
lokasi tersebut sudah dirusak oleh perambah hutan, kini pohon kiara yang
tertinggal hanya sebuah.
Batu Kiara Jingkar. Batu Kiara Jingkar, sesungguhnya hanya merupakan sebuah batu
biasa. Kekeramatan batu tersebut, ditandai oleh adanya 3 buah pohon hanjuang
merah (siang), yang dibentuk serupa "makam".
Batu Cangkrung. Batu Cangkrung,
merupakan sebuah batu dengan salah satu permukaannya yang cekung, sehingga
dapat menampung air (nyangkrung). Uniknya, menurut cerita rakyat, air di atas
permukaan yang cekung tersebut, tidak pernah kering. Sehingga digunakan untuk
minum berbagai jenis burung.
Ketika
tiba di sekitar puncak Gunung Pulasari, pada ketinggian antara 1.300 meter
hingga 1.346 meter di atas permukaan laut, terdapat dua tempat yang
dikeramatkan, yaltu puncak Rincik Manik dan puncak Roncang
Omas.
Di
lokasi puncak Rincik Manik, terdapat dua "makam" dengan karakter yang
berbeda. Makam yang pertama, membujur arah timur‑barat, dan di lokasi tersebut
terdapat semacam batu lumpang serta sejenis kapak genggam. Makam yang satunya
lagi, membujur arah utara‑selatan, dan di lokasi tersebut terdapat sejenis
menhir.
Di
lokasi puncak Rincik Manik, juga terdapat sebuah batu yang sangat unik,
sehingga 'Tim menamainya "batu magnit". Uniknya, ketika diukur
menggunaltan kompas, walaupun ditempatkan di sekeliling batu ke berbagai arah
mata angin, jarum magnetis Utara (U) kompas selalu mengarah ke batu tersebut.
Hal itu, mengingatkan akan peristiwa jatuhnya pesawat terbang di lereng timur
laut Gunung Pulasari, tidak jauh dari lokasi Baru Kiara Swebu. Mungkin saja
arah kompas kapal terbang yang nahas, dikacaukan oleh "batu magnit"
puncak Rincik Manik.
Di
lokasi puncak Roncang Omas, terdapat
sebuah tempat yang dianggap "makam", dengan ditandai tumpukan batu
yang sudah demikian terlantar. Di lokasi itu, banyak sampah‑sampah berserakan,
yang ditinggallkan wisatawan lokal. Bahkan batu‑batuan yang ditemukan, nampak
gosong, akibat seringkali digunakan sebagai tungku untuk memasak atau api
unggun.
Kekeramatan
itu tidak mungkin termasyhur sampai ke Jawa Timur, kalau di atas gunung itu
tidak terdapat tempat pernujaan lama (Guillot, 1996).
Mungkin, puncak Rincik
Manik dan puncak Roncang Omas itulah yang dimaksud oleh Guillot. Di bagian
lain, Guillot mengemukakan pendapatnya tentang Situs Sanghiyang Dengdek, yang
juga berlokasi di lereng Gunung Pulasari.
Selain
tempat‑tempat keramat biasa, sata‑satunya tempat pemujaan lama yang masih ada
terdapat di Desa Sanghyang Dengdek, yang menyandang nama "dewa" yang
dipuja di situ. Ternpat pemujaan tersebut sudah lama dikenal, dengan tipe
"primitif" yang umum di Jawa Barat; di atas sebuah onggokan tanah
yang dikelilingi batu sungai yang besar‑besar, berdiri tegak sebuah batu yang
tingginya kira‑kira satu meter dan puncaknya dipahat secara kasar berbentuk
kepala; kelihatan pula, tetapi hampir tidak menonjol, lengan‑lengan dan kelamin
lelaki. Nama tokoh itu "si bungkuk yang terpuja" berasal dari bentuk
batu yang secara alam agak membungkuk.
Betapapun
menariknya tempat pemujaan tersebut, rupanya tidak setara dengan kekeramatan
Gunung Pulasari menurut SB, Tantu Panggelaran dan Serat Centhini, apalagi kalau
diingat bahwa pengarang kedua karya terakhir ini sudah tentu mengetahui
bangunan agama yang jauh lebih canggih. Lagi pula sulit dibayangkan bahwa
negeri terbuka ke dunia luar seperti Banten Girang, dapat puas dengan gaya
primitif dan "kampungan" dari arca‑menhir itu (Guillot,1996:100).
Pendapat
Guillot terkesan merendahkan nilai kepurbakalaan menhir Sanghiyang Dengdek,
dengan sebutan "si bungkuk yang terpuja", "primitif" dan
"kampungan". Mungkin Guillot kecewa, karena kepurbakalaan Sanghiyang
Dengdek, tidak marnpu mendukung kebesaran temuan Banten Girang.
Haris
Sukendar, dalam makalah Peranan Menhir Dalam Masyarakat
Prasejarah di Indonesia, menerangkan makna dan fungsi menhir,
antara lain sebagai berikut:
Menhir berasal dari
bahasa Breton yang terdiri dari kata "men" =batu dan "hir"
= berdiri, yang secara keseluruhan berarti batu tegak (berdiri) (Soejono,
1981/1982: 247). Menhir merupakan peninggalan tradisi megalitik yang sangat
banyak ditemukan di berbagai situs, dan berbagai masa setelah periode neolitik
(bercocok tanam) (Van der Hoop 1938). Bahkan sampai masa‑masa pengaruh Hindu
maupun pengaruh Islam di Indonesia menhir sebagai salah satu obyek tradisi
megalitik masih memegang peranan penting bahkan berkembang sampai sekarang.
Dengan adanya peranan menhir yang meliputi kurun waktu cukup panjang tersebut
maka tidak mengherankan jika terjadi perkembangan‑perkembangan pada bentuk‑bentuk
dan fungsi menhir itu sendiri. Situs‑situs megalitik telah menghasilkan menhir‑menhir
yang mempunyai bentuk berbeda-beda. Di daerah Lampung, Jawa Barat, Sulawesi dan
lain‑lain ditemukan menhir dalam bentuk sederhana dari batuan kasar, dan belum
dikerjakan (Sukendar,1985: 92).
Dalam Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa
I sarga 1, mengenai pitarapuja (penghormatan terhadap arwah leluhur),
dikemukakan antara lain sebagai berikut:
.../hana jnua pamuja
nikang jan m apada ring
samang-
kana/ akweh pamu-
ajanya// mapan sarwa
pa-
muja sakaharepni-
ra/ lawan angucap
mantra
yatiku makadi pi-
trepuja// marika ma-
malaku ning sang pita-
ra makapu (ru) haranya
ma-
kadi sang pitrepuja
ning kawitan la-
wan waneh sthapan
mantra/
sangkep lawan
widhiwidha-
na mwang asthapana se-
wana lawan sarwa bho-
ga// nityabhiprayanira
yatanyan sidha citta-
nya//...
Terjemahannya:
Adapun yang jadi pujaan
warga masyarakat pada waktu itu, banyak sekali. Karena yang menjadi pujaannya
sekehendak mereka, dengan mengucapkan mantra, yaitu terutama pemujaan terhadap
nenek‑moyang. Mereka memohon kepada nenek‑moyang, yang menjadi tujuan terakhir,
terutama pujaan terhadap nenek‑moyang dari ayah dan juga mantera sihir, lengkap
dengan upacara yang diperlukan serta asthapana sewana (nama sejenis mantra) dan
berbagai makanan. Selalu maksudnya agar cita‑cita mereka tercapai.
Saleh
Danasasmita pernah mengungkapkan, bagaimana sesungguhnya fungsi dan makna dari
menhir atau batuan lainnya, yang sudah ada jauh sebelum Hindu masuk ke Tatar
Sunda.
Para
"pemuja leluhur" ini telah memiliki tatanan kehidupan yang teratur
yang kemudian tumbuh secara dinamik, ketika mendapat sentuhan pengaruh Hindu.
Orang Jawa Barat berkenalan dengan panteon baru yang dihuni para dewa, namun
seperti diungkapkan oleh Wangsakerta dan Pleyte, rakyat banyak tetap setia
memuja roh leluhurnya. Sampai sekarang hal ini masih tampak cukup jelas
(Danasasmita,1984: 42).
Selanjutnya Saleh
Danasasmita memberikan gambaran, tentang kemungkinan terjadinya transisi
keagamaan, antara lain sebagai berikut:
Dalam abad ke‑13 atau
sedikitnya abad ke‑14 raja‑raja di Jawa Barat sudah mulai mempertaruhkan nasib
negaranya di kabuyutan atau di sasaka domas. Tempat-tempat seperti itu pada
umumnya berasal dari peninggalan para leluhur yang dimanfaatkan terus atau
dimanfaatkan kembali. Dengan kabuyutan sebagai "pusat dangiang",
mereka makin menggeser jauh dari garis Hinduisme. Lingga dan yoni gaya Hindu
ditinggalkan; mereka kembali kepada penggunaan disolit yang berupa pasangan
tonggak batu dengan lempeng batu. Kalau tempat‑tempat seperti itu dilengkapi
patung‑patung, bukanlah patung dewa‑dewa Hindu yang ditempatkannya melainkan
patung‑patung nenek‑moyang. Tempat-tempat seperti itu pada umumnya ditandai
oleh adanya petak bersegi empat mirip "kuburan" (Danasasmita,1984:
42).
Mengacu
kepada pendapat Saleh Danasasmita, di seputar Gunung Pulasari Pandeglang,
terdapat peninggalan kepurbakalaan dimaksud, antara lain berupa menhir:
1.
Sanghiyang Dengdek. Lokasi di Kampung Kaduhejo, Desa Sanghyangdengdek,
Kecamatan Saketi.
2.
Sanghyang Healeut. Lokasi di Desa Banjarnegara, Kecamatan Saketi.
3. Batu
Pahoman. Lokasi di Kampung Pahoman, Desa Pasirpeuteuy, Kecamatan Cadasari.
4. Batu
Goong. Lokasi di Desa Sukasari, Kecamatan Menes.
5. Batu
Lingga. Lokasi di Desa Batulingga, Kecamatan Banjar.
6. Batu
Cihanjuran. Jumlah 3 buah menhir, lokasi di mata air Cihanjuran, Desa Cikoneng,
Kecamatan Mandalawangi.
7. Makam
Gunung Cupu. Lokasi di Desa Gunungcupu, Kecamatan Cimanuk.
8. Batu
Rincik Manik. Posisi di puncak Gunung Pulasari, pada ketinggian + 1300 meter di
atas permukaan laut.
9.
Sanghiyang Arca. Lokasi di ketinggian Kampung Cilentung, Kecamatan Saketi.
Berdasarkan
kajian geografi sejarah, pada masa 2000 tahun yang silam, keadaan pantai barat
Pandeglang, tentunya berbeda dengan keadaan yang sekarang. Dihitung secara
geologis, sangat memungkinkan terjadi pendangkalan akibat terjadinya beberapa
kali letusan gunung Krakatau, Gunung Pulasari, Gunung Karang, juga Gunung
Aseupan. Terhanyutnya pasir, debu, kerikil dari letusan gunung, oleh arus deras
sungai Cibama, Cilabuan, Cicaringin dan Cibangangah, membentuk pendangkalan
selebar antara 8‑10 kilometer di sepanjang pantai barat Gunung Pulasari.
Keadaan
tanah situs Sanghiyang Dengdek, berada pada ketinggian 250 meter di atas
permukaan laut, berjarak 14 kilometer dari garis pantai. Keadaan Sanghiyang
Dengdek pada saat 2000 tahun yang lalu, sebelum terjadi pengendapan di
sepanjang pantai Teluk Lada, jaraknya hanya 3 kilometer dari tepi pantai.
Berpedoman kepada naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantaraparwa
I sarga 1, yang menyatakan "pernah adanya masyarakat pesisir pantai
barat", dapat diduga bahwa Dukuh Pulasari (tempat Panghulu Aki Tirem dan
masyarakatnya bermukim), berlokasi di arcal pemukiman Sanghiyang Dengdek.
III.
JEJAK AGAMA SUNDA
Di sekitar Gunung
Pulasari, Gunung Aseupan dan Gunung Karang di Kabupaten Pandeglang, ditemukan
pula batu‑batuan berbentuk dolmen, di antaranya:
1. Batu
Ranjang. Lokasi di Kampung Baturanjang, Desa Palanyar, Kecamatan Cimanuk.
2.
Batu Pangasaman. Lokasi di Desa Parigi, Kecamatan Saketi.
3. Batu
Pangsalatan. Lokasi di tepi jalan raya di wilayah Kecamatan Mandalawangi.
Sedangkan batu‑batu
yang ditemukan dalam bentuk lain, diduga memiliki nilai kepurbakalaan, antara
lain:
1. Batu
Sanghiyang Kotok. Lokasi di lereng Gunung Pulasari.
2. Batu
Cangkrung. Lokasi di lereng Gunung Pulasari.
3. Batu
Keris dan Bata Teko. Lokasi di tengah hamparan pesawahan Desa Cimanuk,
Kecamatan Cimanuk.
4. Batu
Kuda I. Lokasi di tepi jalan Desa Cimanuk, Kecamatan Cimanuk.
5. Batu
Kuda II. Lokasi di Pasir Pariuk Nangkub, Kampung Sampalan, Desa Parigi,
Kecamatan Saketi.
6. Batu
Qur'an. Lokasi di Kampung Cibulakan, Kecamatan Cimanuk.
7. Batu
Notod. Lokasi di Desa Parigi, Kecamatan Saketi.
8. Batu
Saketeng. Lokasi di Desa Saketi, Kecamatan Saketi.
9. Batu
Tumbung. Lokasi di Kampung Cidaresi, Desa Palanyar, Kecamatan Cimanuk.
10. Batu Kasur. Lokasi
di Kampung Nembol, Kecamatan Mandalawangi.
11. Batu Tongtrong.
Lokasi di Desa Palanyar, Kecamatan Cimanuk.
12. Batu Kolam Citaman.
Lokasi di Desa Sukasari, Kecamatan Menes.
Di
kawasan Popinsi Banten, masih terdapat gejala religi "agama masa
silam", dan masih dianut oleh kelompok masyarakat yang menamakan diri
"Sunda Wiwitan" (Sunda Awal). Hal ini diperkuat oleh laporan RA.A.A.
Djajadiningrat, Bupati Serang tahun 1908, dalam laporan resminya (1908 no.
1786; van Tricht,1929: 47), yang dikutip Judistira Garna dalarn bukunya Orang
Baduy, antara lain sebagai berikut:
Menurut adat dan
kepercayaan, orang‑orang Baduy merupakan kelompok yang mewakili suatu zaman
peradaban Pasundan yang telah silam. Meskipun kita telah jauh dari pengetahuan
yang pasti tentang satu dan lainnya mengenai pandangan mereka namun melihat
keterasingannya yang ketat yang mereka lakukan, sejauh ini dapat disimpulkan
bahwa mereka itu bukan penganut ajaran Ciwa atau Wisnu, bukan pula penganut
suatu sekte Hindu ataupun Buddha.
Walaupun
kurang terdapat keterangan terinci, namun berdasarkan berbagai pengamatan dan
laporan resmi Djajadiningrat serta pengamatan Pennings (1902), van Tricht
mengemukakan tentang agama Sunda sebagai kepercayaan orang Baduy. Agama itu
merupakan agama tua yang dipeluk oleh penghuni Wilayah Jawa Barat (sekarang)
yang permulaan penyebaran agama Islam sedikit sekali dipengaruhi oleh agama
Hindu (1929:47) (Garna,1987: 61)
Mengenai
jejak religi masa silam seperti itu, Saleh Danasasmita pernah memberikan
penjelasan, antara lain sebagai berikut:
Sesuai dengan kehidupan
leluhurnya yang masih biasa berpindah‑pindah tiap habis musim panen, watak
agama yang diwarisinya lebih sederhana dalam arti: praktis, akrab, dengan alam
dan lebih mengutamakan isi daripada bentuk. Praktis sehingga dapat dilaksanakan
di manapun mereka berada.
Akrab dengan alam
sehingga lebih mengutamakan keheningan mutlak daripada kehiruk-pikukan masa.
Lebih mementingkan isi sehingga ukuran kesungguhan dan kekhidmatan tidak
didasarkan kepada nilai-nilai materil benda‑benda upacaranya melainkan dalam
hati dan tingkah laku.
Jelas
upacara‑upacara dalam agama Hindu yang penuh formalitas dengan urutan yang
ketat serta mantera mantera yang tak boleh salah ucap atau salah susun, tidak
serasi dengan karakter agama yang diwarisi dari para leluhurnya. Bagi mereka,
sebongkah batu alam yang agak aneh sudah cukup untuk dijadikan titik pusat
upacara pemujaan. Setelah selesai batu itu ditinggalkannya karena di tempat
lain pun mudah memperoleh batu sejenis. Namun, sejenak kesungguhan hati yang
dibungkus keheningan alam sekitar merupakan modal mereka yang utama dalam
menjalin hubungan dengan Yang Gaib (Danasamita,1984: 43).
Situs
religi masa silam terbesar di wilayah Propinsi Banten, berupa peninggalan dari
masa pra‑Hindu, dengan ditemukannya beberapa punden berundak di wilayah
Kabupaten Lebak. Keterangan peninggalan tersebut, diungkapkan oleh Halwany
Michrob dalam buku Lebak Sibedug dan Arca Doms di Banten
Selatan(1993), antara lain sebagai berikut:
Undakan batu di Kosala
terdiri 5 tingkat yang pada setiap tingkatnya terdapat menhir. Kadang-kadang
dijumpai sebuah papan batu (lab stone) berbentuk segi lima, dan pada bagian
bawah yang terpendam dalam tanah terdapat beberapa buah batu bulat (batu pelor)
yang bergaris tengah antara 10‑15 cm. Sebuah arca kecil ditemukan di dekat
struktur berundak tersebut kedua tangannya terlipat ke depan, salah satu di
antaranya seperti dalam sikap mangacungkan ibujari.
Arca
Domas adalah bangunan berundak dengan 13 tingkatan dan pada tingkat paling atas
terdapat sebuah menhir berukuran besar, yang pemercaya dianggap melambangkan
Batara Tunggal, Sang Pencipta Roh, dan kepadanya pula roh‑roh akan kembali.
Monumen
Lebak Sibedug juga merupakan bangunan berundak empat tingkat setinggi ± 6
meter. Di depan undak batu ini terdapat dataran yang di tengahnya terdapat
sebuah menhir. Menhir pusat ini ditunjang oleh batu‑batuan berukuran kecil
(Michrob,1993: 5‑6).
Dalam
naskah kuno Kropak 630 Sanghiyang Siksakandang Karesian,
'terdapat jejak "agama asli" yang jauh lebih mendasar, jika
dibandingkan dengan kedua gejala Hinduisme dan Budhisme. Hal tersebut pernah
dikaji oleh Saleh Danasasmita, mengemukakan pendapatnya, antara lain sebagai
berikut:
Dalam dasaperbakti di
antaranya disebutkan, "ratu bakti di dewata, dewata bakti di hiyang"
(raja tunduk kepada dewata, dewata tunduk kepada hiyang). Jadi hiyang‑lah yang
paling tinggi. Kemudian dinyatakan bahwa dewa‑dewa seperti Brahma, Wisnu,
Iswara, Siwa dan lain‑lainnya tunduk kepada Batara Seda Niskala. Dialah Batara
Jagat (penguasa alam) "nu ngretakeun bumi niskala" (Yang mengatur
dunia gaib). Seda Niskala adalah nama Hiyang yamg disangsakertakan (seda =
sempurna; niskala = gaib). Nama itu dapat diartikan "Yang Maha Gaib"
(Danasasmita, 1984:41).j
Ikhwal
peninggalan Hinduisme yang terdapat di Pulau Panaitan, maupun temuan di Gunung
Pulasari (yang kini telah dipindahkan ke museum), kemungkinan besar pernah
tersingkir, akibat terdesak oleh kebangkitan kembali agama pribumi (agama
Sunda). Kemungkinan-kemungkinan itulah, yang tidak sempat dikaji dan dipahami
Claude Guillot, sehingga Sanghiyang Dengdek disebutnya "si bungkuk yang
terpuja", dan dinilai bergaya "primitif” dan "kampungan".
Guillot tidak memahami agama leluhur Sunda, sehingga ia lebih tertarik oleh
"bentuk" arca Hinduisme, dari pada "isi" (makna dan fungsi)
pitarapuja Sanghiyang Dengdek.
Tidak
menutup kemungkinan, peninggalan kepurbakalaan Hinduisme dan Budhisme di
Cibuaya dan Batujaya (Karawang), terkuburannya menjadi bukit‑bukit (hunyur),
kemungkinan ada unsur kesengajaan.
Carita
Parahiyangan menunjukkan adanya para wiku "nu ngawakan Jati Sunda"
yaitu para pendeta yang khusus mengamalkan "agama Sunda" dan
memelihara "kabuyutan parahiyangan". Sisa dari kabuyutan Jati Sunda
atau parahiyangan sepeti itu adalah Mandala Kanekes yang dihuni "orang Baduy"
sekarang. Leluhur mereka dalam jaman kerajaan mengemban tugas memelihara
mandala atau kabuyutan “Jati Sunda" yang dewasa ini disebut sasaka domas.
Orang Tangtu ("Baduy‑dalam") adalah keturunan "para wiku",
orang panamping ("Baduy‑luar) merupakan keturunan "kaum sangga".
Mereka bertugas melakukan "tapa di mandala" dan sudah menjalankan
tugas tersebut secara turun temurun sejak masa jauh sebelum Kerajaan Pajajaran
berdiri (Danasasmita,1984: 41).
Sendi‑sendi
religi masa silam pra Hindu di seputar lereng dan suku Gunung Pulasari,
mengingatkan adanya benang merah religius, antara tokoh Aki Tirem Sang Aki
Luhur Mulya dengan "Pitarapuja Hiyang"‑nya; bangkit kembali pada masa
kerajaan; Sunda, Galuh, Pajajaran dengan "Hiyang Seda Niskala"‑nya,
terlestarikan dalam refleksi masyarakat Sunda Wiwitan (Baduy) masa kini dengan
Agama Sundanya.
IV.
MELACAK RAJATAPURA
Ayatrohaedi,
dalam makalah Naskah dan Sajarah (1989), mengemukakan tentang permulaan
lahirnya ilmu arkeologi, antara lain sebagai berikut:
Sebagai seorang anak
Eropah, sudah sejak kecil Heinrich Schhemann berkenalan dengan mitologi Yunani
yang dianggap sebagai salah satu akar kebudayaan Eropah masa berikutnya. Selain
di sekolah, mitologi Yunani itu dikenalnya juga melalui kedua orang tuanya,
para tetangganya, dan buku‑buku yang dibacanya. la sangat tertarik oleh kisah
Perang Troya yang menggambarkan bagaimana sebuah kota yang kokoh akhirnya dapat
direbut berkat kecerdikan musuh yang mengepungnya. Ketertarikannya itu ternyata
berkepanjangan menjadi tandatanya besar baginya. Mungkinkah kisah yang demikian
nyata itu, benar‑benar hanya sekadar dongeng tanpa satu pun acuan peristiwa
yang tetjadi? Jika orang lain beranggapan kisah itu sekadar mitos, tidak
demikian halnya dengan Heinrich. Ia menduga bahwa kisah itu lahir karena ada
suatu peristiwa penting yang pernah terjadi di kota atau sekitar kota Troya
itu.
Kebetulan
orangtuanya pedagang kaya, dan juga memahami rasa penasaran anaknya itu. Dengan
dukungan dana dari orangtuanya, di samping ia sendiri kemudian menjadi saudagar
yang juga kaya, ia memutuskan untuk pergi ke Yunani. Bukan untuk membuktikan
kepada dunia bahwa di sana ada sebuah kota dan peradaban yang bernama Troya,
melainkan lebih disebabkan oleh keinginan memenuhi rasa penasarannya itu.
Bersama dengan istri dan sejumlah pembantu lapangan, mereka berangkat ke
Yunani, lalu menuju tempat yang menurut berbagai acuan diduga sebagai tempat
berdirinya kota Troya.
Berhari‑hari
mereka menggali di situ, tak juga menemukan apa yang dicari. Ketika seluruh
rombongan (kecuali Heinrich) sudah benar-benar berputus asa, cangkul yang
dihujamkan ke tanah mengenai sesuatu yang keras. Keputus-asaan untuk sementara
ditangguhkan, dan penggalian diteruskan. Hasilnya, bukti pertama bekas kota dan
peradaban itu tergali, dan dari penggalian itu lahirlah ilmu yang kemudian
dikenal sebagai widyapurba atau arkeologi (Ayatrohaedi,1989: 1-2).
Untuk
memberikan ilustrasi yang lebih jelas, Ayatrohaedi mengemukakan peristiwa
lainnya, mengenai keterkaitan antara naskah dengan pembuktian sejarah, antara
lain sebagai berikut:
Dalam pada itu, nenek‑moyang
orang India meninggalkan dua buah wiracarita yang terkenal, Mahabharata karya
Wyasa dan Ramayana karya Walmiki. Menurut para ahli bahasa, kedua naskah itu
berasal dari kurun masa antara 400 sM -400 M. Seperti juga halnya dengan kisah
Troya, para pembaca naskah itu umumnya menganggap bahwa semuanya hanyalah
sekadar dongeng, kalaupun bukan mitos. Tetapi, seperti halnya dengan Heinrich,
ada raja orang yang tidak percaya akan keasaldongengan kedua wiracarita itu.
Inggris yang ketika itu menjadi yang dipertuan di India, juga mempunyai
beberapa orang warga yang menganggap bahwa kisah Troya kaol (=versi) India
seharusnya tersembunyi di balik kisah tersebut.
Berbekal
anggapan itu, mereka mencoba menggali dan menemukan kota yang seharusnya
menjadi pusat kerajaan Indraprahasta (kita mengenalnya dengan nama Amarta), di
daerah sebelah barat daya, beberapa kilometer dari kota Nutana Dehali (New
Delhi). Hasilnya? Bekas kota tua yang diduga berasal dari pertengahan abad ke‑12
sebelum Masehi (1150 sM) muncul kepermukaan. Dalam pada itu, dendam kesumat
antara Rama dengan Rahwana, ternyata masih berlanjut hingga sekarang berupa
sengketa antara orang Singhala di Srilangka (Alengka) dan orang Tamil yang
tidak mustahil keturunan Subali dan Sugriwa. (Ayatrohaedi,1989: 2‑3).
Dari
dua ilustrasi yang dicontohkan oleh Ayatrohaedi, mendapatkan gambaran yang
jelas, bahwa naskah dongeng sekalipun, dapat dimanfaatkan sebagai pemandu
pembuktian sejarah. Karena masa penulisannya yang tidak muasir itu, diperlukan
kecermatan dan ketelitian ,jika seseorang bermaksud menggunakan naskah sebagal
sumber sejarah, termasuk naskah‑naskah yang sebenarnya menyebut dirinya
sajarah, hikayat, asal‑usul, silsilah, carita, tambo, atau babad. Betapapun,
nama-nama yang disandangnya itu mengisyaratkan bahwa sampai taraf tertentu,
naskah‑naskah itu dapat dimanfaatkan sebagai sumber sejarah (Ayatrohaedi,1989:
6).
Kembali
ke masalah Salakanagara, Dewawarman dan Rajatapura, yang telah lama menjadi perdebatan
para akhli. Di Gunung Pulasari, sebagaimana yang diungkapkan oleh Claude
Guillot, sesungguhnya merupakan pemandu ke arah pembuktian Salakanagara.
Guillot mengemukakan pendapatnya, antara lain sebagai berikut:
Dari berbagai sisi,
arca‑arca itu penting untuk pokok pembicaraan ini. Pertama, meskipun muka arca‑arca
itu sudah dirusakkan (pada masa Hasanuddin?), gayanya sangat berbeda dari gaya
arca Sunda, dan persis serupa dengan gaya akhir periode Jawa Tengah, artinya
dapat ditentukan berasal dari paro pertama abad ke‑10. Kedua, dapat dilihat
bahwa arca-arca itu merupakan kelompok arca dewa yang terdapat dalam setiap
arca dewa yang terdapat dalam setiap candi Siwa, yaitu Dewa Siwa, Agastya
(titisan Siwa yang amat sering terdapat di Jawa), Durga (yaitu Parvati, sakti
Siwa) dan Ganesha (putra Siwa), serta lingga yang sudah hilang, namun semula
sudah barang tentu bersatu dengan yoni. Wahana (vahana) Siwa, yaitu sapi Nandi,
mungkin sekali juga sudah hilang. Kehadiran arca Brahma barangkali menunjukkan
bahwa, seperti di Prambanan, candi utama Siwa diapit oleh candi Brahma dan
candi Wisnu, sedangkan arca Wisnu itu tidak ditemukan kembali. Ketiga, seperti
dijelaskan dalam surat asisten residen tersebut, arca‑arca itu terdapat di
Cipanas yaitu di Gunung Pulasari, dekat kawah yang oleh C.W.M. van de Velde
digambarkan dalam sebuah etsa yang termasyhur pada pertengahan abad ke‑19,
pasti tidak lama sesudah pengangkatan arca-arca tersebut (Guillot,1996:102).
Guillot
sudah menduga, bahwa arca‑arca hasil temuan dari Cipanas Gunung Pulasari itu,
berasal dari peninggalan Hinduisme. Hanya saja, jika Guillot mau melirik hasil
kajian para akhli tentang Salakanagara, temuannya sangat membantu dalam
perkembangan selanjutnya.
Sementara itu, dalam
naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara,
parwa I sarga 1, halaman 158-160, terdapat suatu riwayat tentang pernah
dibuatnya candi beserta arca‑arcanya oleh Dewawarman VIII (240‑362 Masehi),
antara lain sebagai berikut:
...// diwasa sang de-
wawarman astama nyakra-
warti i bhumi Jawa ku-
lwan ring samangkana
pra-
nah ing janapada rikung
kreta subhika//...
...// sang raja gawe
ta sira candi lawa-
n pratistha ing siwa
ma-
hadewamardhacandra-
kapala // lawann
ganaya-
nadewa /juga hya wi-
snudewa / anggwa sira
sakweh ing
wa(i)snawa//ma-
pan siwa kabeh jana-
pada padaherup hu-
rip tulushayu/...
Terjemahannya:
Pada masa Dewawarman
kedelapan memerintah di bumi Jawa Kulwan, pada waktu itu kehidupan warga
masyarakat ada dalam keadaan makmur sejahtera. Sanghyang Agatna senantiasa
dihormati, dipelihara dan sangatlah baik karenanya. Di antara warga masyarakat
yang memuja Hyang Wisnu tidak seberapa banyaknya. Ada yang memuja Hyang Siwa.
Ada yang memuja Hyang Ganayana. Ada yang memuja Siwa-Wisnu.
Maka demikianlah pemuja
Hyang Ganayana [atau] disebut juga pemuja Ganapati. Golongan ini banyak
pengikutnya. Adapun mata pencaharian warga masyarakat, di antaranya berburu di
hutan pegunungan, berdagang, mengusahakan pelayanan, menangkap ikan di tengah
lautan sepanjang tepi sungai. Juga memelihara binatang dan menanam buah-buahan,
bertani dan sebagainya.
Sang Raja membuat
candi, serta patung Siwa Mahadewamardhacandrakapala dan Ganayanadewa, juga
Hyang Wisnudewa. Anutan mereka sekalian Waisnawa. Karena sekalian warga
masyarakat, mengharapkan hidup lanjut dan selamat.
Temuan
arca-arca di "Candi Pulasari", seperti yang dikemukakan oleh Claude
Guillot, ternyata mendapat penjelasan dari naskah Pangeran WangIsakerta.
Kekunoan arca‑arca tersebut, sangat berbeda dengan arca ‑arca lain yang lebih
muda, yang ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Oleh karena kekunoannya
itulah, Guillot mempersoalkan "arca-arca itu sudah dirusakkan (pada masa
Hasanudin?)". Akan tetapi, pada bagian lain, Guillot menjelaskan, antara lain
sebagai berikut:
Arca-arca yang
disebutkan sebagai "arca Caringin" itu telah dilupakan lama sekali
sejak diangkut ke Jakarta, dan di sana tercampur dengan ratusan arca lain yang
sejenis, sehingga hilang keunikan tempat asalnya. Meskipun demikian arti
pentingnya tidak luput dari perhatian R Friederiich pada tahun 1850. Dalam
sebuah kajian mengenai gaya arca-arca yang disimpan di Museum Batavia, ia
menulis tentang arca Ganesha, sebuah ulasan yang layak dikutip: "Bahwa
arca semacam itu, beserta beberapa arca lain yang bergaya lama, telah ditemukan
di daerah Banten, di bagian Pulau Jawa yang paling barat, berarti bahwa
peradaban dan seni Hindu telah tersebar sampai ke pantai itu. Sejarah kerajaan
yang telah melahirkan peninggalan kuno tersebut, dan bahkan nama kerajaan itu,
untuk sementara belum dapat dipastikan. Jelas peninggalan kuno itu tidak dapat
dianggap berasal dari Kerajaan Pajajaran sebab segala peninggalan dan segala
sesuatu yang kita ketahui tentang Pajajaran menunjukkan keterbelakangan di
bidang ilmu pengetahuan dan seni. Begitu pula peninggalan Majapahit jauh dari
menyamai peninggalan masa‑masa sebelumnya (Guillot,1996:103).
Bagian
yang terpenting dari pernyataan Guillot, terdapat pada bagian akhir
(kesimpulan), yang kutipannya antara lain sebagai berikut:
Maka kami menarik
kesimpulan bahwa peninggalan di Caringin cukup kuno, dan bahwa sebelum masa
Pajajaran terdapat sebuah kerajaan Hindu di Banten (Guillot,1996:108).
Kutipan
tersebut sangat berharga, memberikan kepastian lokasi; Banten sebelum masa
Pajajaran. Oleh karena itu, penelusuran harus kembali ke wilayah Gunung
Pulasari Pandeglang, sebagai tempat asal (insitu) arca‑arca Hinduisme itu
pernah berada. Saleh Danasasmita, menunjuk muara Sungai Ciliman di wilayah
Teluk Lada (Pandeglang), sebagai pusat kota Rajatapura (Danasasmita,1984:13).
Kota
Palembang di Sumatera Selatan, antara abad ke‑7 hingga abad ke-11, berada tepat
di pantai. Sedangkan Palembang sekarang, posisinya jauh dari garis pantai,
hingga mencapai 8‑9 kilometer. Begitu pula yang terjadi di Gunung Muria (Jawa
Tengah). Akibat endapan lumpur Sungai Lusi (Purwodadi) dan Sungai Tuntang
(Demak) pada abad ke‑11 (masa kekuasaan Raja Airlangga), daratan Gunung Muria
menjadi satu dengan Pegunungan Kapur pantai utara (Blora) di Jawa Tengah
(Daldjoeni,1984).
Pelabuhan
Aruteun terletak di muara Sungai Cisadane. Pada waktu itu muara sungai Cisadane
terletak jauh ke dalam, karena garis pantai Laut Jawa lima belas abad yang lalu
jauh berbeda dengan sekarang. Tanah alluvial dari masa Ciaruteun sampai garis
pantai Laut Jawa sekarang ialah hasil endapan selama lima belas abad
(Muljana,1980:13).
Begitu
pula hal yang sama, bisa saja terjadi dalam proses geologi pembentukan endapan
di pantai barat Pandeglang. Kemungkinan besar, ketika Salakanagara didirikan
oleh Dewawarman tahun 130 Masehi (1871 tahun yang lalu), posisi kota kecamatan
Mandalawangi, kurang lebih 8‑10 kilometer dari garis pantai, berada di pesisir
barat Pandeglang. Kemungkinan tersebut, didukung oleh pendapat Dedi M.
Barmawijaya (akhli geologi), bahwa posisi pantai barat Pulau Jawa abad ke‑2
Masehi, berada pada ketinggian 120 meter di atas permukaan laut, saat ini (18
Maret 2001).
Lokasi
Rajatapura sebagai ibukota Salakanagara, dalam naskah Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara, parwa I sarga 1, halaman 154,
terungkap sebagai berikut:
....//hana pwa dewa
warman wamsanyakrawar
ting rajya salakana-
gara i bhumi jawa ku-
lwan/ i sedertg kitha-
rajyanya ngaran rajata-
pura ri tina ning
sagara//
Terjemahannya:
Adapun wangsa
Dewawarman memerintah kerajaan Salakanagara di bumi Jawa Barat, dengan ibukota
kerajaan bernama Rajatapura, (terletak) di tepi laut.
Secara
kebetulan, di situs Cihunjuran (Desa Cikoneng Kecamatan Mandalawangi), juru
pelihara Burhan, menyimpan sebuah batu bulat elipsis (panjang 24 cm, lebar 18
cm, tinggi 9,5 cm). Di salah sate permukaan batu itu, terdapat titik titik dan
garis‑garis yang terukir mirip peta. Oleh karena itulah, Burhan menyebutnya
"Batu Peta".
Setelah dicoba dikaji‑bandingkan,
dengan peta topografi Pandeglang (cetakan Belanda tahun 1938), terindikasi
adanya beberapa ketepatan. Titik-titik dan garis-garis yang terukir pada
"Batu Peta", sebagian besar bertepatan dengan peta lokasi situs
kepurbakalaan, yang tersebar di sekitar lereng Gunung Pulasari. Kemudian, titik
terbesar yang berbentuk persegi empat, berada di tengah‑tengah, bertepatan
dengan posisi kota Kecamatan Mandalawangi sekarang. Posisi kota Kecamatan
Mandalawangi, ditinjau dari segi pertahanan keamanan, sangat strategis,
terlindung oleh 3 buah benteng alam: Gunung Pulasari, Gunung Aseupan dan Gunung
Karang. Oleh karena itu, posisi Mandalawangi, diduga kuat, bekas lokasi
Rajatapura ibukota Salakanagara,
0 komentar:
Posting Komentar